Liputan6.com, Turki - Pertengahan Februari 2023, Turki masih diselimuti suhu dingin dan duka mendalam. Senin 6 Februari 2023 dini hari waktu setempat, lindu besar magnitudo 7,7 mengguncang Turki. Pemerintah setempat mencatat, jumlah korban tewas gempa Turki mencapai 50-an ribu jiwa dan berasal dari 10 provinsi terdampak. Kendati demikian, suasana hangat masih terasa di tengah duka yang menyelimuti. Dan... saya menjadi saksinya.
Bus yang saya tumpangi dari terminal Hatay tiba di Terminal Karahmanmaras sekitar pukul 19.00 waktu setempat, Minggu 19 Februari. Waktu tempuh bus dari Hatay menuju Karahmanmaras adalah lima jam perjalanan dengan berhenti di beberapa terminal untuk menaikan dan menurunkan penumpang. Bus adalah salah satu moda transportasi andalan masyarakat setempat baik dalam kota maupun antarprovinsi.
Saya ke Karahmanmaras bersama relawan kemanusiaan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI); Muhamad Rudi (Sekjen) dan Hafidz Muftisany (Humas), juga Muhammad Dilvan Hadir, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas Karabuk. Dilvan membantu menerjemahkan percakapan kami dengan warga-warga Turki yang kami temui.
Relawan BSMI menyalurkan donasi dari para donatur yang terkumpul. Penyaluran donasi dibagi ke dalam tiga tahap; logistik untuk warga korban gempa selama di pengungsian, kebutuhan medis, serta kebutuhan anak dan lansia.
Baca Juga
Advertisement
Selama lima jam perjalanan kami bertemu dengan banyak warga lokal. Senyum dan salam selalu terucap dari setiap warga yang berpapasan atau duduk bersebelahan. Kami bertemu dengan seorang tentara angkatan Darat, Beyazid (28). Kala itu dia lepas dinas dan hendak ke kampungnya di Maras, Karahmanmaras.
Karahmanmaras adalah salah satu provinsi terdampak parah gempa Turki selain Provinsi Hatay. Beyezid adalah satu korban, "Tidak ada korban jiwa, orangtua saya selamat," kata Bayezid kepada Dilvan di dalam bus yang kami tumpangi.
Dia juga menuturkan kesedihannya yang harus menunda pernikahan karena gempa. Sang calon mempelai adalah warga Iskendirun, Provinsi Hatay. Waktu tempuh Iskendirun dari Karahmanmaras sekitar tiga-empat jam perjalanan. "Tapi tidak apa-apa. Ini adalah kehendak Allah," kata dia.
Tiba di Karahmanmaras, Beyezid bergegas berdiri di samping bagasi bus. Rupanya dia ingin membantu membawa barang bawaan kami berupa ransel-ransel dan perlengkapan lain. Dia tidak ingin membiarkan kami membawa ransel dan bawaan lainnya.
Setelah ransel-ransel kami ditemukan, dia berpamitan sekaligus meminta untuk berswafoto. "Sebagai kenang-kenangan," kata dia.
'Berkemah' di Terminal
Jam menunjukan pukul 20.00 waktu setempat. Relawan BSMI menunggu mitra belanja logistik di kota terdekat, Adana. Waktu tempuh Adana-Maras adalah tiga jam perjalanan. Karena pusat belanja sudah tutup, kami yang menitipkan donasi ke mitra lokal untuk belanja logistik akhirnya memutuskan menunggu semalam di terminal Karahmanmaras.
Terminal di sini masih lebih baik ketimbang Terminal Hatay yang rusak berat karena gempa. Loket pembelian tiket, kantin, dan aktivitas lainnya dilakukan di luar gedung. Tapi di Karahmanmaras, jual beli tiket masih dilakukan di dalam gedung. Kantin, kamar mandi masih berfungsi. Hanya mushola yang tidak dapat digunakan. Meski demikian warga masih menyempatkan salat di tempat-tempat yang bisa digunakan untuk salat.
Ada hal unik ketika kami bermalam di terminal. Penjaga kantin menyodorkan teh hangat kepada kami. Biasanya satu gelas teh dihargai tiga Lira. Namun dia menolak untuk dibayar.
Suhu di luar terminal mencapai minus dua derajat celcius berdasarkan perhitungan suhu di telepon genggam saya. Dingin menyesap ke dalam gedung terminal. Tapi tidak sedingin di luar sana. Beberapa warga yang menunggu bus pagi tampak terlihat berkumpul dan mengelilingi api unggun. Membakar kardus, kayu, plastik, apapun sampah yang bisa menjadi penghangat kala itu. Kami tidak saling kenal, tapi kehangatan terasa kala kami saling bantu satu per satu mencari sampah yang dapat dibakar. Pendar lampu-lampu rumah di perbukitan Karahmanmaras ikut menghangatkan suasana dini hari. Wilayah ini memang dikelilingi bukit, sebagian wilayah Karahmanmaras selamat dari guncangan gempa.
Pagi tiba, suhu perlahan naik tiga derajat, dingin tapi tidak sedingin dini hari. Aktivitas kantin dan loket mulai dibuka. Saya dan Dilvan mencari kantin yang menjual air panas untuk kopi dan teh yang kami bawa. Saat kami hendak membayar sebotol air panas seharga 10 lira atau Rp 8 ribu rupiah, seorang bapak bersama anaknya memberikan isyarat, "Tidak usah, biar saya saja," kata si bapak memaksa. Kami pun berterima kasih.
Saat berjalan kembali ke bangku yang menjadi tempat peristirahatan, seorang pria yang tengah mengunyah permen jeli memanggil kami. Namanya Hasan. Dia tentara yang akan mengunjungi ibunya di Provinsi Agri (dibaca Are), wilayah paling timur Turki, dingin, dan berbatasan dengan Armenia.
Hasan tidak berbahasa Inggris, Dilvan menerjemahkan setiap percakapan. Dia mengeryitkan kening kala kami menyebut asal kami dari Indonesia. "Thailand? Jepang? Vietnam? Malaysia?" tanya dia. "Dekat Malaysia," jawab kami. Diapun menganggukan kepalanya, "Tamam (ok)."
Ditemani sekantong plastik permen jeli, kami berbincang hangat. Tidak berat-berat bicara politik, ekonomi atau apapun itu. Saya lebih ingin tahu kampung halamannya di Agri. Dia pun bersemangat menceritakan desanya yang terkenal dingin itu.
"Kapan-kapan kamu harus ke sana," kata Hasan.
Advertisement
Montir Bengkel Baik Hati
Kami melanjutkan perjalanan ke Hassa di Provinsi Hatay. Saat itu kami mengejar Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Singkat cerita, pukul 16.30 waktu setempat, karena kami tidak bersama rombongan dari Indonesia kami harus bergegas pulang ke Adana yang berjarak lima jam dari Hatay.
Tidak ada taksi kala itu. Kami berharap ada pengemudi yang mau memberikan tumpangannya. Alhasil ada relawan dari Indonesia yang memberikan tumpangan di SUV bak terbuka. Meski dingin, kami terima demi mengejar bus di terminal keberangkatan. Tiket bus dibeli online yaitu keberangkatan pukul 18.45 waktu setempat.
Pickup yang mengantar kami memberikan tumpangan hingga ke titik tujuan yang akan dia tuju. Kami pun berhenti di dekat bengkel mobil dan menanyakan taksi kepada montir-montir yang bekerja. Setelah berbincang dan ditawari singgah di rumah salah satu montir untuk minum teh, akhirnya kami mendapat tumpangan dari salah satu montir. Dia bersedia mengantar kami ke terminal terdekat.
Mobil yang kami tumpangi Audi A4 model station wagon. Saya tidak hapal persis tipenya. Sang pengemudi bernama Ibrahim (32). Mobil yang disopiri Ibrahin rupanya mobil pelanggan yang sedang diservis. Kami mengetahuinya dari percakapan dia dan seseorang di balik telepon yang beberapa kali menghubunginya. Rekan kami, Dilvan, menerjemahkan percakapan dia dan teruskan. "Saya sudah di jalan, tanggung balik lagi," kata Dilvan menerjemahkan.
Melihat peta di telepon genggam jalanan macet. Merah pekat. Informasinya ada kecelakaan truk di lajur yang akan kami lalui. Ibrahim lalu mencari jalur alternatif. Sepanjang jalan kami bercanda. Dia tidak tahu dimana Indonesia, seberapa kaya Indonesia, "Kalau Indonesia kaya, kenapa kalian naik mobil saya?" canda Ibrahim. Dia juga membandingkan kurs Lira dan Rupiah di mesin pencari Google. Dia tertawa melihat deretan angka rupiah dalam satu Lira, yaitu 1 Lira sekitar 800 rupiah. Kami semua tertawa di tengah duduk berhimpitan.
Akhirnya, keluar dari jalur alternatif kami pun bertemu dengan kemacetan. Minimal seperempat kemacetan sudah kami lalui. Di tengah kemacetan, bau menyengat dari dalam Mobil. Rupanya bau kopling terbakar. Perjalanan pun tidak bisa dilanjutkan. Ibrahim meminta maaf karena terpaksa menurunkan kami di tengah kemacetan.
Ibrahim terus berucap maaf. Dia tidak enak karena kadung berjanji mengantar kami mengejar bus ke terminal terdekat. Dia juga membantu kami menghentikan bus, truk, atau mobil pribadi yang bisa memberikan tumpangan.
Bus Mogok
Setelah berusaha hingga 30 menitan di tepi jalan yang macet, kami akhirnya mendapatkan bus tujuan Istanbul yang melalui Adana. Normalnya bus tidak boleh mengangkut penumpang di jalanan karena tiket hanya dijual melalui online, artinya kursi penumpang sudah ter-booking.
Namun kernet bus mengingatkan, "Kalau nanti ada yang menempati kursi, maaf kalian harus mengalah," pesan sang kernet kepada kami. Dengan demikian kami harus mempersilakan "penumpang legal" duduk di kursi sesuai tiket yang dia beli.
Ada hal menarik ketika kami berpisah dengan Ibrahim. Kami menyelipkan 400 Lira sebagai tanda Terima kasih. Rupanya dia tidak mau menerima pemberian kami itu. Menurut dia, sudah seharusnya dia membantu kami yang sedang membutuhkan. Dia lalu mengirim pesan whatsapp kepada Dilvan. "Kenapa kalian kasih uang, aib (saya jadi malu)," kata dia kepada Dilvan.
Tantangan belum usai. Bus yang kami tumpangi mogok di Terminal Iskenderun. Kami harus menunggu dua jam untuk perbaikan bus oleh montir panggilan. Batin saya, kalau bus dinyatakan gagal dioperasikan, artinya kami harus 'berkemah' di Iskenserun. Tapi bersyukur, bus kembali normal, kamipun melanjutkan perjalanan ke Adana. Kursi yang kami duduki mau tak mau kami berikan kepada si pemegang tiket.
Advertisement