Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan Pemprov NTT soal jam masuk sekolah di Kupang pukul 05.00 Wita, menuai polemik di tengah masyarakat. Belakangan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, Linus Nusi, merevisi jam masuk sekolah SMA dan SMK di Kota Kupang, dari sebelumnya pukul 05.00 Wita menjadi pukul 05.30 Wita. Aturan tersebut khususnya berlaku untuk kelas XII. Kebijakan itu sendiri sudah dijalankan mulai kemarin, Selasa (28/2/2023), di 10 sekolah secara resmi.
Linus dalam konferensi persnya mengatakan, revisi penerapan jam masuk sekolah yang diundur 30 menit dilakukan dari uji coba sebelumnya.
Advertisement
"Ini bersifat uji coba sambil pemprov melaksanakan seleksi terhadap 10 sekolah hingga menyisakan dua sekolah unggulan yang terbaik yang akan diintervensi dan dikawal secara total," katanya.
Menurut dia, uji coba jam masuk sekolah pukul 05.30 Wita di 10 sekolah SMA/SMK itu akan dievaluasi secara terus menerus dengan melibatkan para akademisi, praktisi pendidikan, serta tokoh agama. Uji coba dan evaluasi diperkirakan berjalan satu bulan.
"Evaluasinya selama satu bulan, yaitu 26 Februari sampai 27 Maret 2023," kata Linus.
Terkait kebijakan jam masuk sekolah yang dijalankan atas instruksi Gubernur NTT Viktor Laiskodat itu, Pengamat Pendidikan Darmaningtyas, saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (1/3/2023) mengatakan, kebijakan tersebut merupakan bukti kalau gubernur tidak memahami persoalan daerah dan warganya.
"Meskipun keterangannya diralat bahwa itu untuk sekolah-sekolah yang diusulkan menjadi sekolah unggulan, tetap tidak rasional," kata Darmaningtyas.
"Kalau sekolah dimulai jam 05.00 maka anak-anak harus bangun jam berapa dan pulang sekolah jam berapa? Memang infrastruktur dan jaringan transportasi di NTT sudah mendukung?," katanya lagi.
Darmaningtyas, kemudian membeberkan fakta dan pengalaman yang terjadi di Jakarta, pada saat terjadi perubahan jam masuk sekolah dari pukul 07.00 WIB menjadi pukul 06.30 WIB.
"Itu menambah beban ibu-ibu yang memiliki anak SMP-SMA/SMK yang ketika pergi dan pulang sekolah harus menggunakan angkutan umum," katanya.
Saat jam masuk sekolah berubah, maju 30 menit saja di Jakarta, kata Darmaningtyas, ibu-ibu kewalahan, mereka harus mengantar dan menemani anaknya menunggu angkutan umum, setelah anak naik angkutan umum baru sang ibu pulang. Para orangtua mau tidak mau harus menemani anak-anak mereka karena tidak tega anaknya menunggu angkutan umum sendirian di pagi hari.
"Sedikit banyak saya tahu kondisi transportasi di NTT yang masih tergolong buruk. Kalau anak-anak harus pergi sekolah subuh, apakah angkutan umumnya mendukung? Kalau tidak mendukung terus gimana? Jadi buat kebijakan yang realistis saja deh, jangan buat kebijakan yang aneh-aeh hanya sekadar untuk popularitas," kata Darmaningtyas.
Darmaningtyas juga mengkritisi alasan dimajukannya jam masuk sekolah di Kupang, yang disebut untuk menghasilkan pelajar yang tangguh dan dipersiapkan agar bisa masuk ke perguruan tinggi favorit. Baginya tidak ada hubungan jam masuk sekolah dimajukan dengan prestasi belajar.
"Tidak ada (jam masuk sekolah dimajukan dengan prestasi belajar), karena setelah jam 10 sudah pasti merasa lelah," katanya.
Yang lebih penting, menurut Darmaningtyas, adalah benahi terlebih dahulu infrastruktur dan fasilitas pendidikan termasuk tenaga pengajarnya.
"Saya terakhir ke Kupang tahun 2018 sebelum Covid. Saya mihat banyak pelajar di sana menggunakan angkutan umum. Tapi kawan saya awal tahun ini ke Kupang juga masih melihat hal yang sama. Tapi layanan angkutan umumnya tidak bagus. Jadi beresi layanan angkutan umumnya untuk pelajar dulu deh agar selamat, aman, dan nyaman," katanya.
Tanpa Kajian Akademis?
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) meminta kebijakan masuk sekolah mulai pukul 05.00 Wita di Kupang, dikaji lebih lanjut.
"P2G menilai kebijakan Pemprov NTT masuk sekolah pukul 05.00 Wita tampaknya tidak melalui kajian akademis terlebih dulu," kata Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim di Jakarta, Selasa (1/3/2023).
Ia mengatakan seharusnya ada kajian secara filosofis, sosiologis, pedagogis, termasuk geografis, mengingat banyak di NTT yang jarak antara rumah siswa atau guru dengan sekolah cukup jauh, bahkan ada yang lebih dari lima kilometer.
Bahkan, menurutnya, kebijakan ini juga tidak berkorelasi dengan capaian kualitas pendidikan di NTT karena hingga saat ini masih terdapat banyak masalah.
Beberapa masalah di antaranya NTT menjadi provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi sebesar 37,8 persen berdasarkan data Kemenkes pada 2021 serta IPM NTT 65,28 yang peringkat ke-32 dari 34 provinsi berdasarkan data BPS pada 2021.
Selain itu, masih banyak ruang kelas di sekolah dalam kondisi rusak yakni 47.832 kelas berdasarkan data NPD Kemdikbudristek pada 2021.
Selain it, 66 persen SD belum dan berakreditasi C, 61 persen SMP belum dan berakreditasi C, 56 persen SMK belum dan berakreditasi C serta ribuan guru honorer di NTT diberi upah jauh di bawah UMK/UMP yaitu antara Rp200 ribu sampai Rp750 ribu per bulan.
"Mestinya kebijakan pendidikan pemprov fokus saja pada masalah yang esensial dan pokok di atas. Bisa dikatakan Pemprov NTT menggaruk yang tidak gatal," kata Satriwan.
Advertisement