Liputan6.com, Yogyakarta DI bawah terik matahari, sekelompok perempuan berkumpul di beranda gedung DPRD Provinsi DIY. Mereka mengenakan kebaya dan jarik bermotif lurik atau batik. Headline berita dan gambar sosok pekerja rumah tangga (PRT) yang menjadi korban kekerasan dicetak seukuran kertas HVS dan ditempelkan di punggung, perut, atau dipegang oleh masing-masing dari mereka.
Baca Juga
Advertisement
Beberapa perempuan memegang payung hitam dengan goresan cat putih bertuliskan #SAHKANRUUPPRT. Beberapa yang lain membentangkan spanduk yang terbuat dari serbet-serbet dapur kotak-kotak. Serbet raksasa itu dipenuhi kalimat seruan: “PRT bukan mesin, perlu hari libur”, “Tidak mau bayar THR PRT? Apa kata dunia?”, “PRT = Pekerja”, dan lain-lain.
Perempuan-perempuan itu adalah PRT yang bekerja di wilayah Yogyakarta. Hari itu, 21 Desember 2022, mereka menggelar aksi untuk menuntut pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
Di tengah kerumunan, Jumiyem (47) yang berperawakan mungil berjalan ke sana-ke mari untuk mengkoordinasikan teman-temannya. Lek Jum, sapaan akrabnya, mengenakan blus batik merah cerah dengan selendang kotak-kotak mengikat pinggangnya.
Sebagai bendahara sekaligus ketua bidang advokasi kebijakan Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tunas Mulia, Lek Jum jadi orang paling sibuk. Ia dibantu oleh Sargini (39), sekretaris SPRT Tunas Mulia sekaligus pengurus bidang kampanye, dan Ernawati, pengurus Organisasi Pekerja Rumah Tangga (Operata) DIY.
Dari aksi ke advokasi
Menjelang pukul 10.00, Lek Jum dihampiri seorang pegawai DPRD. Diikuti beberapa rekannya, ia masuk ke dalam gedung DPRD untuk audensi. Mereka diterima oleh Koeswanto, ketua Komisi D bidang kesejahteraan DPRD DIY dan Yuni Satia Rahayu, anggota Komisi A bidang pemerintahan. Lek Jum duduk di samping Erna di barisan paling depan dan paling dekat dengan tuan rumah.
Lek Jum yang pertama berbicara di audiensi tersebut. Ia menceritakan secara kronologis perkembangan RUU PPRT yang macet selama 18 tahun.
“22 Desember besok kan Hari Ibu. Jadi kami berharap DPR dan presiden bersuara, memberikan kado bagi PRT dengan memberikan dukungan RUU PPRT ini agar menjadi draf RUU inisiatif DPR, kemudian dibahas, dan disahkan,” ujar Lek Jum.
Adanya kekosongan hukum membuka ruang bagi tindakan kesewenang-wenangan terhadap para PRT. UU PPRT menjadi payung hukum yang kuat untuk melindungi PRT sebagai pekerja dan warga negara.
“PRT terus mengalami kekerasan,” ujar Ernawati dalam audensi. “Jika RUU disahkan, kami merasa perlindungan terhadap kawan-kawan PRT jadi lebih optimal.”
Koeswanto menyatakan dukungannya dan akan meneruskan tuntutan tersebut kepada DPR RI. Bagi Lek Jum dan kawan-kawannya, perjuangan masih panjang. Dan mereka akan terus melakukan aksi hingga RUU itu disahkan.
Advertisement
Berawal dari berorganisasi
LEWAT tengah hari, kesibukan menyeruak di sebuah ruangan semi terbuka di kawasan Kwarasan, Yogyakarta. Bangunannya belum sepenuhnya selesai. Sebagian dinding diplester. Sisanya masih tembok bata. Tak ada pintu. Hanya dua jendela kayu. Di tempat itulah, pada awal Januari 2023, Lek Jum dan teman-temannya mengadakan kegiatan arisan yang diselingi pembahasan pasal demi pasal RUU PPRT.
Ruangan semi terbuka itu merupakan bagian dari rumah indekos yang ditinggali Lek Jum selama 15 tahun. Indekos ini pula yang dijadikan “kantor” Operata Kwarasan, yang bernaung di bawah SPRT Tunas Mulia.
SPRT Tunas Mulia merupakan serikat PRT pertama di Indonesia. Lahir dari dari sebuah kelompok pengajian PRT bernama Al Mawah yang dimotori Yuli Maheni sejak 1999. Setelah mendapat pendampingan dari Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND), organisasi nonpemerintah di Yogya, kegiatan mereka bertambah: ketrampilan menjahit, memasak, hingga pendidikan-pendidikan yang membuka wawasan.
Dari satu kelompok, yang kemudian dinamakan Operata, RTND membantu mengorganisir kelompok-kelompok PRT di wilayah lain di Yogyakarta, dari level RT/RW hingga kelurahan. Pada 2003, jaringan Operata mendeklarasikan SPRT Tunas Mulia, yang kemudian terdaftar di Dinas Tenaga Kerja sebagai serikat pekerja.
Lek Jum bergabung dengan SPRT Tunas Mulia sejak 2003 setelah bertahun-tahun mengalami perlakuan kurang menyenangkan sebagai PRT.
Lek Jum berasal dari Dlingo, Bantul. Ia lahir dari keluarga petani dan merupakan anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Keterbatasan ekonomi keluarga menghalangi Lek Jum untuk masuk SMA. Pada 1990, dengan niat mengumpulkan uang untuk melanjutkan sekolah, ia bekerja sebagai PRT.
Lek Jum merasakan betapa berat pekerjaan ini. Bahkan ia pernah menghadapi pengalaman buruk. Di awal masa kerjanya, ia pernah mengalami pelecehan seksual. Namun, karena belum memiliki keberanian, ia pendam kisah itu.
“Yang aku lakukan ya izin pulang (tidak kembali lagi) dan aku nggak cerita ke siapapun. Karena waktu itu menurutku itu aib. Baru setelah berorganisasi cerita ke teman-teman,” kenang Lek Jum.
Tanpa alternatif pekerjaan, Lek Jum kembali menekuni pekerjaan sebagai PRT. Ia beberapa kali berganti pemberi kerja karena tak betah.
“Jam kerjanya dari mulai bangun tidur sampai mau tidur lagi. Selalu seperti itu,” ujar Lek Jum.
Lek Jum pernah bekerja di rumah seorang pemilik toko. Usai bekerja di rumah, ia diminta bekerja di toko. Tak ada waktu istirahat dan beribadah.
“Ketika di jam-jam salat, kalau mau salat itu dilarang. Kan itu harus ke belakang. Selalu diteriaki. Pokoknya galak banget.”
Sebulan bekerja di sana, Lek Jum pamit pulang. “Saya diizinkan pulang, tapi saya tidak dikasih upah. Dan ketika pulang baju di tas dikeluarin, ndak (dikira) bawa sesuatu dari sana,” kata Lek Jum.
Tidak semua pemberi kerja buruk. Lek Jum pernah mendapatkan pemberi kerja yang mengizinkannya melanjutkan SMA.
“Jadi kalau pagi salah satu dari bosku ke kantor dulu buat isi daftar hadir, lalu pulang, ngasuh anak. Yang cowok dari pagi kerja, istirahat siang pulang. Nah jam 1 dua-duanya masuk kerja. Kan aku sudah pulang. Selama tiga tahun seperti itu,” kenang Lek Jum.
Setelah lulus SMA, Lek Jum memutuskan pamit dari pemberi kerja. Ia berharap bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik.
Pada 2003, lewat seorang teman, Lek Jum mengenal SPRT Tunas Mulia yang membuka program Sekolah PRT. Ia mendaftar dan otomatis tercatat sebagai anggota SPRT Tunas Mulia.
Sekolah PRT merupakan program yang dirancang RTND dan SPRT Tunas Mulia bersama LSM lain untuk meningkatkan kapasitas PRT dari segi skill maupun wawasan. Materi yang diajarkan antara lain hak-hak PRT sebagai pekerja, kesehatan reproduksi, HAM, hingga gender. Sekolah ini gratis dan berlangsung kurang lebih enam bulan.
Di Sekolah PRT, Lek Jum mengasah cara berpikir kritis dan mendapat banyak pengetahuan. Ia menyadari bahwa pekerjaan yang ia tekuni bertahun-tahun ternyata penuh persoalan. Situasi kerja PRT masih jauh dari kata layak.
Setelah lulus, Lek Jum kembali bekerja sebagai PRT paruh waktu. Ia lebih giat berorganisasi di SPRT Tunas Mulia.
Pekerjaan yang penuh persoalan
LEK Jum dan Sargini sudah membagikan satu bendel kertas fotokopian berisi draf RUU PPRT sebulan sebelumnya. Draf inilah yang dibahas dalam pertemuan Operata Kwarasan. Pasal demi pasal. Ayat demi ayat.
Ketika satu pasal selesai, Lek Jum akan bertanya apakah ada yang perlu ditanyakan atau diperjelas. Jika ada, Lek Jum menjelaskan lebih detail tentang pasal atau ayat yang ditanyakan. Sesekali Sargini menambahkan keterangan dengan memberi contoh atau rincian dari pasal-pasal tersebut.
“Perlu perlahan-lahan, supaya paham betul. Ini saja baru membahas sebentar fokus mereka sudah buyar dan pada ngobrol sendiri,” ujar Lek Jum.
Sembilan belas tahun lamanya RUU PPRT terombang-ambing di tangan DPR dan tak kunjung disahkan. Padahal urgensinya tak terbantahkan. Sudah banyak korban berjatuhan.
Lek Jum bercerita, di Yogyakarta pernah ada kasus PRT yang disiksa hingga giginya dicabuti. Gajinya tidak dibayarkan selama Sembilan tahun. Ia juga diberi makan nasi basi dan tidur di garasi bersama kandang anjing. Kasus ini mencuat pada 2001.
“Ini kan sempat sampai ke ranah hukum, lalu cuma dihukum dua bulan masa percobaan dan nggak sampai dipenjara beneran,” kenang Lek Jum.
Kasus lainnya, yang lebih miris, terjadi di Bantul pada 2016. Sartini dan bayinya yang masih berusia 1,5 tahun disiksa majikannya. Mirisnya lagi, anak itu disiram kopi, gigi dipatahkan dengan tang, dimasukkan kulkas dan mesin cuci selama berjam-jam.
Lek Jum lebih sering menemukan kasus kekerasan ekonomi seperti pemotongan gaji, PHK sepihak, tidak dibayar, atau minimnya jaminan sosial. Apalagi selama pandemi COVID-19. Ia lalu memperkenalkan Sarjiah (53), yang duduk di sebelah Sargini.
Pandemi memang berdampak luar biasa. Banyak karyawan dipecat atau “dirumahkan” sementara. Hal itu dialami pemberi kerja Sarjiah.
Sarjiah ditawari pekerjaan menyetrika dua kali seminggu dan bebersih rumah. Namun, menjelang lebaran, ia malah tak dibukakan pintu masuk rumah. Akhirnya Sarjiah enggan kembali. “Sebelumnya udah nyetrika empat kali, nggak dikasih apa-apa. Udah tak ikhlasin,” ujar Sarjiah. Sarjian kini tak lagi bekerja sebagai PRT. Selain usia senja, ia tak kuat dengan beban kerja berat dengan upah Rp 600 ribu per bulan.
Jauh sebelum pandemi, tak sedikit PRT yang mengalami kekerasan ekonomi. Wanti, koordinator Operata wilayah Bener, pernah tak digaji selama lima tahun. Pengalaman rekannya tak kalah pahit; tulang pada tangan kiri bergeser karena kecelakaan kerja dan harus berobat tanpa kontribusi apapun dari pemberi kerja. Sedihnya lagi, setelah 16 tahun bekerja, ia dipecat secara sepihak.
“Nggak dikasih apa-apa, tanpa pesangon blas. Itu kan sia-sia, kita-kita ngabdi di sana,” ujar Wanti kesal.
Tak ada kontrak kerja menjadi salah satu faktor kerentanan nasib PRT. Tanpa kontrak kerja, PRT bekerja tanpa batas-batas yang jelas. RUU PPRT diharapkan menjadi rambu-rambu bagi masyarakat ketika mempekerjakan PRT.
Sebagian besar anggota SPRT Tunas Mulia adalah PRT paruh waktu alias tidak menginap. Kebanyakan rumah mereka juga tak jauh dari rumah pemberi kerja. Ada yang hanya berjalan kaki, bersepeda, atau diantar anggota keluarga ketika bekerja.
“Agak susah merekrut PRT yang menginap. Banyak yang tidak diizinkan majikan atau takut tak bisa membagi waktu,” ujar Lek Jum.
