Liputan6.com, Jakarta - Hari Tanpa Diskriminasi atau Zero Discrimination Day diperingati setiap 1 Maret oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi internasional lainnya. Perayaan ini mendorong seluruh negara mempromosikan inklusi, kasih sayang, perdamaian, dan yang terpenting, gerakan untuk perubahan.
Hari Tanpa Diskriminasi membantu menciptakan gerakan solidaritas global untuk mengakhiri segala bentuk diskriminasi. Dikutip dari laman resmi The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), Rabu (1/3/2023), tema Hari Tanpa Diskriminasi 2023 adalah “Save lives: Decriminalize” atau “Selamatkan nyawa: Dekriminalisasi.”
Baca Juga
Advertisement
Tahun ini, UNAIDS menyoroti perlunya menghapus undang-undang yang mengkriminalkan orang yang hidup dengan penyakit HIV dan populasi kunci. Populasi kunci adalah komunitas yang berisiko lebih tinggi terinfeksi HIV, termasuk laki-laki gay dan laki-laki lain yang berhubungan seks dengan laki-laki, pengguna narkoba, pekerja seks, waria, serta orang-orang yang berada di penjara atau tempat tertutup lainnya.
Dengan menggarisbawahi tema tersebut, salah satu badan PBB, UNAIDS percaya akan ada dampak positif pada kesehatan dan kehidupan secara keseluruhan ketika kebijakan yang diskriminatif dan penuh hukuman dihapuskan.
Winnie Byanyima, Direktur Eksekutif UNAIDS, mengatakan, "Undang-undang yang mengkriminalisasi membuat orang menjauh dari pengobatan yang menyelamatkan jiwa. Hal itu perlu dihilangkan."
"Satu-satunya alasan orang masih meninggal karena AIDS adalah ketidaksetaraan dalam masyarakat, dari norma sosial, dari kurangnya kesempatan di sekolah, dan lain-lain. Semua faktor ini bersatu untuk membuat mereka lebih berisiko," lanjutnya.
Turunkan Risiko Penularan HIV
Pada 2021, negara di seluruh dunia telah menetapkan target reformasi hukum yang ambisius untuk menghapus undang-undang pidana yang menghalangi penanggulangan HIV dan mengabaikan populasi kunci. Menyadari dekriminalisasi sebagai elemen penting, negara-negara yang tergabung dalam PBB membuat komitmen bahwa pada 2025, hanya kurang dari 10 persen negara akan memiliki kebijakan yang menghukum sehingga bisa memengaruhi respons HIV.
"Di tingkat negara, mencabut undang-undang pidana yang menjauhkan orang dari pencegahan dan pengobatan HIV sangatlah penting," tutur Byanyima.
Penelitian di Afrika sub-Sahara menunjukkan bahwa prevalensi HIV di antara laki-laki gay dan laki-laki lain yang berhubungan seks dengan laki-laki lima kali lebih tinggi di negara-negara yang mengkriminalkan aktivitas seksual sesama jenis dibandingkan dengan yang tidak. Sejalan dengan itu, kriminalisasi pekerja seks meningkatkan risiko pekerja seks tertular HIV dan kerentanan mereka terhadap kekerasan yang dilakukan oleh klien, polisi dan pihak ketiga lainnya.
Namun, Byanyima mengklaim hal sebaliknya terjadi jika didekriminalisasi. "Kami memiliki bukti bahwa ketika Anda mencabut undang-undang pidana tentang hubungan sesama jenis maka risiko penularan HIV turun, risiko infeksi baru di antara laki-laki gay, atau hubungan sesama lelaki, turun secara signifikan."
Advertisement
Mengkriminalisasi Pengidap HIV dan Pekerja Seks
Beberapa negara telah menghapus peraturan yang mengkriminalisasi pengidap HIV dan pekerja seks. Pada 2022, Belgia dan Australia telah menghapus undang-undang yang mengkriminalkan pekerja seks; Zimbabwe mendekriminalisasi paparan, kerahasiaan, dan penularan HIV; Antigua & Barbuda, St Kitts & Nevis, Singapura dan Barbados telah mencabut undang-undang kolonial lama yang mengkriminalkan aktivitas seksual sesama jenis.
Namun, masih lebih banyak negara yang mengkriminalisasi pengidap HIV dan pekerja seks. Pada 2021, 134 negara melaporkan bahwa merahasiakan, memapaparkan, dan menularkan HIV adalah ilegal. 20 negara melaporkan adanya kriminalisasi dan/atau menuntut orang transgender; 153 negara melaporkan mengkriminalisasi setidaknya satu aspek pekerjaan seks; dan 67 negara sekarang mengkriminalisasi aktivitas seksual sesama jenis, menurut UNAIDS.
Selain itu, 48 negara masih memberlakukan larangan masuk ke wilayahnya bagi orang yang hidup dengan HIV. Sementara, 53 negara melaporkan bahwa mereka mewajibkan tes HIV, misalnya untuk surat nikah atau untuk menjalankan profesi tertentu.
Pentingnya Reformasi Hukum
Hukum dan sanksi kepada penderita HIV dinilai melanggar norma hak asasi manusia internasional dan menstigmatisasi serta mendiskriminasi populasi yang sudah terpinggirkan.
Winnie Byanyima berpendapat, "Bagi saya HIV adalah penyakit, tetapi lebih merupakan ketidakadilan sosial. Ini didorong oleh ketidaksetaraan dalam masyarakat. Ini bukanlah hal yang dapat terjadi tanpa konsensus dalam masyarakat, jadi kami membutuhkan semua orang untuk bergabung."
Karena itu, reformasi hukum sangat penting jika dunia ingin mengakhiri AIDS sebagai ancaman kesehatan masyarakat pada 2030. Dekriminalisasi menyelamatkan nyawa dan membantu mempercepat berakhirnya pandemi AIDS.
Tahun ini merupakan tahun ke-8 Hari Tanpa Diskriminasi. Peringatan tersebut diluncurkan dan pertama kali dirayakan pada 1 Maret 2014 oleh UNAIDS, organisasi yang memperjuangkan pembongkaran sistem penindasan terhadap orang dengan HIV/AIDS di negara-negara anggota PBB.
Peringatan ini awalnya dimulai sebagai kampanye dengan nama yang sama pada Desember 2013. Direktur eksekutif pada saat itu, Michel Sidibé, meluncurkan hari itu dengan acara besar di Beijing. Lebih dari 30 pemimpin bisnis berjanji untuk menghilangkan diskriminasi di tempat kerja.
UNAIDS memilih kupu-kupu sebagai simbol peringatan internasional tersebut. Kupu-kupu dipilih sebagai simbol karena melambangkan transformasi.
Advertisement