Liputan6.com, Jakarta - Pola gaya hidup kekinian berdampak terhadap peningkatan obesitas di hampir seluruh negara. Faktor obesitas tak melulu soal malas gerak dan kebanyakan duduk, melainkan terjadi pergeseran gaya hidup yang serba praktis seperti layanan pesan antar makanan daring.
Ahli gizi Nurul Ratna Mutu Manikam menyampaikan, problem obesitas bukan hanya di Indonesia saja, tapi juga di negara-negara lain di dunia.
Advertisement
"Jadi betul peningkatannya (obesitas) sangat tajam tidak hanya di Indonesia, tapi juga di hampir seluruh negara di dunia," ujar Nurul menjawab pertanyaan Health Liputan6.com saat sesi Press Briefing: Peringatan Hari Obesitas Sedunia 2023, Senin (6/3/2023).
"Kenapa hal ini terjadi? Adanya pergeseran nilai di dalam masyarakat kita ya. Sebagai contoh, kalau banyak orang yang ototnya lebih besar muncul karena mobilisasi ke mana-mana. Dia lebih banyak berjalan kaki atau bersepeda."
Di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat, prevalensi kegemukan pada anak berusia 5-12 tahun sebesar 20 persen. Angka tersebut mencakup gizi lebih sebesar 10,8 persen dan obesitas 9,2 persen.
Sementara hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, secara nasional angka berat badan lebih (overweight) di Indonesia menurun jadi 3,5 persen persen. Angka overweight menunjukkan penurunan sebesar 0,3 persen bila dibandingkan dengan 2021 yang mencapai angka 3,8 persen.
Lebih Pilih Naik Ojol dan Makan Siap Saji
Nurul Ratna Mutu Manikam menuturkan, di Indonesia sendiri khususnya ruang terbuka hijau sangat terbatas. Kondisi ini membuat masyarakat malas berjalan kaki.
"Sehingga seseorang itu jadi malas berjalan kaki, mungkin lebih memilih naik ojek misalkan atau menggunakan kendaraan. Hal ini juga menyebabkan obesitas," tuturnya.
Selain itu, pekerjaan sehari-hari yang lebih banyak duduk dan memesan makanan siap saji yang praktis ikut menjadi salah satu faktor terjadinya obesitas.
"Ditambah juga tekanan pekerjaan dan tuntutan pekerjaan kita lebih banyak duduk. Ya ini juga menyebabkan semakin maraknya obesitas," jelas Nurul.
"Kita menyiapkan makanan juga terbatas waktunya sehingga menggunakan makanan yang cepat saji atau penjualan makanan secara online. Ini tentu saja akan meningkatkan obesitas."
Advertisement
Prediksi 51 Persen Populasi Global Obesitas Tahun 2035
Merujuk laporan terbaru World Obesity Atlas dari World Obesity Federation, diperkirakan sebanyak 51 persen populasi global akan hidup dengan kelebihan berat badan atau obesitas pada tahun 2035. Perkiraan ini berdasarkan tren kekinian yang berkembang.
Laporan yang diterbitkan pada Hari Obesitas Sedunia di atas juga menunjukkan, apabila obesitas terus berkelanjutkan berkelanjutan akan berdampak terhadap ekonomi sebesar US$4,32 triliun pada tahun 2035.
Besaran tersebut hampir 3 persen dari PDB global, terutama untuk pencegahan dan pengobatan. Angka ini setara dengan dampak finansial dari pandemi COVID-19 pada tahun 2020, dikutip dari laman World Obesity dalam artikel berjudul, Economic impact of overweight and obesity to surpass $4 trillion by 2035.
Setiap wilayah akan mengalami peningkatan dampak ekonomi pada tahun 2035. Beberapa negara seperti Amerika (Amerika Utara, Tengah, dan Selatan) menanggung biaya tertinggi sebagai bagian dari PDB (3,7 persen) dan kawasan Pasifik Barat dengan total biaya tertinggi (US$1,56 triliun).
Menilik dampak obesitas terhadap ekonomi, World Obesity Federation menyerukan rencana aksi obesitas nasional di seluruh dunia. Dalam hal ini, pentingnya mengembangkan rencana aksi nasional yang komprehensif untuk mencegah dan mengobati obesitas dan mendukung orang yang terkena penyakit tersebut.
Laporan World Obesity Atlas juga menyentil dampak perubahan iklim, pembatasan COVID-19, pandemi baru, dan polutan kimia terhadap kelebihan berat badan dan obesitas serta memperingatkan, bahwa tanpa tindakan yang ambisius dan terkoordinasi untuk mengatasi masalah sistemik, angka obesitas dapat meningkat lebih tinggi.