Advertisement
Mempertanyakan Pergub PRT di Yogyakarta
YOGYAKARTA sebenarnya memiliki peraturan yang melindungi PRT, yakni Peraturan Gubernur (Pergub) No. 31 Tahun 2010. Keluarnya Pergub ini tak lepas dari perjuangan Lita Anggraini dan kawan-kawannya di RTND.
Dunia aktivisme sudah digeluti Lita sejak kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM. Dari diskusi hingga demonstrasi. Sempat bekerja sebagai PNS selepas lulus kuliah, Lita kembali ke jalur aktivismenya.
Pada 1989, bersama kawan-kawan aktivis perempuan dari berbagai organisasi, Lita membentuk Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta (FPDY) yang mengadvokasi isu konflik agraria, petani, dan buruh. FPDY kemudian ganti nama jadi Rumpun Tjoet Njak Dhien (RTND) yang fokus isu PRT.
Dengan organisasi barunya, Lita mengorganisir dan membangun jaringan PRT di Yogyakarta. Lahirlah Operata-Operata yang kemudian diwadahi dalam SPRT Tunas Mulia. Aktivitas inilah yang membuat Lita dikenal Lek Jum, Sargini, dan kawan-kawan PRT di Yogyakarta. Lita bagaikan kawan lama sekaligus ibu bagi mereka. Selain itu, Lita mulai merumuskan dan mengadvokasi peraturan daerah untuk mengakui dan melindungi PRT.
Pada 1997, Lita bersama kawan-kawan dari LSM lain di Yogyakarta menginisiasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang perlindungan PRT di Yogyakarta. Setelah itu mereka mendekati dan berusaha meyakinkan pemerintah kabupaten/kota di DIY tentang pentingnya peraturan ini. Sebuah upaya yang tak mudah. Berkali-kali mereka mendapat penolakan.
Sebuah kabar baik akhirnya datang. Pada 2003, Walikota Yogyakarta Herry Zudianto menyambut baik usulan Perda tersebut. Saat itu Kota Yogyakarta juga sedang menyusun Perda Ketenagakerjaan.
“Menurut Pak Herry waktu itu mending dijadikan satu bab (tentang PRT) di dalam Perda Ketenagakerjaan. Nah, tahun 2009 Perda Ketenagakerjaan Kota Jogja mengakomodir satu bab tentang PRT,” ujar Lita.
Namun, bab perlindungan PRT tak bertahan lama. Sehari setelah dimasukkan dalam Perda Ketenagakerjaan Kota Yogyakarta, bab tentang PRT dianulir pemerintah Provinsi DIY. Sebagai gantinya, pemerintah Provinsi DIY menerbitkan Pergub DIY No. 31 Tahun 2010 tentang Pekerja Rumah Tangga. Ini kemudian disusul dengan terbitnya Peraturan Walikota No 48 Tahun 2011 tentang Pekerja Rumah Tangga.
Dianulirnya bab PRT di Perda Ketenagakerjaan cukup disayangkan. Kendati demikian, kehadiran Pergub dan Perwal tentang PRT tetap dianggap langkah maju. Persoalannya tinggal bagaimana implementasinya.
Dalam Pergub dan Perwal termuat pengakuan PRT sebagai pekerja lengkap dengan hak-haknya. Di dalamnya terdapat ketentuan hubungan dan kontrak kerja, pelatihan, kebebasan berserikat, hingga perlindungan bagi PRT.
“Pergub memang ada, tetapi belum ada efek apapun dengan kondisi kerja di DIY yang kawan-kawan alami,” ujar Lek Jum.
Semisal, dalam Pergub PRT termuat tentang pendidikan dan pelatihan kerja yang salah satu penyelenggaranya adalah pemerintah melalui dinas terkait. Namun, realisasinya tak mudah diakses para PRT.
Sargini bercerita, pada 2013 para PRT pernah mendaftar pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi DIY. Namun ditolak dengan alasan batasan usia dan pendidikan.
“Kita kan kebanyakan SD. Sedangkan di aturan-aturan itu SMA. Jadi memang enggak bisa ngakses ke dinas-dinas itu,” ujar Sargini.
Sejak itu, Sargini dan kawan-kawan enggan berurusan lagi. Mereka lebih memilih berlatih sendiri secara kolektif atau bekerjasama dengan LSM setempat.
Sriyati, sekretaris Disnakertrans DIY, mengatakan implementasi Pergub masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Dalam hal pengawasan, misalnya, Disnakertrans tak leluasa bergerak karena dalam Pergub pengawasan dilakukan oleh serikat PRT, masyarakat, dan aparatur pemerintahan setempat.
“Yang dimaksud aparatur pemerintah setempat ini kan, RT, RW, sehingga kami tidak seleluasa itu masuk terkait dengan pengawasan. Tetapi kami akan terbuka, ketika serikat pekerja rumah tangga berkoordinasi dengan kami,” ujar Sriyati.
Selain pengawasan, pelatihan dan pendidikan merupakan tanggung jawab Disnakertrans. Ketika ditanya mengenai batasan usia dan pendidikan, Sriyati menjawab batasan itu sudah tak ada lagi.
“Bisa diakses siapa saja, karena memang terbuka,” ujar Sriyati. “Yang penting komitmen mereka.”
Lek Jum dan kawan-kawan berharap Pergub atau Perwal tidak hanya sebatas kertas. Tapi digunakan untuk memperbaiki taraf hidup PRT di Yogyakarta.
Bukan hanya di Yogyakarta. DKI Jakarta sebenarnya duluan memiliki peraturan tentang PRT, yakni Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1993 tentang Peningkatan Kesejahteraan Pramuwisma. Istilah pramuwisma terkesan lebih halus namun justru mengaburkan substansi dari peran PRT sebagai pekerja. Karena tak tersosialisasi dengan baik, Perda ini tak dirasakan implementasinya. Menurut Lita, Perda ini sudah dibatalkan sejak 2008.
Praktis, tak ada UU yang secara khusus mengatur perlindungan PRT. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pun tak mengakomodasi PRT. Kekosongan ini memang diisi oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Namun peraturan ini memiliki kelemahan seperti masih diperbolehkan membuat perjanjian kerja dengan lisan dan tak mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan. Terlebih peraturan ini masih mengakomodasi kebiasaan, budaya, dan adat istiadat setempat dalam perlindungan PRT.
“Sebenarnya sudah ada aturan-aturan itu, tapi tetap saja belum bisa mengakomodasi teman-teman PRT” jelas Lek Jum.
Perda, Pergub, Perwal, bahkan Permen tentu punya keterbatasan. Lita sadar, yang paling dibutuhkan adalah payung hukum nasional yang lebih mengikat dan menjadi referensi bersama supaya tidak terjadi perbedaan antara wilayah satu dan lainnya.
“Kita menyadari betul bahwa yang diperjuangkan di Jogja itu tidak bisa hanya di Jogja karena PRT kan jumlahnya jutaan dan itu tersebar di kota-kota besar,” ujar Lita. Itulah sebabnya RUU PPRT penting untuk segera disahkan.
Sosialisasi RUU PPRT
MENYOSIALISASIKAN RUU PPRT merupakan kegiatan sehari-hari Lek Jum dan kawan-kawannya di SPRT Tunas Mulia. Di organisasi, Lek Jum sering berbagi tugas dengan Sargini dalam hal kampanye atau advokasi.
Sargini lebih muda delapan tahun dari Lek Jum. Perempuan asal Semanu, Gunungkidul, ini masuk dalam kategori PRT anak ketika mulai bekerja.
Pada 1997, setahun usai lulus sekolah dasar, Sargini diajak seorang tetangga untuk bekerja sebagai PRT di kota. Di usia belia, hanya berbekal pakaian secukupnya, Sargini berangkat dengan hati cemas dan sedih.
“Apakah aku bisa bekerja? Bagaimana kalua tidak betah?” kenang Sargini.
Saat kali pertama bekerja, Sargini hanya bertahan satu minggu. Meski mendapat pemberi kerja yang baik, ia tetap merasa beban kerjanya teramat berat. Ia kemudian sering gonta ganti pemberi kerja karena alasan beban kerja, minimnya fasilitas, hingga gaji.
Sargini bergabung di SPRT Tunas Mulia sejak 2005 dan menjadi murid Sekolah PRT angkatan ke-6. Dari sekolah ini Sargini mulai sadar pentingnya kontrak kerja. Sebisa mungkin, ia selalu meminta kontrak kerja pada pemberi kerja.
Sargini juga mengikuti sekolah kesetaraan, program pemerintah yang ditujukan bagi masyarakat yang belum mengenyam pendidikan formal. Ia mendaftar Paket B (setara sekolah menengah pertama) dan C (setara sekolah menengah atas). Pada 2012, Sargini akhirnya memperoleh ijazah setara SMA.
Saat ini Sargini berkerja di sebuah rumah di kawasan Gamping, Sleman. Ia bekerja paruh waktu dua kali dalam seminggu. Tugasnya membersihkan rumah yang kadang ditinggal oleh pemberi kerjanya. Pemberi kerja juga mengalokasikan dana sebesar Rp 50 ribu untuk jaminan kesehatan.
“Saya bener-bener dapet majikan yang diinginkan ya baru ini,” ujar Sargini.
Sargini juga menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan di SPRT Tunas Mulia, yang membuatnya akrab dengan Lek Jum.
Lek Jum dan Sargini selayaknya kakak-adik daripada sekadar teman berserikat. Keduanya tinggal bersama dalam satu kamar indekos. Bahkan pakaian, jaket, sendal, hingga kerudung, keduanya selalu serupa. Ketika Sargini pulang kampung, Lek Jum sering ikut. Begitu pula sebaliknya.
Sebelum pandemi, Lek Jum dan Sargini sering berkeliling wilayah Yogyakarta untuk mengajak PRT berserikat. Perekrutan anggota serikat biasa dilakukan di perumahan-perumahan, tukang sayur, pasar, hingga sekolah-sekolah tempat para PRT biasa berkumpul.
“Dulu pernah juga mencari anggota sampai ke pelosok-pelosok, terus muter ke wilayah Magelang, Wonosari,” kenang Sargini.
Saat menghadiri undangan audiensi atau diskusi, baik luring maupun daring, keduanya pun tak terpisah. Di pertemuan luring, mereka biasanya berboncengan motor untuk mengunjungi kantor dinas, DPRD, hingga kampus-kampus yang mengundang diskusi. Di pertemuan daring, keduanya hadir dalam satu akun Zoom dengan nama “Jumiyem dan Sargini”.
Lek Jum dan Sargini kerap mengunjungi Operata-Operata di Yogyakarta. Mereka menghadiri acara audiensi, diskusi, pertemuan atau lokakarya yang berkaitan dengan PRT. Tujuan utama mereka adalah mengadvokasi sekaligus mengkampanyekan dukungan pengesahan RUU PPRT.
RUU PPRT dicetuskan oleh RTND pada 1999. Drafnya kemudian disusun bersama sejumlah LSM dua tahun kemudian. Draf RUU PPRT diajukan ke DPR pada 2004. Pada tahun yang sama, Lita mendirikan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA) PRT di Yogyakarta yang kemudian pindah ke Jakarta.
Perjalanan RUU PPRT kurang berjalan mulus. Butuh waktu lama hingga RUU tersebut masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) di DPR sejak 2010. Namun, RUU PPRT kerap gagal ke tahap selanjutnya dan berkali-kali keluar-masuk Prolegnas.
Draf RUU PPRT juga sudah 78 kali mengalami perombakan. Draf awal merupakan bentuk ideal dan sesuai dengan Konvensi ILO No. 189. Namun draf ini ditolak oleh pemerintah.
Konvensi ILO 189 menawarkan perlindungan khusus bagi PRT. Konvensi ini menetapkan hak-hak dan prinsip dasar PRT sebagai pekerja yang mencakup jam kerja, upah, kontrak kerja, dan jaminan sosial. Konvensi ILO juga mengharuskan pemerintah berkonsultasi dengan beragam organisasi, termasuk organisasi yang merepresentasikan PRT, untuk mengidentifikasi langkah-langkah mengenai jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, standar untuk pekerja anak, PRT yang menginap, dan PRT migran.
Kini draf RUU PPRT sudah disederhanakan, yang hanya mengatur perlindungan dasar untuk PRT. Setidaknya tujuan utama tercapai: mengubah pola pikir masyarakat tentang PRT. Dengan demikian PRT tak lagi disalahartikan dengan hubungan kekeluargaan, apalagi perbudakan modern.
PRT sering dipandang sebagai cermin perbudakan modern. Perbudakan sendiri sudah eksis pada masa kerajaan. Orang dapat menjadi budak karena peperangan, terliit utang, atau secara sukarela demi mendapatkan makanan dan perlindungan. Di dalam keraton, selain budak, ada golongan yang disebut abdi dalem. Mereka rela melakukan berbagai pekerjaan di lingkungan keraton. Sebagai imbalan, mereka mendapat ketentraman dan pengayoman.
