Liputan6.com, Yogyakarta - Upacara adat babad dalan merupakan salah satu upacara adat yang dilakukan masyarakat Desa Sodo, Kecamatan Paliyan, Gunungkidul, Yogyakarta. Tradisi yang telah dilakukan secara turun-temurun ini merupakan perwujudan ungkapan rasa syukur masyarakat kepada Tuhan usai panen padi.
Selain itu, tradisi ini juga dimaksudkan sebagai permohonan keselamatan, kesejahteraan, dan permohonan agar dihindarkan dari segala bencana. Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, secara khusus upacara adat Yogyakarta ini juga merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur Ki Ageng Giring yang telah berjasa kepada masyarakat, baik karena syiar agama Islam maupun di bidang pertanian.
Nama babad dalan diambil dadi kata 'babad' yang berarti upaya membersihkan semak belukar atau tanaman perintang dan 'dalan' yang berarti jalan. Tradisi ini memang tak bisa dilepaskan dari keberadaan tokoh sejarah Ki Ageng Giring yang merupakan salah satu tokoh berdirinya dinasti Mataram.
Baca Juga
Advertisement
Berdasarkan babad tanah Jawi, Ki Ageng Giring adalah keturunan Raja Brawijaya IV, yang bersama dengan Ki Ageng Pamanahan menjadi murid Sunan Kalijaga. Sementara Ki Ageng Pamanahan merupakan keturunan Raja Brawijaya V.
Meskipun akhirnya keturunan Ki Ageng Pamanahan yang menjadi pemegang pemerintahan Dinasti Mataram Islam, tokoh Ki Ageng Giring masih menjadi tokoh penting dalam sejarah Mataram Islam.
Sementara itu, terdapat dua versi sejarah lahirnya tradisi babad dalan, yaitu versi pada masa Ki Ageng Giring masih hidup dan versi ketika beliau sudah meninggal. Versi saat Ki Ageng Giring masih hidup adalah ketika ia memerintahkan pembuatan jalan menuju ke padepokannya sebagai tempat menimba ilmu.
Dari sana, lahir filosofis babad dalan yang berarti sanepan (perlambangan). Babad diartikan sebagai cerita dan dalan berarti jalan menuju kebenaran sejati. Sehingga, babad dalan diartikan sebagai ceritaorang-orang yang akan berguru (mencari ilmu) kebenaran.
Adapun versi ketika Ki Ageng Giring sudah meninggal berkaitan dengan terjadinya peristiwa bencana di Desa Sodo. Untuk mengatasi bencana tersebut, masyarakat setempat berupaya menemukan makam Ki Ageng Giring sebagai upaya spiritual mengatasi bencana.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Membersihkan Semak Belukar
Pada versi kedua ini, babad dalan diartikan sebagai upaya membersihkan tanaman perintang atau semak belukar untuk membuat atau menemukan jalan. Hal ini dikaitkan dengan aktivitas para sesepuh (tokoh) masyarakat desa yang mencari atau menelusuri jalan menuju ke makam leluhur Ki Ageng Giring.
Tempat tersebut selanjutnya diberi nama Desa Sodo yang berasal dari kata 'ngusodo', yakni mencari obat. Pasalnya, masyarakat menginginkan desa mereka terlepas dari bencana.
Sementara itu, rangkaian upacara adat babad dalan dimulai setelah musim panen padi, yaitu pada Kamis Wage. Selanjutnya, puncak acara digelar pada Jumat Kliwon dan diakhiri pada Senin Pon.
Kamis Wage dimulai dengan dilaksanakannya malam tirakatan berupa pengajian bersama di masjid dekat makam Ki Ageng Giring atau di balai Desa. Menjelang acara puncak, dilaksanakan bersih desa berupa kerja bakti bersama secara gotong royong, termasuk membersihkan makam Ki Ageng Giring untuk pelaksanaan kenduri (kepungan).
Kenduri menjadi puncak upacara sakral pada malam Jumat Kliwon di Makam Ki Ageng Giring. Kenduri tersebut disiapkan bersama di masing-masing pedukuhan berupa tumpeng ingkung beserta kelengkapannya.
Selang tiga hari sekaligus sebagai penutup rangkaian upacara tradisi babad dalan, pada Senin Pon dilaksanakan tradisi rasulan. Masyarakat akan membuat kenduri di balai dusun masing-masing.
Penulis: Resla Aknaita Chak
Advertisement