Liputan6.com, Beijing - Kesepakatan antara Arab Saudi dan Iran untuk memulihkan kembali hubungan diplomatik telah menempatkan China pada peran utama dalam politik Timur Tengah, posisi yang sebelumnya kerap dimainkan oleh dua adidaya lainnya: Amerika Serikat (AS) dan Rusia.
Fenomena tersebut dinilai sekaligus menandai bahwa pengaruh diplomatik China tumbuh menyamai ekonominya.
Advertisement
Kesepakatan yang dicapai di Beijing pada Jumat (10/3/2023), di mana Iran dan Arab Saudi setuju untuk membuka kembali kedutaan mereka dan bertukar duta besar setelah tujuh tahun penuh ketegangan, menunjukkan sisi berbeda dari diplomasi China yang selama ini lebih menonjol lewat agresivitas di Laut China Selatan atau ancaman terhadap Taiwan.
Presiden Xi Jinping diduga kuat memainkan peran langsung mendamaikan Arab Saudi-Iran, tepatnya ketika dia menjamu Presiden Ebrahim Raisi di Beijing bulan lalu dan ketika dia melawat ke Riyadh pada Desember 2022.
Kesuksesan diplomasi China di Timur Tengah terjadi ketika AS mulai mengurangi keterlibatannya di kawasan itu dan kepentingan ekonomi China semakin menariknya ke dalam konflik yang jauh dari wilayahnya.
China, merupakan importir terbesar energi Timur Tengah, sementara AS telah mengurangi ketergantungan impornya karena negara tersebut beralih ke kemandirian energi.
"Pejabat China telah lama meyakini bahwa Beijing harus memainkan peran yang lebih aktif di wilayah tersebut," ujar pakar politik spesialisasi China dari University of Miami June Teufel Dreyer seperti dilansir AP, Selasa (14/3).
"Gesekan antara AS dan Arab Saudi telah menciptakan kekosongan yang dengan senang hati akan diisi oleh Beijing."
China telah banyak berinvestasi dalam infrastruktur energi kawasan, termasuk mengirimkan kapal angkatan lautnya untuk bergabung dengan operasi anti pembajakan di lepas pantai Somalia, meskipun Angkatan Laut AS telah lama menjadi penjaga keamanan utama perairan Timur Tengah sejak 1980-an.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China pada Sabtu menegaskan bahwa Beijing tidak mengejar kepentingan egois apapun dalam upaya mendamaikan Arab Saudi-Iran.
"China tidak berniat dan tidak akan berusaha mengisi apa yang disebut dengan kekosongan atau membuat blok eksklusif," sebut jubir Kemlu China, merujuk pada AS.
Tidak Semua Senang dengan Perdamaian Arab Saudi-Iran
Keputusan China untuk mendamaikan Arab Saudi-Iran dinilai pakar politik University of Haifa sebagai upaya yang sangat disengaja, baik karena kedua negara adalah kunci stabilitas regional maupun memanfaatkan kesempatan itu untuk menyenggol AS.
Terlalu dini untuk mengatakan kesepakatan damai Arab Saudi-Iran akan langgeng, bahkan membawa stabilitas di Timur Tengah. Tetapi, bagi Arab Saudi, kesepakatan tersebut dinilai dapat memfasilitas upayanya untuk keluar dari perang proksi di Yaman. Sementara bagi Iran, hal itu dianggapt dapat membuatnya berkontribusi lebih besar pada stabilitas regional saat masalah di dalam negeri meningkat.
Tentu, tidak semua orang senang dengan perdamaian Arab Saudi-Iran.
Di bawah tekanan politik di dalam negeri, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengancam tindakan militer terhadap program nuklir Iran, di mana pengayaan uranium Iran disebut mendekati level senjata.
Tidak jelas, apa arti perkembangan ini bagi AS. Namun, Gedung Putih tersinggung dengan anggapan bahwa perjanjian Arab Saudi-Iran di Beijing menunjukkan bahwa pengaruh China dapat menggantikan AS di Timur Tengah.
"Saya akan dengan keras menolak gagasan ini bahwa kita melangkah mundur di Timur Tengah," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby.
Jon Alterman dari CSIS menilai, fakta bahwa Arab Saudi mencapai kesepakatan tanpa AS menunjukkan, mereka berusaha untuk mendiversifikasi taruhan mereka pada keamanan dan tidak bergantung sepenuhnya pada AS.
"Pemerintah AS memiliki dua pemikiran tentang ini. Mereka ingin Arab Saudi mengambil tanggung jawab yang lebih besar untuk keamanan mereka sendiri, tetapi di lain sisi tidak ingin Arab Saudi lepas dan merusak strategi keamanan AS," papar Alterman terkait kesepakatan Arab Saudi-Iran.
Advertisement