Liputan6.com, Seoul - Dokumenter Netflix berjudul In the Name of God: A Holy Betrayal telah membangkitkan minat audiens terkait masalah sekte sesat di Korea Selatan. Ada sekte yang ketahuan melakukan kekerasan seks kepada pengikutnya, serta ada yang terlibat bunuh diri massal.
Aksi nekat itu dilaksanakan pada akhir Agustus 1987. Sebanyak 32 orang ditemukan tewas di area langit-langit sebuah pabrik. Mereka adalah pengikut Park Soon Ja, pemimpin sekte Five Oceans.
Baca Juga
Advertisement
Ada dua tumpukan jenazah yang ditemukan. Satu tumpukan terdiri atas 19 orang, serta ada yang posisinya gantung diri. Mulut-hidung mereka disumbat kapas. Korban juga termasuk anak-anak Park Soon Ja.
Pada 1987, Assosiated Press mengutip laporan KBS bahwa mayoritas korban adalah wanita, yakni 29 orang.
Dokumentasi In the Name of God: A Holy Betrayal dalam Netflix membahas kasus tersebut dalam salah satu episodenya. Wawancara-wawancara Park Soon Ja diungkap ke publik, serta masalah keuangan wanita tersebut.
Park Soon Ja merupakan CEO dari Five Oceans. Nama itu ternyata masih terkait klaim wanita itu bahwa ia adalah penguasa lima samudra.
Pada satu wawancara, ia berkata: "Saya tidak tertarik pada uang atau saham. Saya mungkin perempuan tetapi tidak tertarik dengan busana atau perhiasan."
Five Oceans menawarkan jasa investasi dengan keuntungan yang besar. Reputasi Park Soon Ja yang cinta anak-anak turut menjadi modal perusahaan tersebut. Masyarakat pun terus-terusan meminjamkan uang ke Five Oceans dengan harapan meraih keuntungan besar.
Setelah penemuan jenazah yang menumpuk, media Korea Selatan berkata aksi tersebut dipicu fanatisme, serta masalah keuangan. Pihak berwenang berkata Park Soon Ja terlilit utang yang banyak.
Misteri Sekte: Bunuh Diri atau Pembunuhan?
Berdasarkan investigasi aparat Korea Selatan, Park Soon Ja disebut yang meninggal pertama dengan cara dicekik. Ia dicekik oleh salah satu pengikutnya, manajer pabrik tersebut.
Setelahnya, manajer pabrik itu membunuh para pengikut Park Soon Ja, termasuk keluarga wanita itu. Manajer pabrik itu lantas bunuh diri.
Meski demikian, ada yang berpendapat di dokumenter itu bahwa yang terjadi bukan bunuh diri, melainkan ada pembunuhan massal.
Keraguan itu muncul karena si manajer pabrik dinilai tidak mungkin membunuh semua orang di pabrik tersebut. Alhasil, ada teori yang menyebut ada pihak ketiga yang membunuh Park Soon Ja dan para pengikut setianya.
Pihak-pihak yang curiga juga tidak percaya bahwa Park Soon Ja meninggal duluan, sebab ia posisinya adalah pemimpin.
Tetapi, pihak investigator telah menegaskan bahwa Park Soon Ja meninggal pertama, kemudian manajer pabriknya bunuh diri terakhir.
Advertisement
Sekte Jesus Morning Star di In the Name of God: A Holy Betrayal
Selain Five Oceans, dokumenter Netflix itu juga menyorot sekte yang pemimpinnya bahkan mengaku sebagai sosok Messiah kepada pengikutnya.
Sekte itu bernama Jesus Morning Star yang didirikan oleh Jeong Myeong Seok pada tahun 1980. Nama pendiri dan sektenya memiliki inisial yang sama.
Jeong Myeong Seok berhasil meraih pengikut dengan retorikanya yang persuasif dan gaya kepemimpinan yang atraktif. Ia bukan sosok yang kaku, melainkan flamboyan, jago olahraga, dan paham politik.
Tak heran ia dulu berhasil merekrut banyak pengikut dari universitas-universitas elit Korea Selatan. Pengikutnya termasuk dari universitas SKY (akronim untuk kampus bergengsi di Korea Selatan yakni Universitas Seoul, Universitas Korea, dan Universitas Yonsei).
Kontroversi JMS diungkap Netflix oleh mantan anggota hingga korban kekerasan seks dari Jeong Myeong Seok. Salah satu korban adalah wanita bernama Maple. Wanita berusia 20 tahunan itu mengakui dirinya pernah jadi korban Jeong Myeong Seok.
Tetapi, kasus kekerasan seksual dari JMS ternyata telah terjadi sebelum tahun 2000-an. Sasarannya adalah gadis-gadis muda.
Berikut lima fakta kelam mengenai sekte seks JMS yang diungkap dokumenter In the Name of God: A Holy Betrayal:
1. Kampus Elit
JMS awalnya berkantor di Sinchon, Korea Selatan. Sasaran JMS ternyata bukan semata-mata orang religius saja, melainkan anak-anak muda. Banyak mahasiswa yang tertarik ikut di sekte tersebut.
Pada tahun 1980-an, Korea Selatan memang sedang bergejolak, ada generasi muda yang memilih ikut gerakan sosial, namun ada pula yang memilih masuk aliran agama.
Popularitas JMS di kampus pun meroket. Dan kampus-kampus elit menjadi fokus utama.
Anggota-anggotanya ada yang berasal dari tiga universitas elit SKY: Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University. Ada pula mahasiswa dari KAIST, Hanywang, dan Ewha.
Salah satu daya tarik JMS adalah gaya Jeong Myeong Seok yang secara budaya terbuka, serta mendukung kegiatan seni dan olahraga. Alhasil, sekte itu diminati orang-orang berusia 20 tahunan.
Advertisement