Liputan6.com, Jakarta Selama kurun waktu 30 tahun prevalensi perokok di Indonesia dikatakan stagnan, padahal banyak negara yang telah turun prevalensi perokoknya. Pajak tembakau atau biasa disebut CHT (Cukai Hasil Tembakau) sebagai variabel fiskal yang diharapkan akan mengendalikan harga transaksi pasar dan menurunkan konsumsi rokok masyarakat, seolah tidak berdaya.
Menyoroti permasalahan tersebut, Center of Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (ITB-AD) menggelar kegiatan Diseminar Hasil Riset dengan tema “Manfaat Kenaikan Pajak dan Harga Tembakau, Telaah Sistematis” secara daring, Selasa, (14/03).
Advertisement
“Semoga hasil riset ini menjadi masukan yang komprehensif bagi pemerintah dalam membuatkan kebijakan penetapan tarif Cukai rokok dan HTP rokok serta mekanisme monitoring harga transaksi pasar,” kata Ketua CHED ITB-AD Roosita Meilani Dewi, Selasa, (14/3/2023).
Dr. Mukhaer Pakkanna, SE., MM. selaku Rektor ITB-AD dalam sambutannya mengatakan bahwa hampir 70 persen orang miskin di Indonesia itu. Dalam komposisi pengeluaran orang miskin, rokok itu menjadi pengeluaran kedua. Meski kedua, pengeluaran konsumsi rokok naik signifikan.
“Kaitan dengan cukai, ini bisa jadi kita artikan bahwa penyumbang cukai rokok terbesar itu orang miskin. Selain itu, kalau boleh bisa kita artikan juga bahwa cukai rokok itu dari orang miskin untuk orang kaya,” tuturnya.
Regulasi pelarangan penjualan rokok batangan menjadi salah satu sorotan penting yang dianalisis dari sudut manfaat kenaikan cukai hasil tembakau dan HTP rokok pada diseminasi hasil riset ini.
Manfaat kenaikan cukai hasil tembakau dan HTP rokok sendiri diantaranya yaitu menaikkan harga rokok yang selanjutnya menghasilkan penurunan prevalensi merokok dan peningkatan kemungkinan berhenti merokok.
Selain itu, kenaikan pajak yang menaikkan harga rokok juga menghasilkan manfaat sosial yang signifikan dengan mengurangi pengeluaran tembakau dan biaya pengobatan untuk penyakit terkait tembakau dan meningkatkan masa hidup dan Net Benefit Economic di masa depan. Keuntungan paling signifikan dari kenaikan harga rokok yang substansial akan dinikmati oleh 20 persen penduduk berpendapatan rendah.
Pajak Tembakau
Kemudian, dari sisi yang lain, pajak tembakau juga merupakan peluang bagi pemerintah untuk memajukan pemerataan dan menuju pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) pada penyakit tidak menular, Universal Health Coverage, dan kontaminasi dan polusi air, udara dan tanah.
Kendati demikian, dalam riset yang dilakukan Tim Peneliti CHED ITB-AD, Diyah Hesti Kusumawardani, SE., M.Si., Roosita Meilani Dewi, M.Si., dan Inta Hartaningtyas Rani, SE., MBA. menunjukkan fakta-fakta yaitu Pemerintah Indonesia dari tahun 2012 hingga 2024 sebetulnya sudah menaikkan pajak cukai tembakau dan harga jual eceran (HJE) tembakau kecuali pada tahun pemilu yaitu tahun 2014 dan 2019, akan tetapi jumlah perokok di Indonesia meningkat dari 1990-2019 menjadi 25 persen-50 persen.
Selain itu, kenaikan pajak yang diharapkan dapat mengurangi perdagangan gelap, tidak berarti menghilangkan perdagangan gelap itu sendiri. Sebab salah satu kerugian dari kenaikan pajak dan harga tembakau adalah munculnya rokok ilegal yang berakibat pada peralihan ke produk rokok illegal dan subtitusi yang lebih murah (HTP yang lebih rendah).
Kenaikan Harga Rokok
Meskipun Indonesia masih inelastis terhadap kenaikan harga rokok, pemerintah memutuskan untuk menaikkan cukai rokok dengan kenaikan rata-rata sebesar 10 persen berlaku tahun 2023 dan 2024.
Dalam diseminasi ini dipaparkan bahwa jumlah perokok di Indonesia yang cenderung stagnan menunjukkan timpangnya regulasi pengendalian tembakau di Indonesia. Kekosongan regulasi anyar pelarangan penjualan rokok batangan diperlukan guna optimalisasi ketercapaian SDM unggul serta adanya Net Benefit Income bagi setiap rumah tangga terutama golongan keluarga miskin (berpendapatan rendah).
Larangan penjualan rokok secara batangan juga sejalan dengan cita-cita yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai bahwa barang yang menimbulkan kecanduan dan berdampak negatif terhadap penggunanya dan lingkungan, maka distribusinya dibatasi.
“Kenaikan cukai dan HTP rokok akan kurang efektif jika masyarakat masih dapat membeli rokok secara batangan, maka pelarangan penjualan rokok batangan akan mengakselerasi efektifitas kebijakan tersebut dalam menurunkan prevalensi rokok di Indonesia,” ujar Diyah Hesti dalam pemarapannya.
Hadir sebagai penanggap dalam kegiatan diseminasi hasil riset ini diantaranya Sarno, SE., M.Si. selaku Kepala Sub Bidang Cukai, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijkan Fiskal, Kemenkeu-RI, Iftita Rahma Ikrima, selaku perwakilan dari Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas, dan dr. Benget Saragih, M. Epid selaku Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, P2PTM, Kemenkes-RI.
Advertisement
Upaya Pemerintah
Sarno, SE., M.Si. selaku Kepala Sub Bidang Cukai, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijkan Fiskal, Kemenkeu-RI menyebutkan bahwa Kementerian Keuangan telah melakukan Reformasi kebijakan CHT. Berkaitan dengan tarif, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sudah berupaya menaikkan tarif cukai setiap tahunnya untuk menekan prevalensi perokok.
Selain itu juga melakukan penyederhanaan golongan. Kemudian, alokasi DBHCHT sebesar 2 persen atau 4,01 triliun (tahun 2020) dan 3 persen atau 5,48 triliun (tahun 2023) yang diperuntukkan pada aspek kesehatan (40 persen), kesejahteraan masyarakat (50 persen) dan penegakan hukum (10 persen).
Lebih lanjut, Sarno menjelaskan bahwa data kementerian keuangan menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok per bungkus berpengaruh terhadap jumlah konsumsi rokok. Selain itu, Secara penerimaan negara, cukai hasil tembakau selalu mengalami peningkatan, hal ini berkorelasi positif terhadap alokasi DBHCHT yang mengalami peningkatan secara alokasi
“Merespon potensi maraknya rokok ilegal jika terjadi kenaikan tarif cukai rokok, salah satu upaya kementerian keuangan yang dilakukan adalah dengan melakukan penindakan yang dilakukan kemenkeu setiap tahunnya mengalami peningkatan,” katanya.
Di sudut lain, dr. Benget Saragih, M. Epid selaku Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, P2PTM, Kemenkes-RI menerangkan perilaku perokok pemula terus mengalami kenaikan sampai tahun 2019 berada pada 10,70 persen, sedangkan prevalensi perokok dewasa meningkat pada 34,5 persen (70,2 juta) yang salah satu penyebabnya yaitu meningkatnya iklan rokok di media luar ruangan dan internet. Penyebab lainnya, tidak adanya regulasi mengenai pelarangan penjualan rokok eceran.
“Selama harga rokok masih terjangkau oleh masyarakat dengan pendapat menengah ke bawah maka upaya untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia lebih sulit,” tegasnya.Perlunya peraturan mengenai larangan penjualan rokok eceran juga diperkuat oleh Iftita Rahma Ikrima, selaku perwakilan dari Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas.
“Perlu peraturan, termasuk diatur kebijakan harga,” pungkasnya.