Jepang Gelar Perjodohan Terbesar Berbiaya Rp 1,1 M untuk 400 Jomblo Cari Istri dan Suami

Resesi seks tengah melanda Jepang. Pemerintah setempat pun tengah berupaya keras untuk mengambil langkah mengatasi masalah ini. Salah satunya dengan cara menjodohkan warganya.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 05 Mar 2023, 11:15 WIB
Ilustrasi bendera Jepang (pixabay)

Liputan6.com, Aichi - Resesi seks tengah melanda Jepang. Pemerintah setempat pun tengah berupaya keras untuk mengambil langkah mengatasi masalah ini. Salah satunya dengan cara menjodohkan warganya.

Resesi seks atau menurunnya hasrat kaum muda berhubungan seksual terjadi di Jepang. Negeri Matahari Terbit itu kini jadi negara dengan tingkat kesuburan terendah di Bumi.

Mengutip situs Mainichi Japan, Minggu (5/1/2023), pemerintah Prefektur Aichi akan menjadi tuan rumah pertemuan perjodohan bagi mereka yang ingin menikah di tengah kekurangan acara pribadi karena pandemi Virus Corona.

400 lajang akan berkumpul di Kota Nagakute, Jepang tengah, bersebelahan dengan Nagoya, pada musim gugur untuk salah satu acara perjodohan berorientasi pernikahan terbesar di negara itu.

Sejak tahun fiskal 2011, prefektur tersebut telah mengelola situs portal tempat orang-orang yang ingin menikah dapat menemukan informasi acara. Karena pandemi, jumlah acara yang diadakan secara pribadi telah menurun seiring dengan pengguna portalnya.

Menurut survei kepada para jomblo atau lajang yang dilakukan oleh prefektur tahun 2018, sekitar 80% orang berniat untuk menikah suatu hari nanti, tetapi sekitar 40% tetap melajang karena mereka belum bertemu dengan pasangan yang berpikiran sama. Mempertimbangkan situasi ini, prefektur memutuskan untuk bertindak.

Acara perjodohan yang mereka gagas dilangsungkan secara gratis, akan diadakan bulan Oktober ini di Nagakute Expo 2005 di Aichi Commemorative Park, ditujukan untuk para lajang berusia 20-an dan 30-an yang tinggal, bekerja atau belajar di Aichi.

Peserta, para jomblo, akan menonton video untuk mempelajari percakapan dan tata krama yang bermanfaat sebelum dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dan menemukan belahan jiwa mereka.

 


Anggaran Rp 1 Miliar

Ilustrasi bendera Jepang (AFP/Toru Yamanaka)

Pemerintah Kota Aichi menganggarkan 9,77 juta yen atau sekitar Rp 1,1 miliar untuk acara perjodohan gratis tersebut.

Seorang pejabat prefektur menyatakan bahwa dengan tingkat kelahiran yang menurun, mereka "ingin membantu orang berpikir tentang pernikahan."

Demi kesuksesan acara tersebut, pemerintah bahkan membuat manajemen acara khusus tersendiri.

"Nihon Konkatsu Shien Kyokai", atau asosiasi pendukung perjodohan Jepang, telah bekerja sama dengan badan publik untuk menyelenggarakan sejumlah acara semacam itu.

Koki Goto, perwakilan dari organisasi tersebut, mengatakan bahwa karena acara tersebut didanai publik, "Penting juga untuk menjadi kreatif agar orang-orang yang serius menikah merasa diterima untuk bergabung, bukan mereka yang hanya mencari pasangan atau pacar."


Ragam Cara Pemerintah Jepang Bujuk Warga Menikah

Banner Infografis 6 Hal Dilakukan Pria Ketika Jatuh Cinta. (Liputan6.com/Lois Wilhelmina)

Berbagai cara pun telah diterapkan oleh pemerintah Jepang. Misalnya, di Prefektur Miyagi, penduduk setempat dapat menemukan pasangan lewat layanan perjodohan yang didukung oleh sisten kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang disponsori oleh pemerintah. Sementara di Prefektur Ehime, otoritas stempat juga menawarkan sistem perjodohan berbasis data besar.

Sementara di wilayah Miyazaki, proses perjodohan ini menggunakan cara yang lebih tradisional, dengan mengarahkan calon pasangan untuk bertukar surat tulisan tangan.

Selain itu, di wilayah Jepang lainnya, ada pesta lajang yang disponsori oleh pemerintah dan perusahaan. Ada pula kegiatan seminar kehidupan, yang dimaksudkan mendorong orang dewasa untuk menikah dan diberikan edukasi soal membangun keluarga.

Beda lagi dengan Tokyo. Mereka membuka kelas untuk mengajarkan keterampilan berkencan, seperti teknik percakapan. 

Selama ini, Jepang belum pernah bergerak sejauh ini terutama yang menyangkut soal kehidupan pribadi. Namun, ini semua dimaksudkan demi meningkatkan angka kelahiran. 

Bulan Januari lalu, Perdana Menteri Fumio Kishida menyatakan bahwa pemerintah akan mengambil tindakan yang "belum pernah terjadi sebelumnya" untuk mengatasi tingkat kesuburan Jepang yang menurun. Dalam pidato di parlemen, dia memperingatkan bahwa negara itu berada dalam krisis karena sistem pensiun dan kesehatan yang bangkrut, utang nasional yang melonjak, dan penurunan ekonomi.


Populasi Jepang Semakin Menua

Ilustrasi masyarakat Jepang (Dok. Pixabay)

Jepang memiliki populasi yang paling cepat menua di antara negara industri mana pun di dunia.

Tingkat kelahirannya mulai menurun pada tahun 1970-an. Sementara itu, tingkat kesuburan total saat ini adalah 1,3, jauh di bawah angka untuk memprediksikan kelahiran lebih dari dua anak per wanita.

Sebuah survei berkala oleh National Institute of Population and Social Security Research menemukan hampir seperlima pria dan sekitar 15 persen wanita mengungkapkan ketidaktertarikan pada pernikahan. Ini merupakan tingkat tertinggi sejak 1982. Hampir sepertiga pria dan seperlima wanita berusia lima puluhan di Jepang belum pernah menikah. 

Maka dari itu, pemerintah Jepang meluncurkan Badan Anak dan Keluarga Jepang, yang akan menugaskan "petugas pendukung pernikahan" di 47 prefektur Jepang. 

"Mereka pada dasarnya akan menambah tenaga untuk program lokal yang ada dan menghasilkan ide-ide baru untuk meningkatkan angka pernikahan," kata juru bicara Badan Kabinet Yuki Nomura.

Dalam hal ini, pemerintah pusat akan menanggung 75 persen biaya untuk petugas yang sekarang direkrut untuk sektor publik dan swasta dengan keahlian perjodohan.

Namun, cara tersebut dinilai tidak mempan. Banyak ahli mengatakan satu-satunya cara Jepang dapat benar-benar menyelamatkan diri adalah dengan membuang stigma yang menegaskan bahwa laki-laki bertanggung jawab mencari nafkah sementara perempuan mengasuh anak. 

"Negara-negara pasca-industri (seperti Swedia) yang memungkinkan untuk menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, tidak mengalami penurunan angka kelahiran yang besar," catat sosiolog Harvard Mary Brinton dalam presentasi baru-baru ini yang membedah kesalahan langkah demografis Jepang.

Dia mencatat bahwa wanita Jepang menghabiskan waktu lima kali lebih lama dari pria untuk pekerjaan rumah tangga. Ini membuat banyak pasangan enggan memiliki dua anak atau lebih.

Infografis Tips Cari Cinta di Aplikasi Kencan Online. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya