Kondisi Psikologis Pasien Stroke, Bisa Memicu Sikap dan Ucapan Semaunya

Ucapan dan sikap pasien stroke kerap menjadi tak terkendali terutama usai terdiagnosis atau menjalani perawatan.

oleh Diviya Agatha diperbarui 05 Mar 2023, 19:00 WIB
Ilustrasi pasien stroke. Foto oleh Kampus Production dari Pexels

Liputan6.com, Jakarta Stroke menjadi salah satu penyakit yang membuat pasiennya hilang kemampuan untuk melakukan berbagai macam hal. Ucapan dan sikap pasien stroke pun kerap menjadi tak terkendali terutama usai terdiagnosis atau menjalani perawatan.

Ternyata, hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pasalnya, disadari atau tidak, kondisi psikologis pada pasien stroke memang bisa mengalami perubahan.

Psikolog anak, remaja, dan keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indriani mengungkapkan bahwa stroke membuat seseorang mengalami beberapa hal. Salah satunya kehilangan kemampuan untuk mengontrol diri sendiri.

"Saat seseorang mengalami stroke maka mereka akan tidak mampu mengontrol dirinya sendiri, mengalami gangguan daya pikir, terkadang disertai juga dengan penurunan kesadaran, gangguan konsentrasi, penurunan kemampuan belajar, penurunan daya ingat," ujar Efnie melalui keterangan pada Health Liputan6.com ditulis Minggu, (5/3/2023).

"Bagi sebagian yang lain, fungsi-fungsi kecerdasannya secara umum mengalami penurunan dan kehilangan kemampuan untuk melakukan berbagai hal sendiri termasuk merawat diri," tambahnya.

Alhasil, akibat penurunan kemampuan tersebut, Efnie menjelaskan, pasien stroke bisa mengalami perubahan kondisi psikologis. Perubahan kondisi psikologis itu nampak pada emosinya yang menjadi tidak stabil lagi.

"Kondisi gangguan (kemampuan) itu biasanya membuat penderita stroke menjadi marah, sedih, menyalahkan diri sendiri, dan tidak berdaya. Hal yang paling terlihat adalah adanya kondisi emosi yang labil, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, dan perasaan cemas berlebihan," kata Efnie.


Pentingnya Psikoterapi Seiring dengan Pengobatan Fisik

Ilustrasi Kesehatan Mental (Photo by Marcel Strauß on Unsplash)

Sehingga selain mengobati fisiknya, pasien stroke dinilai perlu mendapatkan atau menjalani psikoterapi. Hal ini dianggap dapat membantu kondisi psikologis pasien stroke yang mengalami perubahan.

"Selain obat-obatan medis dari dokter saraf, sebaiknya penderita juga mendapatkan psikoterapi dari psikolog. Ini untuk membantu kondisi kejiwaannya," ujar Efnie.

"Jika terdapat gangguan fisik seperti melemahnya fungsi motorik atau gerak, sebaiknya mendapatkan fisioterapi juga," tambahnya.

Terlebih lagi, pasien stroke yang mendapat psikoterapi dapat membantu relasinya bersama dengan caregiver (pengasuh) menjadi lebih baik. Mengingat saat pasien stroke bersikap dan berucap semaunya lewat emosi yang tidak stabil, sangat mungkin relasi dengan caregiver menjadi terganggu.

Apalagi jika caregiver yang bersangkutan harus mengurus dan menghadapi pasien stroke selama 24 jam. Bukan tak mungkin nantinya caregiver juga akan mengalami kelelahan yang ditambah dengan stres.


Caregiver Juga Boleh Jalani Psikoterapi

Ilustrasi Caregiver Lansia Foto oleh Matthias Zomer dari Pexels

Lebih lanjut Efnie mengungkapkan bahwa caregiver pun boleh menjalani psikoterapi, bahkan sebenarnya harus. Menurut Efnie, penting untuk caregiver mendapatkan penguatan mental.

"Caregiver pun harus mendapatkan psikoterapi, karena 24 jam menghadapi penderita stroke membuat mereka menjadi stres. Jadi seorang caregiver juga harus dikuatkan fungsi mentalnya, jika tidak mereka bisa menyerah," kata Efnie.

Dalam proses mendapatkan psikoterapi tersebut, caregiver dari pasien stroke bisa belajar teknik-teknik untuk mengelola stres. Juga teknik untuk menenangkan diri.

"Caregiver harus diajarkan teknik-teknik mengelola stres, menenangkan diri, dan menguatkan mental melalui program psikoterapi yang ia dapatkan dari psikolog," ujar Efnie.


Pesan Psikolog untuk Caregiver Pasien Stroke

Ilustrasi sedih, kecewa. (Photo by Liza Summer from Pexels)

Dalam kesempatan yang sama, Efnie memberikan pesan untuk para caregiver dari pasien stroke. Menurut Efnie, salah satunya adalah untuk tidak mengambil hati perilaku dari pasien stroke sendiri.

"Hal yang harus ditanamkan di dalam pola pikir adalah bahwa perilaku yang ditunjukkan oleh penderita stroke tersebut bukan merupakan keinginannya, namun hal tersebut terjadi karena memang fungsi kerja otaknya mengalami gangguan pasca menderita stroke," ujar Efnie.

"Jadi hal-hal yang dialami sebaiknya tidak dimasukkan ke hati atau membuat caregiver menjadi tersinggung," pungkasnya. 

INFOGRAFIS JOURNAL_Fakta Permasalahan Kesehatan Mental Remaja di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya