Liputan6.com, Jakarta Proses legislasi Rancangan Undang – Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) terus bergulir dan dari sisi kemajuan dapat dikatakan cukup progresif.
Hingga tulisan ini dibuat, proses legislasi telah sampai pada tahap pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) antara Pemerintah dan DPR, khususnya Komisi VII.
Advertisement
Dari sisi substansi, dari berbagai aspek pengaturan yang ada, dapat kita sederhanakan menjadi setidaknya tiga hal pokok, yaitu tentang pertama, tata kelola pengembangan EBET. Kemudian kedua transisi energi, dan ketiga, aspek keekonomian pengembangan EBET.
Tata Kelola Pengembangan EBET
Pengaturan tata kelola pengembangan EBET dalam hal ini diantaranya meliputi tujuan penyelenggaraan EBET, penguasaan sumber daya EBET, dan mekanisme pengusahaan EBET. RUU EBET menetapkan bahwa sumber daya EBET dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.
Ketentuan ini tercatat sedikit berbeda dengan ketentuan yang terdapat di dalam UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi, dimana sumber daya EBET tidak disebut sebagai dikuasai oleh negara melainkan (hanya) diatur oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.
Di dalam UU Energi 30/2007, jenis sumber energi yang disebutkan dikuasai oleh negara tercatat hanya sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar dan nuklir. Perbedaan tersebut dapat dipandang mengindikasikan adanya pergeseran cara pandang dan perlakuan terhadap sumber daya EBET di Indonesia.
Sumber daya EBET tidak lagi ditempatkan sebagai sumber energi alternatif, melainkan sebagai sumber energi yang penting setara dengan sumber energi strategis lainnya seperti halnya migas ataupun batubara.
Penegasan bahwa sumber daya EBET dikuasai oleh negara pada dasarnya memberikan sinyal bahwa pengaturan, pengendalian, dan pada tingkatan tertentu, keterlibatan pemangku kebijakan terhadap pengembangan dan pemanfaatan EBET dapat semakin besar.
Dalam kaitannya dengan pengusahaan dan pengembangan EBET, hal tersebut dilakukan melalui mekanisme Perizinan Berusaha yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Khusus untuk energi nuklir, selain Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat, pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir dilakukan berdasarkan persetujuan DPR RI.
Pemerintah juga diwajibkan membentuk Majelis Tenaga Nuklir yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden dalam pengembangan dan pemanfaatn energi nuklir.
Secara sederhana dapat dilihat bahwa esensi di dalam aspek tata kelola pengembangan EBET ini adalah bahwa pengaturan dan pengendalian ada di tangan pemerintah, namun pengusahaan dan pelaksanaanya dapat dilakukan oleh berbagai pihak.
Perumusan peran dan fungsi pemerintah yang tepat dalam hal ini sangat diperlukan untuk di satu sisi dapat memfasilitasi pengusahaan pengembangan EBET dengan baik dan di sisi lain hal itu tetap dalam koridor yang terkelola dan terkendali dengan baik.
Transisi Energi
Dalam hal transisi energi, pengaturan yang ada di dalam RUU EBET pada dasarnya menekankan adanya tahapan dan keseimbangan di dalam pendayagunaan sumber daya energi baru, energi terbarukan dan energi tak terbarukan.
RUU EBET menetapkan pengembangan EBET dilakukan untuk menggantikan energi tak terbarukan dilakukan dengan transisi energi dalam masa tertentu secara bertahap, terukur, rasional dan berkelanjutan.
Salah satu ketentuan yang ada adalah transisi di dalam terminasi pengoperasian pembangkit energi tak terbarukan, dalam hal ini pembangkit batubara dan diesel. Dalam hal pembangkit batubara, transisi yang ada adalah dengan tetap mengoperasikannya sampai periode tertentu.
Juga dengan tetap mengamankan pasokannya melalui ketentuan Domestic Market Obligation (DMO) yang ditetapkan sebanyak minimal 30 persen dari rencana produksi batubara dengan harga maksimal pada 70 dolar AS per ton dengan acuan kalori 6.33 kilo kalori per kilogram.
Adapun dalam hal pembangkit listrik diesel, diatur secara lebih tegas bahwa seluruh pembangkit listrik tenaga diesel dalam rangka penyediaan listrik untuk kepentingan umum harus diganti menjadi pembangkit listrik EBET.
Pengaturan tentang transisi energi ini di satu sisi dapat dipandang sebagai cerminan ambiguitas dan kemunduruan di dalam lebih mendorong pengembangan energi terbarukan dalan hubungannya dengan energi tak terbarukan.
Namun di sisi lain sebenarnya dapat juga dipandang mencerminkan sikap kehati-hatian, proporsional, dan realistis di dalam memandang fenomena transisi energi yang bergulir di tingkat global.
Fakta bahwa peran sumber energi fosil dalam bauran energi global masih signifikan dan permintaan-konsumsinya bahkan juga meningkat di saat keadaan global sedang berada dalam ketidakpastian tinggi (pandemi Covid, perang Rusia-Ukraina) menegaskan bahwa terlepas dari adanya perbedaan kepentingan dan cara pandang di dalam menerjemahkan transisi energi, jaminan keamanan pasokan energi adalah hal yang paling utama bagi setiap negara.
Keekonomian Pengembangan EBET
Pengaturan terhadap aspek keekonomian di dalam RUU EBET diantaranya meliputi pengaturan harga dan mekanisme pembelian listrik EBET, pengaturan insentif, dan pembentukan Dana EBET.
Di dalam hal pengaturan harga dan mekanisme pembelian listrik EBET, RUU EBET tercatat menetapkan dua mekanisme penetapan harga jual listrik EBET, yaitu melalui kesepakatan para pihak dan melalui penetapan Pemerintah Pusat berupa harga patokan tertinggi.
Dalam hal penetapan harga pembelian melalui dua mekanisme di atas menemui kegagalan, maka dapat dilakukan penugasan oleh Pemerintah Pusat dengan harga yang ditetapkan melalui negosiasi para pihak.
Hal ini dilakukan dengan tetap mengacu pada harga keekonomian yang spesifik pada lokasi dan kapasitas yang akan dikembangkan sesuai dengan prosedur pengadaan yang berlaku.
Dalam hal ini, Pemerintah Pusat dapat menugaskan perusahaan listrik milik negara atau badan usaha milik swasta untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari EBET.
Di dalam kaitannya dengan pengaturan insentif, ketentuan yang diatur sejauh ini relatif masih bersifat umum. Pengaturan insentif di dalam RUU EBET mencakup pengaturan insentif dalam bentuk fiskal dan non-fiskal.
Insentif fiskal dalam hal ini dapat berupa insentif pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, kepabeanan, penerimaan negara bukan pajak dan/atau keringanan iuran dan pungutan dalam berbagai bentuk.
Sementara insentif non-fiskal dalam hal ini dapat berupa kemudahan perizinan terkait pengadaan tanah dan infrastruktur serta pemanfaatan wilayah hutan.
Pengaturan lebih detail tentang insentif fiskal dan insentif non-fiskal disebutkan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dalam kaitan dengan aspek keekonomian, satu hal yang relatif baru dalam RUU EBET adalah adanya pengaturan tentang pembentukan Dana EBET.
Disebutkan Dana EBET dapat digunakan untuk pembiayaan infrastruktur EBET, pembiayaan insentif, kompensasi terhadap badan usaha yang mengembangkan EBET, penelitian dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Dana EBET dalam hal ini dapat bersumber dari APBN, APBD, pungutan ekspor energi fosil, perdagangan karbon dan sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan. Pengelolaan Dana EBET berada di bawah kewenangan Menteri Keuangan.
Dari sisi cakupan, pengaturan dan ketentuan yang berkaitan dengan aspek keekonomian di dalam RUU EBET pada dasarnya dapat diatakan sudah cukup lengkap. Namun, secara substansial pengaturan dan ketentuan tersebut pada dasarnya belum akan dapat secara langsung membuat mekanisme pasar di dalam investasi pengembangan EBET bekerja.
Dalam kaitannya dengan ketentuan harga jual listrik EBET misalnya, penetapan harga jual listrik EBET melalui mekanisme kesepakatan para pihak tetap belum sepenuhnya menjamin badan usaha pengembang listrik EBET dapat menjual listrik sesuai dengan harga keekonomian.
Sementara penetapan harga jual listrik EBET melalui penetapan Pemerintah Pusat berupa harga patokan tertinggi juga relatif belum memberikan jaminan kepada pengembang EBET bahwa listrik yang diproduksikannya akan terserap.
Sementara untuk pengaturan insentif untuk pengembangan EBET, sejauh ini ketidakpastian untuk terealisasikannya insentif tersebut masih cukup tinggi mengingat belum adanya aturan detail tentang skema dan mekanisme pemberian insentif tersebut.
Dengan kondisi tersebut, gambaran terhadap bagaimana kemungkinan pengaruh adanya pemberian insentif terhadap keekonomian pengembangan EBET menjadi relatif belum terukur. Kondisi yang sama juga berlaku untuk pengaturan Dana EBET, dimana implementasi Dana EBET masih akan bergantung dan ditentukan oleh pengaturan di tingkat aturan pelaksananya.
Catatan akhir
Dari sisi praktis, dalam pengertian bagaimana agar pengembangan EBET dapat segera terealisasi dengan konkret, dari berbagai aspek yang ada, aspek keekonomian dapat dikatakan merupakan aspek vital yang terpenting.
Dalam konteks ini, di dalam proses legislasi dan pembahasan RUU EBET yang masih akan terus berjalan penyempurnaan di dalam operasionalisasi aspek keekonomian kiranya perlu dilakukan.
Di dalam aspek keekonomian, RUU EBET perlu lebih diarahkan untuk dapat secara lebih spesifik mengatur dan memuat ketentuan-ketentuan yang secara praktis dapat memfasilitasi, memberi kepastian, dan menjamin berjalan dan bekerjanya mekanisme pasar di dalam investasi-investasi EBET secara efektif,, efisien dan sehat.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah pengaturan di dalam penerapan harga listrik EBET maupun skema Feed In Tariff (FIT) yang menyertainya.
Hendaknya di dalam pengaturan harga dan skema FIT ini RUU EBET nantinya tidak sekadar menetapkan rentang skala harga dan FIT yang layak saja, tetapi juga mengatur secara lebih lugas bahwa pemerintah melalui mekanisme insentif ataupun subsidi tertentu adalah pihak yang akan menanggung selisih keekonomian investasi yang tidak dapat dicapai melalui mekanisme pasar murni.
Pengalaman di berbagai negara mengajarkan bahwa keekonomian di dalam sebagian besar investasi EBET memang memerlukan pengaturan cukup detail dan intervensi langsung dalam bentuk insentif baik fiskal maupun non-fiskal dari pemerintah.
Termasuk di dalam hal ini misalnya adalah kejelasan pengaturan dalam hal kewajiban atau penugasan kepada pihak tertentu untuk membeli listrik yang dihasilkan dari pembangkit EBET dan atau di dalam menanggung selisih harganya yang mungkin masih di bawah nilai keekonomian.
Tanpa kejelasan tentang siapa pihak yang akan menanggung selisih keekonomian itu, dalam apa bentuknya, dan melalui mekanisme apa, sulit untuk mengharapkan investasi EBET akan dapat berjalan, apalagi dalam skala masif.
Kejelasan di dalam aspek keekonomian dari RUU EBET dapat dikatakan merupakan penentu keberhasilan dalam pelaksanaan transisi energi maupun di dalam pengembangan EBET secara lebih luas di tanah air.
**Penulis adalah Pri Agung Rakhmanto, Pengajar di FTKE Universitas Trisakti Founder dan Advisor ReforMiner Institute
Advertisement