Liputan6.com, Ankara - Presiden Recep Tayyip Erdogan pada Rabu (1/3/2023) mengungkapkan bahwa pemerintahnya masih bermaksud menggelar pemilu sebulan lebih awal dari yang dijadwalkan, meskipun gempa Turki 6 Februari 2023 menghancurkan sejumlah wilayah di selatan negara itu.
Dalam pidatonya di hadapan legislator dari partainya yang berkuasa, Erdogan mengatakan bahwa pada 14 Mei 2023, rakyat akan merespons para pengkritik pemerintahannya yang menuduhnya lamban dalam penanganan pasca gempa. Tanggal itu sendiri merujuk pada jadwal pelaksanaan pemilu Turki yang sebelumnya telah diumumkan Erdogan.
Advertisement
Gempa Turki 6 Februari 2023 dan sejumlah gempa susulan yang menghantam Turki dan Suriah telah menewaskan lebih dari 50.000 orang, dengan sebagian besar kematian tercatat di Turki.
Erdogan tidak memberikan informasi lebih lanjut tentang bagaimana pemilu dapat dilaksanakan di zona gempa.
Telah berkuasa sejak 2003, Erdogan masih akan berlomba untuk mendapatkan jabatan ketiga sebagai presiden.
Pemilu yang Sulit
Pemilu, yang harus diadakan paling lambat 18 Juni, berlangsung pada waktu yang sulit bagi Erdogan di tengah situasi pasca gempa dan inflasi yang meroket.
Erdogan telah mengakui kekurangan pada tahap awal respons gempa. Dia menyebut cuaca buruk serta kehancuran infrastruktur akibat gempa sebagai pemicunya.
Pada Rabu, Erdogan mengulangi janji untuk membangun kembali lebih dari 400.000 rumah dalam setahun.
"Kita akan menghilangkan puing-puing, kita akan menyembuhkan luka. Kita akan memperbaiki apa yang hancur dan menghadirkan kehidupan yang lebih baik bagi rakyat kita," katanya.
Erdogan juga mengatakan sebuah pertemuan akan digelar pada Jumat untuk meninjau bangunan-bangunan yang tidak mematuhi kode konstruksi.
Para ahli meyakini lemahnya pengawasan terhadap konstruksi bangunan sebagai alasan utama mengapa gempa 6 Februari 2023 begitu mematikan.
Bank Dunia memperkirakan bahwa gempa Turki telah menyebabkan kerusakan fisik langsung senilai US$ 34,2 miliar atau setara dengan 4 persen dari produk domestik bruto 2021 negara itu. Menurut Bank Dunia, biaya pemulihan dan rekonstruksi berpotensi dua kali lebih besar.
Baca Juga
Advertisement