17 Maret 2000: Kebakaran Gereja Bunuh 235 Pengikut Sekte Sesat Hari Kiamat di Uganda

Kebakaran terjadi di gereja sekte sesat terletak di Kanungu, Uganda, dan akhirnya menemukan lebih dari 235 mayat. Pemimpin sekte diyakini telah membunuh pengikut mereka setelah kiamat yang dijanjikan tidak terjadi.

oleh Chesa Andini Saputra diperbarui 17 Mar 2023, 10:45 WIB
Arsip menunjukkan reruntuhan gereja setelah kebakaran. (Sumber: Facebook/Africa Records Book)

Liputan6.com, Kanungu - Sejarah mengerikan terjadi pada 17 Maret 2000, kala itu 235 orang tewas dalam kebakaran gereja yang diduga dibakar secara sengaja oleh pemimpin sekte sesat.

Disadur dari APnews, petaka itu diketahui terjadi di sebuah gereja yang tertelak di pusat perdagangan kecil Kanungu, 217 mil dari ibu kota Uganda, Kampala, dan dekat perbatasan Kongo. 

Para korban adalah anggota dari sekte sesat yang menamakan dirinya "Movement for the Restoration of the Ten Commandments of God" atau Gerakan Pemulihan Sepuluh Perintah Tuhan. Sebuah kultus hari kiamat yang percaya bahwa dunia akan berakhir pada pergantian milenium.

Pemimpin sekte akhir zaman, Joseph Kibweteere, sebelumnya meramalkan dunia akan berakhir pada tahun 2000. Para pemimpin sekte itu juga mengatakan bahwa mereka menerima pesan langsung dari Tuhan dan mengkhotbahkan bahwa hanya mereka yang mengakui pesan akhirat akan langsung pergi ke surga.

Beberapa pemimpin lokal mengatakan bahwa anggota sekte tersebut menyembelih ternak dan berpesta selama seminggu sebelum kejadian dan menyanyikan lagu-lagu religi.

Kini tidak jelas apakah pemimpin sekte Joseph Kibweteere tewas dalam kebakaran atau tidak. 

Sejauh ini tidak ada yang diadili sehubungan dengan pembantaian massal tersebut. Jika para pemimpin sekte masih hidup, tapi mereka tidak pernah ditemukan.

Seorang petugas polisi, yang berbicara dengan saksi anonim, mengatakan bahwa laporan awal menunjukkan Kibweteere memikat para pengikutnya ke dalam gereja dan kemudian membakarnya.

Para saksi juga mengatakan kepada media The Monitor bahwa mereka mencium bau bensin, lalu terjadi ledakan yang membakar gereja.

Sekte tersebut didaftarkan ke pemerintah pada tahun 1997. Media The Monitor mengutip penduduk Kanungu yang mengatakan bahwa Kibweteere mulai berkhotbah pada tahun 1994 dan merupakan seorang pembelot dari Gereja Katolik Roma.

"Saya pikir kejadian ini adalah tanda bagi negara untuk meninjau masalah kultus dan melihat langkah-langkah apa yang harus diambil untuk melindungi rakyat biasa dari pemimpin kultus," kata Amama Mbabazi, menteri negara untuk urusan luar negeri, kepada surat kabar milik pemerintah Uganda, Sunday Vision.

 


Pemimpin Gerakan Pemulihan Sepuluh Perintah Tuhan

Ursula Komuhangi, Credonia Mwerinde, Joseph Kibwetere dan Dominic Kataribabo. Sampai sekarang, keberadaan para pemimpin sekte belum ditemukan. (Sumber: Twitter/@fridahmareawiny)

Mengutip sejumlah sumber, ketika jasad terakhir dimasukkan ke kuburan massal saat itu, penyelidik forensik menemukan beberapa jasad lain yang tampaknya telah dibunuh dan dibuang ke lubang kakus.

Namun siapa mereka dan alasan mereka dibunuh tidak diketahui.

Para pemimpin kultus mendaftarkan sektenya sebagai kelompok yang bertujuan untuk mematuhi Sepuluh Perintah Tuhan dan memberitakan firman Yesus Kristus. Bahkan lambang-lambang Kristen menonjol di kompleks kultus tersebut dan memiliki sedikit kesinambungan dengan agama Katolik Roma.

Tetapi para anggota sekte itu "disesatkan oleh para pemimpin yang terobsesi ke dalam bentuk religiusitas yang menjijikkan yang sepenuhnya ditolak oleh Gereja Katolik," menurut pernyataan yang dikeluarkan di Kampala, ibu kota Uganda.

Joseph Kibweteere pernah menjadi pekerja awam di sebuah paroki Katolik Roma di Bushenyi, sebelum memisahkan diri dan membawa sejumlah rekan jemaatnya bersamanya.

Uskup William Magambo, kepala Keuskupan Anglikan di Bushenyi, mengatakan dia mengenal Joseph dari reputasinya yang tidak baik. ''Pemimpin mereka adalah seorang pemberontak,'' tambah Uskup Magambo.


Cerita Salah Satu Keluarga Korban

Letak Kanungu (Sumber: BBC News)

Joy Turyomurugendo kehilangan empat saudara laki-laki, dua saudara perempuan, sejumlah keponakan dan ibunya dalam kebakaran itu, dan tahu dia hampir saja berada di antara mereka. Hanya dia, saudara perempuan lain dan ayah mereka yang tersisa.

"Ibu saya berusaha meyakinkan saya untuk datang, tetapi saya bilang saya tidak bisa ke gereja ini," kata Joy yang berusia 43 tahun.

Dia tidak menyukai apa yang telah dia dengar tentang bagaimana kultus memaksa anggotanya untuk menjual harta benda agar diterima, bagaimana para pemimpin berusaha mengontrol komunikasi antara pengikut dan orang luar, dan bagaimana orang tua dipisahkan dari anak-anak dan pasangan mereka di dalam kompleksnya.

Joy tidak pernah memiliki kesempatan untuk melihat keluarganya sebelum mereka meninggal. "Saya hanya datang untuk melihat bagaimana mereka dikuburkan," katanya.


Respons Pemerintah Uganda Terhadap Masalah Sekte

Ilustrasi bendera Uganda (Sumber: Envato Market/ManuMata)

Sekte seperti ini, termasuk yang paling terkenal dan paling aktif secara politik di Uganda.

Salah satunya, Lord's Resistance Army atau Tentara Perlawanan Tuhan, telah menjadi masalah bagi pemerintah Uganda selama bertahun-tahun. Berdekatan beberapa bulan sebelum kejadian kebakaran, polisi juga sempat membubarkan dua aliran sesat yang menjadi ancaman.

Pendeta Benon, seorang pendeta Anglikan di Uganda utara, mengatakan, "Apa yang terjadi di sini adalah hal yang gila dan menunjukkan bagaimana orang bisa dicuci otak."

Masalahnya rumit bagi pemerintah dan para pemimpin agama yang tidak ingin terlihat mengkeang kebebasan beragama di negara yang mayoritas beragama Kristen. Namun mereka tetap ingin memastikan bahwa negara tersebut tidak mengalami kembali apa yang terjadi pada Jumat itu.

Kini anggota Parlemen Uganda menuntut polisi melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam mengidentifikasi potensi masalah serupa di antara kelompok-kelompok tersebut.

Infografis Penodaan Agama (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya