Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menyebut aparat penegak hukum tak boleh melakukan kriminalisasi. Dalam menegakkan hukum tak boleh hanya berdasarkan prasangka tanpa bukti yang cukup.
Hal itu dia katakan berkaitan dengan sengketa kepemilikan tambang PT Citra Lampia Mandiri (PT CLM). Dalam kasus ini, mantan Dirut PT CLM Helmut Hermawan merasa dikriminalisasi.
Advertisement
"Jadi kita bicara tentang fakta, tentang alat bukti, bicara tentang unsur yang tidak boleh subyektif harus dikonfrontir dengan unsur tindak pidana. Semuanya harus bersifat materiil dalam konteks pidana adalah kebenaran materiil, tidak boleh bersifat asumtif, tidak boleh bersifat imajinatif, tidak boleh bersifat halusinasi apalagi kemudian ilusi," ujar Suparji dalam keterangannya, Rabu (7/3/2023).
Suparji mengatakan, hukum harus terus ditegakkan sampai akhir dunia. Menurut Suparji, semua manusia sama di mata hukum.
"Hukum tidak boleh terdistorsi oleh siapa pun, hukum itu tegak berdiri. Bahkan langit runtuh pun, dunia binasa pun, hukum tidak boleh berhenti. Ini menunjukkan bahwa mekanisme hukum harus ditegakkan, tidak boleh ada pengecualian," kata dia.
Dia pun tidak menyetujui adanya kriminalisasi yang diduga dilakukan oknum penyidik kepolisian.
"Kriminalisasi tidak boleh terjadi pada siapa pun, kriminalisasi tidak boleh dilakukan oleh siapapun. Untuk menguji dugaan kriminalisasi tadi itu juga kembali kepada mekanisme hukum, kembali pada prosedur yang ada. Kalau memang perkara perdata selesaikan melalui mekanisme perdata, dan kemudian kalau ada unsur pidananya ada mekanisme pidananya," ujarnya.
Sementara M Fatahillah Akbar, Dosen Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta menambahkan kemunculan dugaan kriminalisasi yang dialami Helmut Hermawan menjadi bukti masih adanya tumpang tindih antara sanksi pidana dan administrasi yang dikenal dengan Una Via Principle yang merupakan pengembangan dari dari ne bis in idem.
"Di mana seharusnya tidak ada sanksi administrasi atau pidana dilakukan secara bersama-sama, harus ada batasannya, apakah ini dikenakan sanksi pidana atau administratif," ujarnya.
Akbar pun menanyakan apakah sudah ada sanksi dari pemerintah mengenai pelaporan tersebut. Sebab, menurutnya dalam konteks UU Pertambangan masuknya Administrative Penal Law yang harus diselesaikan dengan cara Primum Remedium.
Tentang batasan mengenai sanksi administratif, Akbar mengungkapkan pasal 151 UU Pertambangan mengatakan kalau ada pelaporan yang tidak benar dalam pasal 110 UU Pertambangan dapat dikenakan sanksi administrasi.
"Hal ini diperkuat dengan PP 96 tahun 2001 mengatur pengenaan sanksi administrasi juga. Lebih lanjut diperkuat dalam Peraturan Kapolri (Perkap) tentang penyidikan pidana, bahwa untuk naik sidik, penyelidikan itu harus gelar perkara dulu, setelah itu mereka melakukan penyidikan, mereka mengumpulkan bukti untuk menetapkan tersangka juga harus ada gelar kembali memang," ujar dia.
Perkap ini, lanjut Akbar sejalan dengan keputusan MK dengan peraturan Mahkamah Agung tentang penetapan tersangka harus ada prosedur.
"Sehingga perlu dilihat apakah penetapan tersangka itu tersebut sudah sesuai prosedur apa tidak itu merupakan kewenangan hak tersangka," katanya.
Permohonan Perlindungan
Helmut Hermawan sebelumnya telah melayangkan permohonan perlindungan hukum kepada Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Polda diminta untuk menjaga aset PT CLM dari manajemen ilegal yang diduga melakukan pencurian, pengapalan, dan pemuatan ore nikel milik CLM atau tindakan merugikan lainnya.
Sementara Freddy Napitupulu Direktur Operasional PT CLM mengatakan bahwa benar telah terjadi penahanan Helmut oleh Penyidik Polda Sulsel.
"Bahwa kami tidak menyangka akan dilakukan penahanan terhadap Bapak Helmut mengingat selama ini beliau sangat koperatif terhadap proses penegakan hukum yang sedang berjalan. Bapak Helmut ditangkap saat sedang dilakukan BAP di Bareskrim. Bahwa benar hingga saat ini kami tidak pernah menerima berita acara apa pun dari pihak Kepolisian," ujarnya.
Advertisement