Liputan6.com, Jakarta Areal pemakaman di tanah Jawa, seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta, dipastikan ramai pada hari-hari menjelang bulan Ramadhan 2023.
Pasalnya, masyarakat Jawa memiliki tradisi rutin yang terus dilestarikan hingga kini, yakni dengan mengunjungi makam orang tua, para leluhur, dan alim ulama.
Kegiatan itu merupakan bagian dari tradisi yang disebut Nyadran yang dilakukan di setiap akhir bulan Sya’ban.
Baca Juga
Advertisement
Bagi masyarakat Jawa, seperti ada yang kurang memasuki bulan suci Ramadan apabila meninggalkan tradisi nyadran.
Terkadang, nyadran juga dilaksanakan pada setiap hari ke-10 Bulan Rajab atau saat bulan Sya’ban tiba. Masyarakat Jawa menyebutnya bulan Ruwah atau meruhi arwah dalam kalender Jawa.
Sebenarnya, cikal bakal nyadran telah ada sejak zaman Hindu-Buddha, tepatnya sejak zaman Majapahit sekitar tahun 1284. Pada masa itu, terdapat tradisi yang mirip nyadran yang disebut sraddha.
Antara nyadran dan sraddha memiliki persamaan perihal kegiatannya dalam memberikan sesaji dan penghormatan kepada orang yang telah meninggal. Bedanya, pada tradisi sraddha hanya dilakukan untuk memperingati kepergian raja.
Seiring perkembangan zaman, prosesi ritual agama Hindu-Budha ini sedikit banyak mempengaruhi Islam dalam penyebarannya di tanah Jawa. Dahulu, sraddha menggunakan puji-pujian, kemudian dalam nyadran diganti dengan pembacaan ayat suci Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa.
Istilah nyadran sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yakni, sadran yang memiliki arti 'keyakinan'.
Pada saat melakukan tradisi nyadran dilakukan juga besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan.
Selanjutnya, melakukan ziarah kubur disertai dengan tabur bunga, untuk mendoakan roh yang telah meninggal di area makam.
Dalam masyarakat Jawa, membersihkan makam merupakan bagian dari rangkaian tradisi nyadran yang pada umumnya dilakukan di daerah pedesaan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Mebersihkan Makam
Dalam masyarakat Jawa, pembersihan makam merupakan bagian dari rangkain tradisi nyadran yang pada umumnya dilakukan di daerah pedesaan.
Masyarakat Jawa percaya, dengan membersihkan makam adalah salah satu simbol untuk pembersihan diri menjelang Ramadan. Nyadran merupakan bentuk bakti mengenang leluhur yang telah mendahului.
Setelah melakukan pembersihan makam, selanjutnya kegiatan nyadran dihiasi dengan kenduri, yang biasanya digelar di masjid atau makam desa.
Sebagaimana kenduri pada umumnya, kegiatan dihiasi dengan pembacaan ayat Al Quran, zikir, tahlil, doa dan ditutup dengan makan bersama dengan memakan masakan hasil bumi.
Menu yang tersaji biasanya nasi berkatan, nasi tumpeng lengkap dengan lauk ingkung ayam, urapan, buah-buahan, serta jajan.
Meski bentuk kegiatan sama, makna nyadran sangat berbeda dengan ziarah kubur. Waktu pelaksanaan ritual nyadran telah ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memiliki otoritas.
Advertisement
Nyadran dan Ziarah Kubur
Biasanya pihak yang berwenang itu adalah juru kunci atau sosok yang paling dituakan dalam masyarakat di daerah tersebut.
Berbeda dengan ziarah kubur, ritual nyadran dilakukan secara kolektif dengan melibatkan seluruh warga desa. Biasanya dilakukan di dua pusat bangunan desa, yaitu makam dan masjid.
Makna simbolis dari ritual nyadran atau ruwahan itu sangat jelas, bahwa saat memasuki bulan Ramadan atau puasa.
Mereka harus benar-benar bersih, di antaranya dengan cara harus berbuat baik terhadap sesama, juga lingkungan sosial.
Melalui rangkaian tradisi nyadran, masyarakat Jawa akan merasa lengkap dan siap untuk memasuki Ramadan, bulan suci yang penuh berkah.
Bagi masyarakat Jawa, nyadran juga berarti sebuah upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, memperbaiki hubungan baik dengan masyarakat dan lingkungan, serta menunjukkan bakti kepada para leluhur mereka.
Baca Juga