Liputan6.com, Surabaya - Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Tuti Budirahayu ikut menyoroti kebijakan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat yang mewajibkan siswa SMA/SMK masuk sekolah jam 5 pagi.
Dia menilai aturan masuk sekolah jam 5 pagi, harus dibuat dengan dasar dan tujuan yang jelas berdasarkan kajian empiris yang sahih dan valid atas keberhasilan program serupa di tempat-tempat lain.
Advertisement
“Misalnya, ada contoh beberapa sekolah di Indonesia atau di negara-negara lain yang menerapkan kebijakan tersebut. Siswanya berhasil dalam bidang akademik maupun non akademik," ujarnya, Jumat (3/3/2023).
Maka, kebijakan tersebut layak diuji cobakan. Jika tidak atau belum ada kajian yang komprehensif dan valid, lebih baik ditunda dulu dan cari kebijakan-kebijakan lain yang memiliki tujuan yang sama.
Tuti melanjutkan, jika aturan tersebut hanya berdasarkan pada satu kebijakan tunggal tanpa diiringi dengan kebijakan-kebijakan lain yang mendukung tujuan tersebut. Maka, hasil dari aturan tersebut tidak akan optimal. Dengan kata lain, pemajuan jam masuk sekolah tidak akan menghasilkan apa-apa.
“Perlu ada inovasi pembelajaran yang berfokus pada tujuan-tujuan yang komprehensif. Misalnya, masuk pagi dimulai dengan olahraga bersama dengan tujuan melatih fisik dan sportivitas siswa serta menyegarkan badan dan pikiran siswa,” ucap Tuti.
“Setelah itu, dilanjutkan dengan kegiatan literasi, di mana siswa diberi waktu 1 jam untuk membaca buku dan berdiskusi. Selebihnya silakan melakukan kegiatan pembelajaran seperti biasa. Yang penting, dari program-program dan kebijakan inovatif tersebut harus dievaluasi secara berkala,” sambung Tuti.
Lebih lanjut, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) itu mengatakan, bahwa aturan sekolah jam 5 pagi akan memberatkan siswa karena mereka mau tidak mau harus patuh terhadap aturan sekolah. Namun di sisi lain, aturan tersebut belum tentu membuat siswa senang dan semangat untuk bersekolah.
Dalam istilah sosiologi pendidikan, siswa dapat mengalami kekerasan simbolik. Artinya, siswa dan para guru sebenarnya mengalami kekerasan akibat aturan yang dibuat oleh pemerintah. Namun, kekerasan itu tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan karena tujuannya dianggap baik yaitu untuk mendisiplinkan siswa dan lain sebagainya.
Bekali Guru dengan Keterampilan Interaksi
“Pada hakikatnya, belajar adalah kegiatan yang menyenangkan, bukan kegiatan yang membuat anak tertekan. Jika aturan tersebut dibuat, maka kemungkinan siswa akan malas bersekolah dan bahkan bisa menyebabkan putus sekolah. Jadi sekali lagi kebijakan itu akan menjadi tidak efektif,” ujarnya.
Pada akhir, Tuti mengatakan, untuk mencapai pembelajaran yang efektif, maka upaya yang harus dilakukan bukan dengan memajukan jam masuk sekolah. Melainkan, membekali para guru dengan keterampilan interaksi yang baik dengan murid serta melibatkan siswa dalam berbagai program pembelajaran.
“Tumbuhkan kesadaran kritis mereka dan beri ruang berekspresi yang aman, nyaman, dan menyenangkan agar tercipta iklim pembelajaran yang berkualitas. Dan tidak lupa pula, siapkan sarana-prasarana belajar yang memadai sehingga suasana belajar di sekolah dapat membuat betah siswa untuk berlama-lama belajar di sekolah,” tutupnya.
Advertisement