Liputan6.com, Yogyakarta Dosen Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM, Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu menyatakan soal putusan penundaan Pemilu 2024 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah hal yang keliru. Seharusnya gugatan yang terkait dengan pemilu harus diselesaikan dalam prosedur yang ditetapkan dalam penyelesaian pelanggaran, sengketa proses, sengketa hasil dan pidana pemilu bukan melalui pengadilan umum atau peradilan lainnya.
“Kalau mengganggu sudah pasti. Bahkan putusan ini berpotensi melanggar konstitusi, sebab dalam Pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 dinyatakan secara tegas bahwa pemilu harus dilakukan 5 tahun sekali,” kata Andi Sandi, Selasa (7/3/2023).
Menurutnya, putusan dari PN Jakarta Pusat ini perlu dikoreksi atau diajukan banding sebab berpotensi ditundanya pelaksanaan pemilu selama 2 tahun 4 bulan 7 hari dari jadwal semula.
Baca Juga
Advertisement
“Konsekuensinya, pelaksanaan pemilu lebih 2 tahun dari ketentuan konstitusi yang menyatakan pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali,” tegasnya.
Andi Sandi menjelaskan dari kacamata ilmu hukum tata negara, seharusnya semua sengketa atau pelanggaran terhadap penyelenggaraan pemilu harus diperlakukan khusus karena adanya batasan waktu untuk melaksanakan pemilu. Dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah sangat jelas bahwa seluruh sengketa ataupun pelanggaran penyelenggaraan pemilu diatur secara khusus, baik lembaga yang berwenang, proses dan kedudukan putusan dari lembaga yang berwenang.
“Hal inilah yang dimanfaatkan oleh Partai Prima. Menurut saya, seharusnya Bawaslu menegur ataupun menindak KPU dengan tidak melaksanakan putusannya secara penuh. Sengketa antar KPU dan Bawaslu itu bisa diselesaikan di DKPP. Dengan demikian, ini masalah pengawasan atau putusan dan kepatuhan atas putusan lembaga yang berwenang,” tegasnya.
Lebih lanjut Andi Sandi menjelaskan semua hal yang terkait dengan pemilu, dilarang untuk diajukan ke peradilan selain yang ditentukan dalam UU Pemilu. Sementara, Bawaslu harus dengan cermat mengawasi setiap putusan yang dikeluarkannya agar tidak menjadi kendala dalam proses pelaksanaan pemilu. Soal gugatan mengenai perbuatan melawan hukum di bidang tindakan pemerintahan merupakan kewenangan PTUN bukan PN.
Sesuai dengan PerMA No.2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan/Pejabat Pemerintahan. Adapun pemerintahan di sini dimaknai luas sebagaimana diatur dalam UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan di dalamnya termasuk kekuasaan eksekutif, legislatif, dan pejabat negara lainnya.
“Jadi termasuk juga KPU. Dengan ketentuan ini, seharusnya putusan PN Jakarta Pusat itu bukan kewenangannya untuk mengadili sehingga putusannya perlu diajukan banding dengan mendasarkan pada ketentuan Peraturan MA ini. Dengan mendasarkan memori banding pada ketentuan Peraturan MA, sangat besar kemungkinan putusan PT Jakarta akan membalik putusan PN Jakarta Pusat,” ujarnya.
Sayangnya, menurut Andi Sandi eksepsi maupun pembelaan dari kuasa hukum KPU tidak menggunakan Peraturan MA ini dalam proses pembuktian gugatan Partai Prima.
“Jadi hakimnya terbawa dengan alur penggugat,” terangnya.
Meski yang menjadi pihak tergugat adalah KPU namun menurutnya posisi pemerintah bisa menjadi sebagai pemohon banding sebab putusan PN Jakarta itu bisa mengakibatkan terganggunya kewajiban pemerintah, khususnya mengenai batasan waktu masa jabatan pemerintahannya.
“Namun posisi pemerintah, bukan sebagai pemohon banding prinsipal tapi sebagai pihak terkait,” jelasnya.
Seperti diketahui, putusan penundaan pemilu 2024 ini berawal dari gugatan partai prima merasa dirugikan karena dinyatakan tidak lolos dalam proses verifikasi administrasi yang dilaksanakan oleh KPU.