Sistem perbudakan itu dipertahankan orang-orang Eropa yang berdagang dan kemudian menjajah Indonesia. Budak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja maupun pelayan di rumah orang-orang kaya Eropa, Tionghoa maupun bumiputera. Budak jadi komoditas yang diperjualbelikan. Setelah perbudakan dihapuskan pada awal abad ke-19, kebutuhan pelayan-pelayan rumah dipenuhi oleh mereka yang dikenal dnegan istilah batur, babu, atau jongos.
Di Jawa, ada fenomena berbeda yang dikenal dengan tradisi ngenger. Tradisi ini juga eksis di suku bangsa lain di Indonesia. Yakni, seorang anak dari keluarga kurang mampu dititipkan kepada kerabat atau orang terpandang (kaya) dengan harapan derajatnya terangkat. Anak tersebut mendapatkan tempat tinggal dan makan. Bisa magang atau memperoleh pendidikan. Sebagai timbal balik, anak tersebut membantu berbagai pekerjaan rumah tangga serta pekerjaan lain dari keluarga tersebut.
Sejarah menempatkan PRT sebagai pembantu, bukan pekerja yang memiliki hak-hak tertentu. Hubungan PRT dengan pemberi kerja lebih bersifat pribadi, kekeluargaan, paternalistik, dan berada di luar batas jangkauan intervensi negara.
Menurut Lita, pemberi kerja memiliki relasi kuasa dan privilese ketika mempekerjakan seorang PRT. Mengubah privilese dan status quo tersebut tidaklah mudah, namun tetap harus dilakukan.
“Kita memang tidak bisa minta yang ideal. Karena itu kan conflict interest-nya cukup besar. Tapi kita mulai dulu dari pengakuan dan perlindungan PRT sebagai pekerja,” ujar Lita.
Selain pengakuan dasar PRT sebagai pekerja, draf RUU PPRT memuat klausul mengenai lingkup pekerjaan, perjanjian kerja, pendidikan dan pelatihan, pengawasan, penyelesaian perselisihan, hingga ketentuan pidana. RUU PPRT juga merinci hak dan kewajiban pemberi kerja dan agen penyalur.
Perlindungan PRT menjadi kebutuhan mendesak jika melihat angka kasus-kasus kekerasan. Menurut data JALA PRT per 2023, berdasarkan kasus-kasus yang didampingi di lapangan, ada 2641 kasus kekerasan PRT di Indonesia. Dalam sehari, setidaknya ada tiga PRT melaporkan kasus kekerasan ke JALA PRT.
Menurut Lita, angka ini ibarat gunung es. Masih banyak kasus yang belum terlacak. Ini karena PRT bekerja di ranah privat, yang membuat mereka kesulitan bersuara.
Kasus terbesar yang dilaporkan adalah kekerasan fisik dan psikis sebanyak 71 persen. Bentuknya berupa pukulan, siksaan, hingga pelecehan seksual. Kekerasan verbal juga didapat seperti pelecehan atas profesi sebagai PRT yang tak hanya dialami oleh PRT tapi juga dirasakan oleh keluarganya.
Kasus terbesar kedua adalah kekerasan ekonomi sebanyak 41 persen berupa upah yang tidak dibayar, penundaan pembayaran, penipuan, upah yang ditahan penyalur, atau pemotongan upah secara semena-mena.
JALA PRT juga sering mendapat laporan terkait human trafficking yang dilakukan oleh agen penyalur.
Pengesahan RUU PPRT semestinya jadi agenda yang mendesak. Dorongan itu pula yang disuarakan Presiden Joko Widodo dalam pernyataannya pada 18 Januari 2023. Namun, sehari setelahnya, Ketua DPR Puan Maharani menyebut bahwa parlemen tak mau terburu-buru membahas RUU itu untuk menjaga kualitasnya. Lek Jum dan Sargini menganggap keputusan ketua DPR RI sebagai bentuk kesombongan.
"Presiden sudah oke, Baleg oke. Sampai didoakan bersama, harusnya kan malu ya sebagai pimpinan. Ya itu karena kesombongan itu." ujar Lek Jum.
