Liputan6.com, Banten - Banten memiliki seni pertunjukan wayang kulit yang disebut dengan wayang garing. Wayang garing yang berkembang di Kampung Watgalih, Desa Mendaya, Kecamatan Carenang, Kabupaten Serang, Banten, ini merupakan pertunjukan wayang tanpa iringan gamelan dan sinden.
Seni pertunjukan ini menceritakan tentang perjalanan sultan-sultan di Banten. Tak jarang, wayang garing juga menceritakan tentang babad Banten.
Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, wayang garing sudah dirintis sejak masa Sultan Ageng Tirtayasa. Tujuannya agar sejarah Banten tetap dikenang oleh masyarakat.
Baca Juga
Advertisement
Seiring berjalannya waktu, tema wayang garing pun ditambahkan dengan kisah Mahabarata hingga Ramayana. Hal tersebut membuat wayang garing tak hanya bernilai sejarah, tetapi juga bernilai hiburan.
Adapun wayang garing termasuk dalam sastra lisan Banten. Hal tersebut ditandai dengan ciri-ciri tuturan yang disampaikan dalang menggunakan bahasa daerah Banten, yaitu Jawa Serang dan bahasa Sunda.
Menariknya, pagelaran wayang garing ditampilkan tanpa diiringi musik gamelan dan tembang para sinden. Dari sanalah nama wayang garing terlahir.
Dalam bahasa Sunda, garing berarti kering. Pasalnya, pertunjukan wayang tanpa musik dan tembang akan terasa kering bagi sebagian orang yang tak terbiasa.
Meski demikian, pagelaran wayang garing masih dapat ditemukan di Kabupaten Serang, Banten, hingga sekarang. Meski tanpa alunan musik dan tembang, kesenian ini sebenarnya kental akan nuansa keakraban.
Keakraban itu terlihat ketika dalam pertunjukan, Ki Dalang akan menyapa setiap nama yang diundang untuk berpartisipasi, termasuk yang pernah singgah dalam kehidupannya tanpa membedakan status dan kedudukan. Pertunjukan yang disajikan pun terkesan santai, rileks, dan bersifat interaktif.
Penulis: Resla Aknaita Chak