Psikolog Sebut Tak Perlu Ambil Hati Ucapan Pasien Stroke yang Menyakitkan, Apa Alasannya?

Terkadang, rasa sakit hati caregiver pun tak terelakkan terutama saat pasien bersikap atau berucap semaunya.

oleh Diviya Agatha diperbarui 03 Mar 2023, 10:42 WIB
Ilustrasi sedih, kecewa. (Photo by Liza Summer from Pexels)

Liputan6.com, Jakarta Berada di posisi caregiver atau pengasuh dari pasien stroke mungkin tak lepas dari rasa lelah. Namun terkadang, rasa sakit hati pun tak terelakkan terutama saat pasien bersikap atau berucap semaunya.

Berkaitan dengan hal itu, psikolog anak, remaja, dan keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indriani mengungkapkan bahwa salah satu hal yang dapat ditanamkan dalam pikiran saat menjadi seorang caregiver adalah jangan terlalu memasukkan hati omongan atau sikap pasien.

"Hal yang harus ditanamkan di dalam pola pikir adalah bahwa perilaku (semaunya atau menyakitkan caregiver) yang ditunjukkan oleh penderita stroke tersebut bukan merupakan keinginannya," ujar Efnie melalui keterangan pada Health Liputan6.com ditulis Jumat, (3/3/2023).

"Hal tersebut terjadi karena memang fungsi kerja otaknya mengalami gangguan pasca menderita stroke. Jadi hal-hal yang dialami sebaiknya tidak dimasukkan ke hati atau membuat caregiver menjadi tersinggung," tambahnya.

Efnie menjelaskan, saat seseorang mengalami penyakit stroke, pasien biasanya mengalami berbagai macam hal. Termasuk mengalami kesulitan untuk mengontrol dirinya sendiri.

"Saat seseorang mengalami stroke maka mereka akan tidak mampu mengontrol dirinya sendiri, mengalami gangguan daya pikir. Terkadang disertai juga dengan penurunan kesadaran, gangguan konsentrasi, penurunan kemampuan belajar, penurunan daya ingat," kata Efnie.

Sedangkan bagi sebagian pasien stroke lainnya, menurut Efnie, fungsi-fungsi kecerdasan secara umum turut mengalami penurunan. Pasien bisa kehilangan kemampuan untuk melakukan berbagai hal, seperti merawat diri sendiri misalnya.


Kondisi Psikologis Pasien Stroke Bisa Ikut Terganggu

Ilustrasi pasien stroke. Foto oleh Kampus Production dari Pexels

Lebih lanjut Efnie mengungkapkan bahwa karena ketidakmampuan di atas tadilah, pasien stroke bisa mengalami gangguan psikologis tertentu. Mulai dari marah, sedih, dan lain-lainnya.

"Kondisi gangguan daya pikir biasanya membuat penderita stroke menjadi marah, sedih, menyalahkan diri sendiri, dan tidak berdaya. Hal yang paling terlihat adalah adanya kondisi emosi yang labil, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, dan perasaan cemas berlebihan," ujar Efnie.

Sehingga, Efnie menyarankan bahwa dalam kondisi seperti ini selain mengonsumsi obat-obatan medis dari dokter saraf, sebaiknya pasien bisa mendapatkan psikoterapi dari psikolog.

"Sebaiknya pasien juga mendapatkan psikoterapi dari psikolog. Ini untuk membantu kondisi kejiwaannya. Jika terdapat gangguan fisik seperti melemahnya fungsi motorik atau gerak sebaiknya mendapatkan fisioterapi juga," kata Efnie.


Bagaimana dengan Caregiver?

Ilustrasi Caregiver Lansia Foto oleh Matthias Zomer dari Pexels

Dalam kesempatan yang sama, Efnie mengungkapkan bahwa caregiver pun boleh mencari pertolongan dengan mendapatkan psikoterapi. Mengingat harus menghadapi pasien stroke terutama jika terus-menerus tidaklah mudah dan bisa memicu stres.

"Caregiver pun harus mendapatkan psikoterapi, karena 24 jam menghadapi penderita stroke membuat mereka menjadi stres. Jadi seorang caregiver juga harus dikuatkan fungsi mentalnya, jika tidak mereka bisa menyerah," kata Efnie.

Bersamaan dengan itu, menurut Efnie, caregiver bisa belajar soal teknik-teknik mengelola stres, menenangkan diri, dan menguatkan mental.


Berbagi Keluh Kesah dengan Caregiver Lain

Ilustrasi memberi dukungan. (Photo by SHVETS production from Pexels)

Pendapat selaras diungkapkan oleh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia sekaligus Pengurus Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia (APKI), Adhityawarman Menaldi, M.Psi.

Psikolog yang akrab disapa Iman tersebut mengungkapkan bahwa berbagi atau ngobrol dengan sesama caregiver dianggap bisa membantu menetralisir beban yang ada.

"Memandang situasi dari sisi yang 'lebih baik' ketimbang mencari beban atau kelelahan yang sudah pasti akan ada. Berbicara dengan sesama pengasuh (penyakit kronis lain) juga bisa menjadi sarana penetralisir beban sekaligus menjadi teman seperjuangan menjalani peran baru," ujar Iman pada Health Liputan6.com.

INFOGRAFIS JOURNAL_Fakta Permasalahan Kesehatan Mental Remaja di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya