Liputan6.com, Malabo - Dua tahun yang lalu, telah terjadi sebuah peristiwa bersejarah bertepatan pada 7 Maret 2021 di Equatorial Guinea, Afrika. Sebuah ledakan terjadi di sebuah kamp militer di kota Bata menewaskan 107 orang dan melukai 615 orang.
Pihak berwenang Equatorial Guinea telah memberi kompensasi kepada 84 keluarga korban ledakan, demikian diumumkan televisi setempat pada Sabtu (7/3).
Advertisement
Setelah ledakan, Teodoro Nguema Obiang Mangue, panggilan akrab Teodorin, selaku wakil presiden negara Afrika Tengah dan putra kepala negara, memimpin upacara serah terima untuk pemberian kompensasi.
Setiap keluarga menerima delapan juta franc CFA, sekitar 12.000 euro atau Rp 195 juta. Sedangkan orang yang diamputasi akibat bencana tersebut menerima 4 juta franc CFA, sekitar 6.000 euro setara dengan Rp 97 juta.
Melansir dari africanews, Senin (6/3/2023), saat itu terjadi empat ledakan yang benar-benar menghancurkan kamp Nkoa-Ntoma di Bata, ibu kota ekonomi, banyak daerah pemukiman di sekitarnya ikut terbakar. Kebakaran yang tidak terkontrol telah membakar gudang senjata dan gudang senjata militer di daerah tersebut.
"Pemerintah Guinea Khatulistiwa telah mengucurkan 700 juta franc CFA, sekitar 1,1 juta euro (Rp 17 miliar) untuk memberi kompensasi kepada para korban," kata stasiun televisi pemerintah TVGE.
Kota Bata adalah rumah bagi sekitar 800.000 dari 1,4 juta penduduk negara kecil yang kaya minyak dan gas, tetapi sebagian besar penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.
Teodoro Obiang Nguema (79) telah memerintah negara kecil di Afrika Tengah ini dengan tangan besi selama lebih dari 42 tahun. Dalam keterangan yang dikeluarkan sehari setelah bencana, ia menjelaskan, Bata menjadi korban kecelakaan akibat kelalaian satuan yang bertugas menjaga simpanan dinamit.
Dan dua tentara pada Juli 2021 dijatuhi hukuman 35 dan 50 tahun penjara, untuk kelalaiannya.
Sejarah Lain di Tanggal 7 Maret, Yaitu penembakan PM Ali Razmara
Selain itu, di tanggal yang sama di tahun yang berbeda, pada 7 Maret 1951 telah terjadi penembakan PM Ali Razmara yang berujung plot kudeta CIA di Iran, tepat 72 tahun silam.
Pagi itu, 7 Maret 1951, Perdana Menteri Iran Ali Razmara keluar dari kendaraan yang membawanya. Berjalan kaki, ia menuju ke Masjid Shah di pusat kota Teheran untuk menghadiri acara pemakaman.
Pria berlatar belakang jenderal militer tersebut baru sampai di halaman masjid, saat seorang pria menyeruak dari kerumunan, mengacungkan pistol, dan menembaknya dari belakang. Jaraknya hanya beberapa meter dari target.
"Empat tembakan dilepaskan, dan dua peluru mengenai Razmara, satu di leher, satu lagi di punggung," kata seorang saksi mata seperti dikutip dari surat kabar The Canberra Times edisi lawas.
Saksi mata lain mengaku mendengar lima tembakan, tiga di antaranya mengenai PM Razmara.
Pasca-insiden, PM Razmara segera dilarikan ke rumah sakit. Ia meninggal dunia beberapa jam kemudian.
Seorang polisi yang berniat menangkap pelaku penembakan juga menjadi korban penembakan, dan dia terluka parah.
Aparat membekuk pelaku, Khalil Tahmassebi, anggota kelompok militan Fadayan-e Islam.
Fadayan-e Islam mendukung tuntutan Front Nasional (National Front), untuk menasionalisasi aset perusahaan minyak British Anglo-Iranian Oil Company (AIOC).
Advertisement
7 Maret 1950: Uni Soviet Bantah Rekrut Ilmuwan Nuklir AS Sebagai Mata-Mata
Pada 7 Maret 1950, Uni Soviet mengeluarkan pernyataan singkat yang menyebut bahwa Klaus Emil Julius Fuchs, tak terlibat dalam aktivitas mata-mata yang menguntungkan Rusia.
Pernyataan itu dikeluarkan hanya satu minggu setelah ilmuwan nuklir papan atas tersebut, dihukum 14 tahun penjara atas dakwaan memberikan informasi bom atom ke Rusia.
Meski Rusia telah menyangkalnya, penangkapan Fuchs menguak jaringan individu di Amerika Serikat dan Inggris yang diduga terlibat dalam kegiatan mata-mata Uni Soviet selama Perang Dunia II.
Dilansir History, Fuchs bekerja dalam pengembangan bom atom dalam Perang Dunia II, baik di Inggris dan menjadi bagian dalam Manhattan Project di Amerika Serikat.
Setelah ditahan, Fuchs melibatkan seorang warga Amerika Serikat, Harry Gold, yang bertugas sebagai kurir antara dirinya dengan agen Uni Soviet.
Gold lalu menunjuk David Greenglass, yang turut mengerjakan Manhattan Project. Greenglass kemudian menginformasikan tentang adik perempuan dan suaminya, Julius dan Ethel Rosenberg.
Gold dan Greenglass dijatuhi hukuman penjara karena peran mereka. Sementara itu Keluarga Rosenberg dijatuhi hukuman mati. Mereka dieksekusi pada 1953.
7 Maret 1936: Adolf Hitler dan Pasukan Militer Jerman Duduki Kembali Rhineland
Pada 7 Maret 1936, Pemimpin Nazi Adolf Hitler, mengirim pasukan militer Jerman ke Rhineland, yang merupakan zona demiliterisasi di sepanjang Sungai Rhine di Jerman Barat. Pengerahan pasukan itu melanggar Perjanjian Versailles dan Pakta Locarno.
Pada Juli 1919, Perjanjian Versailles ditandatangani 8 bulan setelah meriam terdiam dalam Perang Dunia I, yang menyerukan pembayaran reparasi perang yang keras juga hukuman perdamaian lainnya untuk mengalahkan Jerman.
Delegasi Jerman menunjukkan sikapnya kepada konferensi perdamaian dengan melanggar pena upacara, karena didesak untuk menandatangani perjanjian.
Pasukan militer Jerman dikurangi dan Rhineland menjadi zona demiliterisasi, seperti yang ditentukan oleh Perjanjian Versailles.
Pakta Locarno ditandatangani pada akhir konferensi perdamaian Eropa yang diadakan di Swiss pada tahun 1925, menegaskan kembali batas-batas nasional yang diputuskan oleh Perjanjian Versailles dan menyetujui masuknya Jerman ke dalam Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations).
"Spirit of Locarno" merupakan sebutan yang melambangkan harapan untuk era perdamaian dan niat baik Eropa, hingga pada tahun 1930 Menteri Luar Negeri Jerman, Gustav Stresemann, telah menegosiasikan pemindahan pasukan Sekutu terakhir di Rhineland yang didemiliterisasi.
Namun, hanya 4 tahun kemudian, Adolf Hitler dan Partai Nazi menjanjikan pembalasan terhadap negara-negara Sekutu yang telah mendesak Perjanjian Versailles pada rakyat Jerman, dengan merebut kekuasaan penuh di Jerman.
Advertisement