Liputan6.com, Jakarta - Tidak hanya terkenal sebagai Kota Seribu Kelenteng, Singkawang juga terkenal sebagai sentra penghasil keramik. Berbeda dari daerah lain di Indonesia, keramik Singkawang memiliki ciri khas tersendiri, yaitu kental dengan sentuhan budaya dan religi Tionghoa.
Kerajinan keramik Kota Singkawang karya Abui Keramik dipamerkan dalam gelaran International Handicraft Trade Fair (INACRAFT) 2023 yang digelar 1--5 Maret 2023 di Jakarta Convention Center. Puluhan keramik yang dibawa dari kota Kalimantan Barat itu dijejerkan bersebelahan dengan produk-produk unggulan daerah Singkawang yang lain, seperti kerajinan tenun songket khas Singkawang dan kerajinan coaster.
Baca Juga
Advertisement
Ciri khas keramik Singkawang ini dapat dilihat dari motifnya yang mengadopsi estetika pada masa Dinasti Tang hingga Ming. Motif tersebut antara lain berbentuk naga, burung hong (phoenix) dan juga bunga. Untuk jenisnya, keramik Singkawang didominasi oleh tempayan, guci, piring, mangkok, hiolo (tempat pembakaran dupa) dan juga kursi.
Suhandi (43), atau yang akrab disapa Koh Abui selaku pendiri Abui Keramik menjelaskan bahwa setiap motif keramik singkawang memiliki arti yang diwariskan dari nenek moyangnya.
"Contoh, kayak delapan dewa ini kan melambangkan delapan kebahagiaan dan keberuntungan hidup. Delapan simbol dari delapan makhluk abadi," ujar Abui kepada Liputan6.com saat ditemui di acara INACRAFT, Minggu, 5 Maret 2023.
Makhluk Abadi sendiri merupakan mitologi asal dewa yang menyajikan dewa-dewa yang mewakili kebahagiaan, panjang umur, dan sumber rezeki. Sementara itu, ada pula guci yang bernama Sri Rejeki.
"Dulu banyak dipajang di rumah-rumah orang kaya di Dayak, untuk menambah rezeki," jelas Abui. Guci itu juga sering disebut sebagai tempayan menyanyi karena mulut guci akan mengeluarkan bunyi merdu ketika terkena angin.
Kualitas Tanah Liat yang Prima
Hal yang patut dibanggakan dari Singkawang adalah kualitas tanah liat sebagai bahan baku keramik yang tak tertandingi. Abui berkata, "Enggak bisa ditemui di daerah lain. Tanah kaolin itu hanya ada di Kalimantan Barat."
Sutirah Hianah, selaku ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Singkawang sekaligus istri PJ Wali Kota Singkawang turut hadir di stan Kota Singkawang di INACRAFT. Sutirah juga membanggakan kualitas tanah liat Singkawang.
"Jadi (keramik dari daerah lain) pemanasan suhu di atas 1.200 (derajat Celsius) bisa pecah, kalau di sini nggak. Dijamin kekokohannya," katanya. Selain itu, cat untuk pewarnaan keramik di Singkawang juga selalu menggunakan bahan alami.
Industri keramik Singkawang sendiri bermula sejak sekitar 1895 saat para imigran Tiongkok masuk ke Singkawang. Pembuatan keramik Singkawang terbilang unik karena menggunakan tungku khusus yang disebut dengan tungku naga.
Tungku ini menggunakan bahan bakar kayu ini berbentuk panjang bagai naga dan mampu membakar keramik khususnya yang berukuran besar dalam jumlah banyak dan merata. Tungku naga ini dapat membakar 8.000 keramik dalam sekali bakar dan mampu mencapai suhu 1.250 derajat Celsius.
Sayangnya, teknik pembakaran yang unik ini tidak dapat mempertahankan industri keramik di Singkawang saat ini. Desa Sakok yang bertepat di Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan dulunya merupakan sentra keramik yang dipenuhi oleh pabrik keramik.
Kini hanya tersisa satu pabrik yang masih mempertahankan penggunaan tungku naga. Sedangkan yang lain mulai beralih ke tungku bakar biasa maupun menggunakan gas elpiji.
Advertisement
Inovasi Keramik Singkawang
Industri keramik di Singkawang dinilai redup saat ini lantaran sedikitnya minat anak muda untuk menjadi perajin keramik. Abui adalah salah satu dari sedikitnya perajin keramik Singkawang yang masih bertahan hingga saat ini.
Ia mengatakan, "Mungkin anak muda tidak tertarik menggeluti bisnis keramik karena pekerjaannya kotor, mungkin mereka lebih tertarik bekerja di tempat yang lebih nyaman."
Melihat surutnya minat pembeli keramik Singkawang, Koh Abui dengan bimbingan Dekranasda Kota Singkawang aktif mengeksplorasi dan berinovasi untuk membuat keramik dengan bentuk dan motif yang berbeda agar lebih bisa diterima oleh pasar, namun tetap dengan mempertahankan ciri khas keramik tradisional Singkawang.
"Ada motif Tidayu namanya. Motif tiga etnis. Melambangkan Tionghoa, Dayak, Melayu," ujar Abui menjelaskan inovasi motif barunya. "Saya menyebutnya itu guci harmonis. Karena Singkawang kan dapat kota tertoleran di Indonesia," tambahnya. Menurutnya, jika tidak ada perkembangan motif, industri keramik Singkawang akan monoton.
Jika sebelumnya keramik Singkawang terkenal besar dan berat, saat ini Abui berinovasi membuat guci dalam ukuran kecil agar biaya produksi dan pengiriman dapat lebih ditekan. Hal ini mengundang antusiasme para pengunjung. Menurut Abui, dalam lima hari mengikuti INACRAFT, sudah sekitar 60 persen keramik yang dibawanya dari Singkawang sudah laku terjual.
Upaya Pelestarian
Upaya lain yang dilakukan oleh Dekranasda Kota Singkawang bersama Koh Abui untuk melestarikan industri keramik di Singkawang adalah dengan memasukkan mata pelajaran kriya keramik sebagai mata pelajaran tambahan atau ekstrakulikuler kepada sekolah-sekolah menengah di Singkawang. "Sekarang di Dinas Pendidikan itu memuat kearifan lokal. Jadi siswa diarahkan ikut ekskul, dikasih keterampilan itu," ungkap Sutirah.
Anak-anak SD di Singkawang kini sudah diperkenalkan dengan kearifan lokal dan dibawa langsung ke rumah-rumah perajin untuk melihat praktik nyata. Koh Abui lah yang mengajarkan langsung mata pelajaran tersebut kepada murid-murid dan sudah mengunjungi beberapa sekolah dalam kurun waktu enam bulan.
Melalui inovasi dan upaya pelestarian, diharapkan keramik Singkawang dapat terus maju. Koh Abui yang telah menjalankan bisnis sejak 2012 berkata, "Harapan saya bisa lebih dikenal lagi dari dunia luar, dari pameran di sini ya. Dulu kan keramik Singkawang itu udah dikenal, tapi sempat banyak yang bilang keramik Singkawang udah punah. Jadi saya di sini tampil mau mengatakan keramik Singkawang itu masih ada."
Advertisement