Liputan6.com, Jakarta - Bangga dan merasa jadi orang paling beruntung, para perajin alat musik tradisional eksis di tengah terpaan globalisasi yang mengancam eksistensi. Di setiap apa yang dikerjakan, ada curahaan kecintaan pada budaya, ada keahlian tiada dua yang tertempa waktu.
Di antaranya, terdapat Saung Angklung Udjo yang, sesuai namanya, mempertahankan tradisi pembuatan angklung. "Berawal dari kecintaan Udjo Ngalagena dan istrinya, Uum Sumiati, terhadap budaya kesundaan, Mang Udjo sebagai guru, sekaligus pelaku seni dan budaya, berguru mengenai angklung pada Daeng Soetigna yang pada akhirnya ikut berperan mengenalkan angklung ketika konferensi Asia Afrika atas permintaan Bung Karno," sebut Direktur Utama Saung Angklung Udjo, Taufik Hidayat Udjo, melalui pesan pada Liputan6.com, Rabu, 8 Maret 2023.
Baca Juga
Advertisement
Ia menyambung, "Dengan bekal ilmu yang didapat dari Daeng Soetigna, mang Udjo membuka Saung Angklung Udjo. Hal pertama yang dilakukan Saung Angklung Udjo adalah atraksi, lalu memproduksi angklung yang secara ekonomi sangat membantu penampilan atraksi tersebut."
Sementara dari tanah Batak, ada Martunas Siburian yang menggeluti seni pembuatan alat musik tradisional wilayahnya lewat tutorial YouTube, hingga melanjutkan berguru pada para pegiat terdahulu. "Awalnya itu di bulan dua (Februari) 2020," katanya melalui pesan suara, Jumat, 10 Maret 2023.
Ia berkata, "Jadi, alat musik yang kami buat ada hasapi, suling, taganing, ogung, sarune etek, dan sarune bolon. Kami memasarkannya melalui media sosial: Facebook dan Instagram @sanggar_seni_dalloid_tipang."
Menjaga Keaslian Alat Musik Tradisional
Lebih lanjut Martunas bercerita bahwa awalnya, ia dan perajin di sanggar membuat alat musik dengan alat seadanya. "Sekarang memang mulai berkembang (menggunakan) mesin bubut, tapi kami mempertahankan keaslian dalam pembuatannya, terutama taganing," ia menyebut.
"Kami masih menggunakan cara manual," imbuhnya. "Bahan bakunya juga kami pertahankan dari kayu nangka. Kayu lain juga sebenarnya bisa, tapi kayu nangka merupakan ciri khas kami."
Sedangkan, para perajin angklung profesional dan berpengalaman selama puluhan tahun terlibat dalam pembuatan angklung di Saung Angklung Udjo. Sekarang, ada sekitar 16 kelompok perajin, dengan satu kelompok biasanya terdiri dari 6 sampai 10 orang.
Dijelaskan bahwa bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung produksi Saung Angklung Udjo adalah bambu yang tumbuh maupun ditanam di tanah dengan kadar kapur atau di dataran tinggi dan wilayah dekat pantai bagian selatan Jawa Barat.
Bambu hitam digunakan untuk tabung suara; bambu apus dimanfaatkan sebagai dasar angklung; rangka karakteristiknya dibuat dari bambu gombong; dan rotan dengan tingkat ketebalan 2--3 mm digunakan sebagai bahan pengikat tabung dan penambah estetika.
Advertisement
Tantangan Mempertahankan Pembuatan Alat Musik Tradisional
Dengan standardisasi tersebut, Taufik menyebut bahwa mendapatkan bahan baku berkualitas jadi salah satu tantangan pembuatan angklung di Saung Angklung Udjo. "Karena bambu harus ditanam di tanah yang mempunyai kadar kapur tertentu yang akan memengaruhi kualitas angklung nantinya," ia menyebut.
"Proses pembuatan angklung harus berbasis kekeluargaan. Misalnya, ayah yang membuat bakalan, ibu dan anak yang mengikat rangka, dan lain-lain," sambungnya, menambahkan faktor tantangan dalam melanggengkan produksi angklung.
Mempertahankan produksi alat musik tradisional Batak juga tidak kalah sulit. Martunas menyebut, "Berat, karena anak muda sekarang sudah beralih. Kami sekarang melatih (anak-anak muda) dalam band, supaya mereka tetap mengingat apa itu budaya dan seasyik apa itu budayanya."
Tertarik bermain alat musik tradisional Batak tidak berarti ingin jadi perajin alat musiknya. Tapi, celah ketertarikan itu tetap mereka manfaatkan. "Kami ada jadwal dua kali seminggu latihan (bermain alat musik tradisional Batak), di sela itu, kami kasih lihat proses pembuatan alat musik," ia berkata.
"Jadi, semacam edukasi buat mereka, dan ternyata anak-anak suka-suka saja. Mereka (setidaknya) sudah mampu membuat hasapi dan suling," ceritanya. "Anggota sanggar ada 25 anak dan rencana ke depan, kami akan mendatangi sekolah, khususnya SD, mencari bibit (penerus) untuk digali potensinya."
Kebanggan Jadi Perajin Alat Musik Tradisional
Sebagai seorang perajin alat musik tradisional Batak, Martunas merasa jadi orang paling beruntung. "Tahu apa itu alat musik Batak, mempelajarinya, (memahami) proses pembuatannya, dan utamanya, bisa menghasilkan buat keluarga dan anak-anak (dari jadi perajin alat musik tradisional Batak)," sebut pria berusia 35 tahun tersebut.
Ia menyambung, "Makanya kami jalan terus dan mencintai pekerjaan ini dengan segenap hati kami."
Terkait penjualan alat musik, ia bercerita bahwa tingkatnya "tergantung musim." "Tapi untuk sekarang, sebulan pasti ada laku satu set karena penggemarnya sudah beralih ke anak muda. Kalau ke kota, orang Batak (setidaknya) sudah punya satu set suling atau hasapi," sebutnya.
Dalam waktu tertentu, bisnis yang dimulai dengan modal Rp5 juta ini juga bisa menghasilkan omzet hingga Rp50 juta. "Tapi, itu tidak sepenuhnya dari penjualan alat musik tradisional, karena saya juga membuat perahu," kata Martunas.
Sementara, Saung Angkung Udjo menggarisbawahi kebangaan mereka jadi bagian dalam mengorkestrasi berbagai keahlian dan kontribusi dalam pemajuan kebudayaan dengan menjaga dan menginovasikan warisan budaya melalui pembuatan angklung dan turut memberdayakan petani bambu.
"Bahkan, (kebanggan juga dirasakan) talent yang jadi suguhan pertunjukan yang diminati dengan prinsip 'keep the old one and create the new one.' Dengan berbagai rangkaian ini selama 57 tahun, Saung Angklung Udjo jadi ekosistem angklung terbesar di dunia," tandasnya.
Advertisement