Liputan6.com, Surabaya - Pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam menyatakan, reputasi Jatim dalam mengelola dana hibah masuk kategori buruk.
“Ditambal sana, kena sini begitu sebaliknya. Dan semua bermula dari zona gelap (dana hibah) itu,” ujarnya, di Surabaya, Rabu (8/3/2023).
Advertisement
Surokim mengaku setuju dengan adanya perbaikan pengelolaan dana hibah. Sembari itu, dana hibah perlu di-off-kan minimal dua sampai tiga tahun kedepan. Pasalnya, dana hibah akan menjadi zona gelap bagi pengusul, penyalur hingga penerimanya kalau sepanjang aksesnya tidak terbuka dan transparan.
“Nah, untul menyiapkan itu, ada dua reformasi. Pertama reformasi struktur, kedua reformasi kultur. Reformasi kultur itu kan berkaitan dengan integritas. Dan yang perlu dipercepat adalah reformasi struktural melalui regulasi itu,” ucapnya.
Regulasi tersebut, lanjut Surokim, cara yang paling cepat yakni melalui perubahan teknologi informasi dan komunikasi. “Jadi semua program itu dimasukkan kepada sistem informasi yang bisa diakses oleh semua masyarakat. Sekaligus pengawasan dari masyarakat juga jalan,” ujarnya.
Kedua, kata Surokim, perlu adanya tenaga independen untuk mengawasi alur dana hibah. “Agar ada gregetnya. Melalui 2 strategi transparansi melalui IT dan kedua penguatan kapasitas pengawasan independen rasanya masih tetap ada gunanya dana hibah ini,” ucapnya.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua DPW PPP Jatim, Mujahid Ansori yang meminta program dana bantuan sosial (Bansos) berupa dana hibah dihapuskan di Jatim. Menurutnya, pola dana hibah yang pernah diterapkan di Jatim, sama-sama bermasalah.
"Saya sebagai orang PPP saya lebih baik hibah dihapus. Kita tolak bersama-sama karena faktanya di lapangan banyak masalah," ujarnya.
Hibah Merupakan Belanja Tidak Langsung
Mujahid menjelaskan, dalam konteks stabilitas APBD, hibah merupakan belanja tidak langsung. Sebuah daerah dianggap sehat jika belanja langsungnya lebih besar dari belanja tidak langsung. Sementara di Jatim, kata dia, sudah terlalu kebablasan karena belanja tidak langsungnya lebih besar.
"Hibah kalau dengan program belanja langsung beda. Kalau belanja langsung akan lebih terukur. Hibah itu hadiah, bisa diberikan ke siapa saja. Bisa miskin, bisa kaya. Tapi sekarang relatif hanya didapatkan oleh orang yang punya relasi politik. Bahkan ada di bawah yang dapat hibah berkali-kali, jadi ada ketidakadilan," ujarnya.
Mujahid menekankan, dirinya bukan bermaksud menentang program-program untuk kemaslahatan masyarakat. Hanya saja, kata dia, sistemnya harus diubah. Apalagi, lanjutnya, dengan adanya hibah, fungsi pengawasan dewan menjadi semakin berkurang.
"Harusnya dewan mengawasi tapi ini malah diawasi. Saya berharap hibah dievaluasi. Bukan tidak berpihak kepada masyarakat. Tapi dievaluasi sistemnya. Jangan sampai tidak terukur," kata Mujahid.
Advertisement