Liputan6.com, Beijing - Xi Jinping diangkat kembali untuk masa jabatan ketiga sebagai presiden China lima tahun mendatang pada Jumat (10/3/2023). Peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya itu memperkuat kontrol Xi Jinping dan menjadikannya kepala negara yang paling lama menjabat sejak pendirian Republik Rakyat China pada tahun 1949.
Dalam pemungutan suara yang berlangsung di Balai Agung Rakyat di Beijing, Xi Jinping menerima 2.952 suara bulat disertai dengan tepuk tangan meriah.
Advertisement
Pengangkatan kembali Xi Jinping sebagian besar diyakini hanya sebagai formalitas. Pasalnya, kepresidenan sebagian besar merupakan gelar seremonial di China. Adapun kekuasaan nyata berada pada kepala partai dan militer - dua peran kunci yang juga diduduki Xi Jinping, di mana dia diangkat kembali melalui kongres utama Partai Komunis China pada Oktober lalu.
Li Qiang, salah satu anak didik Xi Jinping yang paling dipercaya, diperkirakan akan dipilih sebagai perdana menteri pada Sabtu (11/3). Demikian seperti dilansir CNN.
Secara tradisional, jabatan perdana menteri adalah peran yang bertanggung jawab atas ekonomi. Namun, selama dekade terakhir kewenangan perdana menteri disebut telah terkikis oleh Xi Jinping, yang memusatkan hampir seluruh pengambilan keputusan di tangannya.
Selain pengangkatan Xi Jinping, Kongres Rakyat Nasional (NPC) pada Jumat juga menunjuk sejumlah pemimpin utama lainnya, termasuk Zhao Leji sebagai Ketua Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional dan Han Zheng sebagai wakil presiden.
Semua pemimpin yang baru diangkat mengambil sumpah setia kepada konstitusi China di Balai Agung Rakyat.
NPC juga menyetujui rencana menyeluruh untuk mereformasi lembaga-lembaga di bawah Dewan Negara, termasuk pembentukan badan pengatur keuangan dan biro data nasional serta pembenahan kementerian sains dan teknologi.
Perombakan tersebut dipandang sebagai langkah lebih lanjut oleh Xi Jinping untuk memperkuat kontrol Partai Komunis China atas bidang-bidang utama pembuatan kebijakan.
Tantangan Xi Jinping di Dalam dan Luar Negeri
Sementara Xi Jinping telah mengamankan cengkeraman kuat pada kekuasaan, dia menghadapi segudang tantangan baik di dalam maupun luar negeri.
Perekonomian China sedang berjuang untuk pulih pasca tiga tahun kebijakan nol-COVID, memudarnya kepercayaan investor, dan krisis demografi yang menjulang saat negara itu mencatat penurunan populasi pertamanya dalam enam dekade.
China juga menghadapi serangkaian hambatan diplomatik dari Amerika Serikat (AS) dan negara Barat lainnya atas sejumlah isu seperti hak asasi manusia, pembangunan militer, perang dagang dan teknologi, penanganan COVID-19, serta kemitraan yang berkembang dengan Rusia.
Dalam pidato yang tidak biasa pada Senin, Xi Jinping menuduh AS memimpin kampanye untuk menekan China dan menyebabkan kesengsaraan domestik yang serius.
"Negara-negara Barat yang dipimpin oleh AS telah menahan dan menindas kami dengan segala cara, yang telah membawa tantangan berat yang belum pernah terjadi sebelumnya," ujar Xi Jinping di hadapan sekelompok penasihat pemerintah yang mewakili bisnis swasta di sela-sela pertemuan NPC.
Advertisement
Xi Jinping Paling Berkuasa dan Otoriter
Sepanjang sejarah, tidak ada pemimpin China yang memegang gelar kepala negara selama lebih dari 10 tahun, termasuk bapak pendiri Republik Rakyat China Mao Zedong.
Pasca kematian Mao Zedong, pemimpin tertinggi Deng Xiaoping memperkenalkan batasan masa jabatan presiden dalam konstitusi China pada tahun 1982 untuk menghindari kekacauan dan malapetaka yang terjadi di bawah pemerintahan seumur hidup Mao Zedong.
Deng Xiaoping juga memimpin reformasi kelembagaan untuk membawa pemisahan posisi dan fungsi yang lebih besar antara partai dan negara.
Namun, upaya Deng Xiaoping telah dirusak oleh Xi Jinping, yang sangat memperluas kekuasaan partai dan cengkeramannya sendiri atas partai tersebut.
Pada tahun 2018, badan legislatif China menghapus batasan masa jabatan presiden dalam pemungutan suara seremonial, yang secara efektif memungkinkan Xi Jinping memerintah seumur hidup.