Liputan6.com, Bali - Ada banyak upacara adat yang digelar masyarakat Hindu jelang Hari Raya Nyepi di Bali. Salah satunya adalah tradisi ngamuk-amukan, tradisi perang api yang berasal dari Desa Adat Padang Bulia di Kecamatan Sukasada.
Dikutip dari laman disbud.bulelengkab.go.id, tradisi ngamuk-amukan atau meamuk-amukan adalah perang api yang digelar menggunakan dayuh atau daun kelapa kering. Daun kelapa kering sengaja dibakar untuk diadu oleh dua orang secara bersama-sama.
Tradisi unik asal Desa Adat padang Bulia ini digelar pada saat pengrupukan Tilem Kesangga atau satu hari jelang Hari Raya Nyepi. Tradisi perang api ini digelar dengan tujuan agar pelaksanaan Catur Brata atau penyepian berjalan dengan baik.
Baca Juga
Advertisement
Dengan kata lain, tradisi ini digelar agar masyarakat umat Hindu desa ini tidak membawa perasaan dendam dan marah saat menyambut Tahun Baru Saka. Tradisi Ngamuk-amukan umumnya dilaksanakan sore hari atau sandikala.
Tradisi perang api digelar setelah selesai pelaksanaan upacara mecaru pada tingkat rumah. Biasanya pengrupukan dilaksanakan dengan menyebar-nyebar nasi tawur, serta mengobori-obori rumah dan pekarangan dengan membakar danyuh.
Selain itu, kegiatan juga dilakukan dengan memukul beberapa benda (umumnya kentongan) sampai membuahkan nada ramai serta berkesan berisik. Tingkatan ini dilaksanakan buat menyomia Buta Waktu dari lingkungan rumah, pekarangan, serta sekitar lingkungan.
Kemudian danyuh yang sudah selesai digunakan pada upacara mecaru akan dibawa keluar untuk pelaksanaan tradisi Ngamuk-amukan atau perang api. Danyuh yang akan digunakan akan diikat menyerupai sapu, atau masyarakat setempat menyebutnya mapuput.
Dalam pelaksanaan tradisi perang api ini tidak ada banten istimewa yang digunakan saat tradisi ini berjalan. Sebelum acara berlangsung, ratusan warga akan keluar rumah dan berkumpul untuk menyaksikan tradisi ini.
Tradisi Ngamuk-amukan sendiri merupakan tradisi yang sakral dan dipercaya memiliki sifat magis. Danyuh yang dibakar dianggap sebagai cerminan simbol Dewa Agni.
Secara filosofis, danyuh yang tersulut api pada tradisi Ngamuk-amukan melambangkan amarah yang ada dari dalam diri manusia. Sedangkan api yang membesar kemudian mati dengan cepat, bermakna supaya manusia tidak menaruh amarah dendam yang lama, seperti danyuh yang dibakar tersebut. Meski disebut dengan perang api, dalam pelaksanaan tradisi Ngamuk-amukan tidak ada yang menang maupun kalah.
Kedua orang yang melakukan tradisi ini pun sudah diyakinkan bahwa masing-masing tidak memiliki sentimen pribadi atau menaruh rasa dendam. Hal unik lainnya dalam tradisi ini, peserta tidak menggunakan alat pengamanan yang memadai namun tubuh mereka jarang sekali terluka walaupun terkena api.