Liputan6.com, Jakarta - Sering kali pasien obesitas sudah termotivasi untuk menurunkan berat badan tetapi tidak berhasil. Tak jarang, hal ini terjadi karena pasien dianggap kurang termotivasi.
Padahal, banyak faktor lainnya yang memengaruhi perlu bantuan beberapa dokter spesialis untuk mengatasinya.
Advertisement
Ketua Bidang Organisasi Himpunan Studi Obesitas Indonesia, dr. Dicky Tahapary, Sp.PD-KEMD, PhD, mengatakan bahwa dalam obesitas, bagian paling sulit bukan saat menurunkan di awal, tetapi mempertahankan penurunan berat badannya.
“Biasanya begitu sudah turun, terus balik naik lagi. Nanti dibilang isunya kurang motivasi, padahal sebenarnya nggak murni karena motivasi. Begitu berat badan kita turun, banyak metabolisme dalam tubuh kita yang berubah. Itu bisa dibantu dengan panduan dari dokter,” jelas Dicky pada talk show ObesiTalk: Mari Bicara untuk Mengubah Stigma ditulis Minggu, 12 Maret 2023.
Dicky menjelaskan, pada kasus obesitas yang di tengah-tengah tak mengalami penurunan bisa jadi karena faktor hormon maupun genetik. Dalam kondisi ini dibutuhkan penanganan dokter multidisiplin.
“Kalau ada masalah hormon, maka dokter penyakit dalam harus ikut. Kalau perlu, bahkan teman-teman dari psikologi atau psikiatri juga ikut untuk meningkatkan motivasi. Obesitas itu bukan sprint, tapi marathon yang berarti jangka panjang. Yang paling susah adalah maintenance-nya,” tambahnya.
Bantuan Dokter Bantu Pasien Obesitas Kembali Sehat
Penelitian di Asia Pasifik, bahwa lebih dari setengah dokter masih menganggap bahwa keberhasilan penurunan berat badan seratus persen berada di tangan pasien.
“Ini terbukti melalui penelitian, 7 dari 10 dokter di Asia Pasifik masih melihat bahwa menurunkan berat badan serta merta hanya tanggung jawab dari pasien. Padahal tidak.”
“Bantuan dari dokter ini penting sekali untuk membantu pasien mencapai kesehatannya. Jadi, menurunkan lemak tubuh tujuannya adalah untuk menjaga tubuh yang sehat tadi,” ungkap Dicky.
Mengurangi Berat Badan Bukan Cuma dengan Makan Sedikit dan Bergerak Lebih Banyak
Clinical, Medical, Regulatory, and Quality Director Novo Nordisk Indonesia, dr. Riyanni Meisha Tarliman mengungkapkan banyak orang yang berpikir bahwa mengatasi obesitas dengan eat less and move more itu cukup. Setelah berat badan sudah turun, maka sudah selesai. Ternyata, pikiran itu salah.
Menurut Yani, yang terpenting adalah bagaimana kita mempertahankan penurunan berat badan itu menjadi berkesinambungan. Bukan sekadar before and after, tetapi before, after, and how it continued.
Advertisement
Obesitas Bukan Hanya Dilihat Dari Bentuk Tubuh
Menurut Dicky, obesitas tidak terpaku dari besar badan seseorang saja. Tak melulu orang yang berbadan besar sudah pasti obesitas. Orang yang bertubuh kecil tetapi lemak tubuhnya banyak juga bisa tergolong obesitas.
“Jadi, bukan semata-mata dilihat dari berat badan, tetapi penumpukan lemak tubuh. Komposisi tubuh kita ada lemak, otot, tulang, air. Nah, ini kita lihat lemak tubuh yang berlebih yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan,” rinci Dicky.
“Secara umum dilihat dari ukurannya saja, padahal sebenarnya nggak juga. Ada orang-orang yang posturnya kecil, tetapi lemak tubuhnya berlebih. Itu bisa juga masuk ke kategori obesitas,”
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Obesitas
Terdapat berbagai faktor yang dapat memengaruhi obesitas, di antaranya faktor genetik, faktor lingkungan, faktor perilaku, dan faktor metabolisme tubuh.
“Satu per lima kasus obesitas di Indonesia itu karena lingkungan. Ada sesuatu yang perlu diperbaiki dari lingkungan kita. Lingkungan pemilihan makanan, lingkungan berolahraga, itu semua awalnya menjadi risiko obesitas. Baru di ujungnya timbul diabetes, obat jantung,” tuturnya.
Dicky menambahkan, yang menjadi masalah adalah memang masih ada masyarakat atau dokter yang menganggap obesitas itu semata-mata masalah terlalu banyak makan dan kurang gerak. Padahal, banyak faktor lain di tengah-tengahnya.
Advertisement