Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana untuk menggelar Pemilu 2024 pada 14 Februari mendatang. Jelang pesta demokrasi tersebut, sejumlah pihak di Indonesia menyoroti kehadiran teknologi deepfake.
Diketahui, banyak pihak khawatir deepfake (teknik manipulasi konten video dan suara mengandalkan kecerdasan buatan) bakal dipakai untuk menggiring opini masyarakat jelang Pemilu 2024.
Advertisement
Menanggapi hal itu, Riyad Rivandi, CTO di Pacmann dan Valiance, mengatakan, "Kemungkinan hal tersebut ada. Makanya di sini perlu kerja sama semua pihak buat edukasi ke masyarakat untuk saling memvalidasi informasi beredar."
"Bagaimana caranya? Kita rangsang skeptisisme masyarakat. Kita bisa perkenalkan video-video deepfake ke masyarakat, tapi dengan penjelasan itu semua video deepfake," kata Riyad sebagai pelaku industri yang bergerak di machine learning dan AI saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (15/3/2023).
Rivandi menyebutkan, "deepfake dapat dipakai untuk memanipulasi opini publik jelang Pemilu 2024 atau kampanye politik dengan membuat video atau gambar palsu tentang kandidat mengatakan atau melakukan hal-hal yang dapat merusak reputasi mereka."
Karena itu, ada baiknya masyarakat harus mulai bersikap skeptis di awal supaya warga tidak telan video-video palsu itu begitu saja.
Di Indonesia sendiri, hingga saat ini belum ada regulasi secara khusus mengatur ini. "Indonesia bisa berkaca pada payung hukum di negara lain, dan melakukan sejumlah penyesuaian seperti di AS dan China," ujarnya.
Diketahui, deepfake dapat dimanfaatkan untuk membuat video atau gambar lebih realistis dari seseorang mengatakan atau melakukan sesuatu tidak pernah benar-benar terjadi.
Hal ini dapat menyebabkan penyebaran misinformasi dan hoaks, dan dapat dimanfaatkan untuk memanipulasi opini publik atau menciptakan perselisihan antar warga.
Teknologi deepfake sendiri dapat digunakan untuk membuat video atau gambar untuk merusak reputasi seseorang, seperti membuat video palsu tentang figur publik terlibat dalam aktivitas ilegal di mata hukum.
Mengenali Deepfake Jelang Pemilu 2024
Ada dua pendekatan untuk mengenali Deepfake. Satu pakai AI, model yang dilatih khusus untuk mengenali deepfake dan satu lagi sepenuhnya dilakukan manusia.
"Untuk pendekatan pertama, Facebook pernah bikin kompetisi membuat model Deepfake Detection; model terbaik di kompetisi ini mencapai akurasi 65 persen," ujarnya.
Itu berarti, proses deteksi deepfake memakai AI masih merupakan bidang ilmu yang masih harus terus dikembangkan.
Untuk pendekatan kedua, ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari video Deepfake:
1. Ketidakkonsistenan dalam ekspresi wajah
Deepfake mungkin tidak secara akurat menangkap gerakan dan ekspresi wajah secara halus, sehingga menghasilkan ketidakkonsistenan dan noise yang mungkin tidak ada dalam video asli.
2. Gerakan tidak wajar
Deepfake dapat menunjukkan gerakan atau tindakan tidak wajar, seperti berkedip dengan jarak waktu yang tidak teratur atau tidak merespons perubahan lingkungan.
3. Ketidakkonsistenan audio
Audio di Deepfake mungkin tidak sesuai dengan gerakan mulut orang tersebut, atau kualitas audionya mungkin lebih rendah daripada video aslinya.
4. Analisis metadata
Metadata dari suatu video dapat memberikan informasi berharga, seperti perangkat yang digunakan untuk mengambil video dan tanggal serta waktu pembuatannya. Jika metadata tidak sesuai dengan konten video, itu dapat menjadi indikator bahwa video tersebut adalah palsu.
Advertisement
Isu Deepfake Juga Pernah Dialami Donald Trump Saat Pilpres AS 2020
fenomena deepfake ini juga pernah terjadi di negara demokrasi terbesar di dunia seperti Amerika Serikat.
Kala itu, di tahun 2020 video Donald Trump diedit sedemikian rupa seakan-akan ia akan mendaftar YouTube versi Rusia. Hal ini kemudian dibagikan secara online oleh akun dan akun pro-Kremlin.
Dalam video berdurasi hampir 30 detik itu menampilkan Trump palsu yang terdengar seperti robot mengatakan dia akan bergabung dengan RuTube, versi Rusia, dikutip dari laman newsweek.com, Rabu (15/3/2023).
“Saya sudah lama tidak aktif (di media sosial), tapi saya tidak menghilang. Saya tidak menyerah, kita tidak bisa dibungkam,” katanya.
"Maaf para pecundang dan pembenci, tapi saya akan hadir lagi. Saya sudah memilih platform di mana kebebasan berbicara tidak ditekan. Saya telah menemukan ruang untuk berinteraksi. Halo Rusia, halo RuTube," demikian bunyi video deepfake tersebut.
Keberadaan deepfake membuka peluang timbulnya disinformasi di tengah masyarakat. Untuk itu, media diminta untuk mewaspadai informasi-informasi manipulatif yang dibuat oleh kecerdasan buatan itu.
Salah satu cara agar terhindar dari hal tersebut adalah dengan disiplin verifikasi. Artinya, pers tidak menelan mentah-mentah informasi yang diperoleh baik dari video, foto maupun rekaman suara yang tidak jelas asal-usulnya.
Pers Harus Bisa Memverifikasi Informasi
Pers harus memverifikasi dan mengonfirmasi ulang pernyataan dalam konten tersebut kepada objek informasi yang dimaksud. Dengan demikian, pers bisa mengetahui fakta yang sebenarnya.
"Jadi bukan hanya berpatokan pada satu material. Oh ini omongannya dia dan ada videonya, tapi itu tidak cukup. Teknologi bisa menirukan itu semua. Jadi harus dikonfirmasi. Artinya para jurnalis harus mengenali objek informasi itu lebih dalam," kata Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan, dikutip dari laman Antara.
Firman pun meminta pers untuk lebih jeli dan teliti dalam memilah informasi yang diterima. Pers, kata dia, harus menjalankan kerja-kerja jurnalistik sesuai kaidah agar produk berita yang dihasilkan tetap berkualitas, dengan berlandaskan fakta dan data yang akurat.
Keberadaan deepfake, kata dia, juga bisa dijadikan pemicu bagi insan pers untuk lebih berhati-hati dalam mengolah informasi agar tidak terkecoh oleh manipulasi mesin.
"Jadi kita sebetulnya justru mendapatkan kesempatan untuk mengasah kemampuan yang mana yang artifisial, yang mana yang merupakan produk alamiah atau produksi natural," ucap Firman.
(Ysl/Isk)
Advertisement