Liputan6.com, Jakarta - Hoaks maupun ujaran kebencian (hate speech) di media sosial tiap menjelang Pemilu sudah sering ditemui. Hal ini perlu menjadi catatan khusus bagi penyelenggara, peserta, serta pemilih pada Pemilu 2024 agar tidak terulang.
Menurut pengamat media sosial, Hariqo Wibawa Satria dalam wawancara tim Cek Fakta Liputan6.com (10/03/23) mengatakan, “Maraknya hoaks maupun hate speech di media sosial menjelang Pemilu dilihat dari lima tahun sebelumnya, diantaranya disebabkan oleh tujuan dari menyerang lawan politiknya agar meningkatkan keterpilihan orang yang didukung, lalu menurunkan kredibilitas lawan politik, dan terakhir menurunkan kepercayaan penyelenggara Pemilu.”
Advertisement
Hariqo yang sekaligus seorang CEO dari Komunikonten menyebut, model-model hate speech dan hoaks di masa-masa ini bermacam.
Di masa menjelang Pemilu, terkadang, hoaks oleh suatu pihak diharapkan meningkatkan kepercayaan pendukungnya, seperti glorifikasi calon kandidat secara berlebihan. Di sisi lain ada juga yang difitnah tidak karuan tetapi meningkatkan topik pembicaraan terkait kandidat di masyarakat.
Maka dari itu, perlu sekali kesadaran untuk mengenali berbagai pola postingan hoaks maupun hate speech di media sosial. Berikut ini penjelesannya.
Cara Mengenali Pola Postingan Hoaks dan Hate Speech
Hariqo menyebut cara terbaik saat ini untuk mengenali postingan hoaks maupun hate speech adalah dengan membedah konten-konten hoaks satu per satu atau mempelajarinya kasus per kasus.
“Ya dibedah konten hoaksnya. Misalnya ada suatu berita hoaks, kita kaji bareng-bareng yang fokusnya pada satu berita itu saja untuk dipelajari. Pertama dari pola judulnya, kemudian siapa penulisnya, waktu penulisan, narasumber yang digunakan, tautan yang mengarah ke mana, lihat juga website dan rujukannya. Nah dari situ kita mengenali pola-polanya. Jadi ya dipelajari kasus per kasus gitu,” ungkap Hariqo.
Pendidikan terkait pengenalan hoaks dan hate speech tersebut perlu diajakarkan secara mendalam di sekolah, kampus maupun seminar dan workshop. Tidak hanya materi dasar atau umum saja.
“Jadi pelajaran di sekolah, kampus atau seminar itu coba dikasih contohnya 1-2 kasus untuk dibedah pola-polanya dari contoh hate speech dan hoaks, misalnya ketika orang mengeluarkan narasi ini tujuannya untuk apa. Apakah membelah hubungan, membuat konflik, ataupun mengalihkan sebuah isu. Jadi model pelajaran seperti itu yang membuat masyarakat jadi semakin terdidik,” jawab Hariqo.
Konten-konten hoaks dan hate speech perlu didalami dengan mengajak mahasiswa maupun pelajar berpartisipasi sebagai bentuk mental awareness.
“Selain itu ajak juga mahasiswa dan pelajar untuk berpartisipasi. Ini disebut juga sebagai mental awareness. Mental awareness ini merupakan sebuah kesadaran yang harus dibangun oleh masyarakat bahwa tiap konten itu ada tujuannya,” tambahnya.
Penting untuk diingat bahwa konten hoaks dan hate speech bukanlah cara yang baik atau sah untuk mengekspresikan pendapat atau perasaan. Seluruh elemen masyarakat dari atas hingga bawah, harus berupaya untuk menghindari penyebaran hate speech dan mempromosikan dialog yang sehat dan konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Advertisement
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.
Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.