Liputan6.com, Bali - Cakepung merupakan salah satu bentuk kesenian teater bertutur yang berasal dari Bali. Kesenian ini memiliki berbagai unsur lengkap, seperti seni musik, vokal, tari, sastra, dan teater.
Mengutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, kesenian ini biasanya menampilkan lakon yang diadaptasi dari cerita rakyat, salah satunya lakon Panji. Kesenian cakepung merupakan hasil akulturasi budaya pada masa lampau yang berlanjut hingga saat ini, yakni Karangasem dan Lombok.
Awalnya, cakepung muncul di Lombok dengan sebutan cepung yang selanjutnya mengalami proses pengintegrasian. Hal ini terbukti dari penyajian tembang yang didominasi oleh alunan tembang sesasakan, tetapi tata caranya masih kental dengan pengaruh sistem mabebasan tradisi Bali.
Baca Juga
Advertisement
Oleh karena itu, cakepung di Bali hadir karena adanya kontak budaya melalui penaklukan Lombok oleh Bali. Selain itu, juga dikarenakan terjadinya perpindahan penduduk yang menyebabkan kontak budaya berlanjut dalam kurun waktu lama.
Beberapa sumber mengatakan, nama cakepung berasal dari peniruan suara gamelan 'cak pung cak pung' yang kemudian mendapat tambahan huruf 'e' menjadi cakepung. Namun, ada pula yang berpendapat cakepung berasal dari kata 'jagkepung' yang berarti kejar terus.
Kata tersebut dianalogikan dengan ungkapan dalam situasi perang, seperti celekik (menikam), seruit (memberi), seriung (menghunus keris), dan jemak saup sangkol ajak mulih yang sering dilontarkan pemain dalam pertunjukkan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Sejarah Cakepung
Adapun akulturasi ini berlangsung pada akhir abad XVII. Saat itu, Kerajaan Karangasem berhasil menaklukkan Kerajaan Selaparang di Lombok Timur dan Kerajaan Pejanggik di Lombok Tengah.
Raja Karangasem yang berkuasa di Lombok ingin membawa seni sasakan atau cepung ke Karangasem. Ia pun mengajak tiga seniman Karangasem yang berasal dari Budhakeling.
Sang Raja pun meminta para seniman untuk mempelajari kesenian tersebut dan mengajarkannya kepada generasi penerus. Dari sana, muncul kemungkinan cakepung sudah berkembang di Karangasem dan di Desa Budhakeling sekitar 1920-an.
Perkembangan tersebut terjadi karena seorang tokoh cakepung, Ida Wayan Tangi, yang mengajarkan tembang-tembang sesasakan. Ia mengembangkan tembang tersebut dengan beberapa lagu pengecek, kemudian cara bernyanyi juga disesuaikan dengan gerak-gerak dalam menirukan pola-pola permainan instrument gamelan.
Sementara itu, yang lain mengisi dengan gerak-gerak tari yang diselipkan secara improvisasi. Selain itu, ia juga menciptakan lagu-lagu Cakepung Umbara, Semarandana, dan Baris Kupu-kupu. Sejak saat itu, Sekaa Cakepung di Desa Budhakeling mulai termotivasi untuk berkembang.
Pada 1930-an, perkembangan cakepung menjadi sangat adaptif dengan kondisi sosial di lingkungan sekitar. Pembaruan-pembaruan terus diupayakan dengan tanpa meninggalkan ciri khas cakepung.
Kesenian ini juga sempat mengalami keterpurukan dan hampir ditinggalkan oleh generasi berikutnya. Para generasi muda banyak beralih ke kesenian modern. Selain itu, cakepung juga dianggap memiliki tingkat kesulitan tinggi untuk dipelajari, salah satunya aturan pemakaian bahasa Sasak.
Namun beberapa tahun belakangan, dengan motivasi Ida Wayan Oka Adnyana dan para seniman di Desa Budhakeling, cakepung kembali bangkit. Bahkan, kesenian ini masih tetap eksis tampil di setiap petunjukkan budaya hingga sekarang.
Penulis: Resla Aknaita Chak
Advertisement