Entah sampai kapan harapan Lek Jum, Sargini, dan lebih dari 4,2 juta PRT di Indonesia terealisasi. Pengakuan dan perlindungan terhadap mereka bertumpu pada RUU tersebut.
Advertisement
Lek Jum dan Sargini tak mau menyerah
LEK Jum dan Sargini tak mau menyerah. Mereka sering wara-wiri melakukan advokasi dan kampanye. Sesekali mengadakan pelatihan singkat membuat kue atau menggunakan sosial media dan pendidikan yang menanamkan wawasan kritis. Mereka juga melanjutkan “sekolah” PRT di komunitas atau Operata.
Lek Jum menjelaskan, ada tiga bentuk sekolah PRT. Pertama, pada 2003 sampai 2009, Sekolah PRT mengajarkan keterampilan kerja dan pendidikan kritis. Keterampilan yang diajarkan meliputi kerumahtanggaan, babysitter, dan pramurukti.
Selain itu, ada keterampilan tambahan seperti menulis, setir mobil, kewirausahaan, hingga teater. Pesertanya terdiri dari PRT yang bekerja, yang sudah tidak bekerja atau habis kontrak, dan calon PRT yang belum bekerja. Mereka belajar di satu gedung dan tinggal di asrama.
Kedua, 2010 sampai 2016, Sekolah PRT hanya mengajarkan pendidikan kritis meliputi HAM, hak-hak pekerja, kesehatan reproduksi, hingga gender. Pesertanya pun hanya PRT yang aktif di Operata. Ketiga, 2017 hingga sekarang, para alumni Sekolah PRT membagikan ilmu kepada PRT lainnya.
“Setelah Sekolah PRT itu kan kita kembali ke komunitas masing-masing,” kata Sargini.
Sekolah PRT membuat PRT memiliki daya tawar lebih tinggi ketika bekerja. Selain itu, cara berpikir kritis dan keinginan terus berkembang juga meningkat. Termasuk keinginan melanjutkan pendidikan. Lek Jum menjadi salah satu PRT yang berhasil jadi sarjana.
Pada 2006, berbekal uang yang ia sisihkan Rp 250 ribu perbulan, Lek Jum memutuskan melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum sebuah universitas swasta di Yogyakarta.
“Waktu Sekolah PRT itu kan sering diajak aksi, demonstrasi, mendampingi sidang di pengadilan negeri tentang kasus PRT, dan juga melihat kasus dari kawan PRT. Jadi ingin menambah pengetahuan tentang hukum. Kuputuskan untuk kuliah,” ujar Lek Jum.
Saat itu Lek Jum bekerja sebagai PRT paruh waktu di sebuah keluarga. Pemberi kerjanya mendukung keputusan Jum untuk berkuliah. Cemooh justru datang dari tetangga. “Ngapain juga babu kok kuliah,” Lek Jum menirukan ocehan tetangga tempat ia bekerja. Namun, hal itu tak membuat Lek jum berkecil hati. Pada 2010, Lek Jum lulus dan resmi menyandang gelar sarjana hukum.
Setelah lulus kuliah, Lek Jum mengurangi pekerjaan sebagai PRT. Pada 2011, Lek Jum menjadi tutor di program kesetaraan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Griya Mandiri, Yogyakarta. Hingga 2016 Lek Jum mengajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di PKBM.
Dari 2016 hingga 2019, Lek Jum bersama Sargini aktif sebagai satgas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Kota Yogyakarta. Tugasnya melakukan pendampingan dan bekerjasama dengan lembaga terkait. Keduanya pun makin giat berorganisasi di SPRT Tunas Mulia dan melanjutkan Sekolah PRT di komunitasnya.
Lek Jum sempat bekerja lagi sebagai PRT paruh waktu pada 2021 hingga pertengahan 2022. Setelahnya ia berhenti karena harus mengurus ibu yang sakit.
Hingga kini, Lek Jum belum memutuskan kembali bekerja sebagai PRT. Namun, ia masih aktif berorganisasi di SPRT Tunas Mulia bersama Sargini dan kawan PRT lainnya. Baginya, perjuangan PRT harus terus dilanjutkan.
“Masih prihatin dengan situasi kerja PRT saat ini,” ujar Lek Jum.
***
Liputan ini merupakan hasil dari kelas sekaligus fellowship dari Narrative Journalism Tour yang diselenggarakan oleh Yayasan Pantau bersama Kedutaan Besar Amerika Serikat.