Bamsoet: Perempuan Kelompok Paling Rentan Diskriminasi

Seluruh dunia memperingati Hari Tanpa Diskriminasi dan Hari Wanita setiap bulan Maret. Di Indonesia, peringatan ini juga berlangsung dengan melibatkan unsur pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, komunitas, dan media massa. Multipihak tersebut dikenal sebagai penta-helix.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Mar 2023, 13:31 WIB
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat, Ketua MPR Bambang Soesatyo, Wakil Ketua MPR Arsul Sani, Country Director UNAIDS for Indonesia Krittayawan Tina Boonto dan Founder Akselerasi Warta Resolusi Ayuningtyas Widari Ramdhaniar (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Seluruh dunia memperingati Hari Tanpa Diskriminasi dan Hari Wanita Internasional setiap bulan Maret. Di Indonesia, peringatan ini juga berlangsung dengan melibatkan unsur pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, komunitas, dan media massa. Multipihak tersebut dikenal sebagai penta-helix.

Tahun ini, peringatan Zero Discrimination Day dan Women's International Day berlangsung di Gedung Nusantara V, Kompleks Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, pada Rabu, (15/3/2023).

ReThinkbyAWR berkolaborasi dengan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan Indonesia Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) menggandeng Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menggelar diskusi terbuka bertema “Penguatan Kerangka Hukum Nasional untuk Pelindungan Kelompok Rentan dari Diskriminasi” untuk meringati Zero Discrimination Day dan Women's International Day.

Dalam diskusi tersebut, Ketua MPR Bambang Soesatyo menjabarkan keterkaitan antara Women's International Day dan Zero Discrimination Day. Menurutnya, kaum perempuan merupakan salah satu kelompok masyarakat yang rentan dan sering menjadi korban diskriminasi.

“Perempuan merupakan kelompok paling rentan mengalami diskriminasi. Menurut Bank Dunia, Indonesa mendapat skor 64,4. Sedangkan Laos 88,1; Singapura 82,5; Filipina 788; Thailand 87,1. Di Asia Tenggara saja, skor Indonesia ini masih tertinggal,” kata Bambang Soesatyo.

Dengan landasan tersebut, kata Bamsoet, penanganan diskriminasi di Indonesia harus sesuai dengan ciri khas bangsa ini, berlandaskan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UUD 45. Inilah yang disebut Empat Pilar MPR.

“Mengapa Empat Pilar MPR ini penting? Karena kita merasakan ada yang hilang dalam kebangsaan kita. Pelajaran dan mata kuliah tentang Pancasila telah dihapuskan. Tafsir Pancasila diserahkan kepada pasar bebas sehingga muncullah terorisme dan sebagainya,” ucap Bamsoet.

Senada dengan Bambang Soesatyo, Wakil Ketua MPR Arsul Sani kembali menegaskan pentingnya Empat Pilar MPR yang sesuai dengan budaya Indonesia.

“Seringkali di antara kita, ketika berbicara tentang diskriminasi maka selalu rujukannya barat. Padahal falsafah mereka berbeda. Maka, jika kita bicara tentang diskriminasi sebaiknya pakai rujukan dan perspektif bangsa kita sendiri. Kontrak sosial kita tertuang dalam UUD 45, berbeda dengan negara lain, dengan Prancis, Belanda, Jerman, USA. Saat kita bicara tentang diskriminasi, harus diingat bahwa kita tidak meninggalkan konteks bernegara maupun konteks budaya,” kata Arsul Sani.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menyatakan pentingnya seluruh elemen masyarakat terus menyerukan isu-isu utama seperti mewujudkan kesetaraan gender, yang masih dihadapi bangsa Indonesia.

Lestari Moerdijat mengungkapkan sebagai bentuk instrumen perlindungan warga negara dari ancaman kekerasan seksual, yang sebagian besar korbannya perempuan dan anak, saat ini Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Namun, tambahnya, aturan pelaksanaan dari UU TPKS belum sepenuhnya tersedia.

Yang menyedihkan, imbuhnya, akibat UU TPKS belum bisa diaplikasikan sepenuhnya, sejumlah kasus tindak kekerasan seksual malah berujung damai.

“Perlu political will dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Perjuangn fraksi-fraksi di parlemen juga perlu didorong agar instrumen perlindungan bagi setiap warga negara dari ancaman tindak kekerasan seksual bisa segera efektif,” kata Lestari Moerdijat.


Peran Lembaga Swadaya Masyarakat

Turut hadir sebagai pembicara pada diskusi terbuka bertema “Penguatan Kerangka Hukum Nasional untuk Pelindungan Kelompok Rentan dari Diskriminasi” untuk meringati Zero Discrimination Day dan Women's International Day adalah Country Director UNAIDS for Indonesia, Krittayawan Tina Boonto.

Berbicara diawal acara, Krittayawan Tina Boonto menyamapikan pentingnya menghilangkan diskriminasi diberbagai lapisan masyarakat.

“Kita harus mulai dari zero discrimination, karena dari situ akan menular ke hal lainnya, seperti pengentasan kemiskinan, mengatasi kesehatan, dan lainnya,” ujarnya.

Perwakilan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Anis Hidayah pada acara yang sama menyamapikan sebenarnya Indonesia sudah membuat kemajuan terkait upaya menghilangkan diskriminasi, misalnya melalui regulasi.

Ia menambahkan, Komnas HAM pun sudah menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) yang bisa meminimalkan diskriminasi. SNP Hak Asasi Manusia adalah dokumen yang merupakan penjabaran secara implementatif atas berbagai instrumen HAM baik internasional dan nasional serta norma-norma HAM yang terus berkembang secara dinamis, agar sesuai dengan konteks dan peristiwa khususnya di Indonesia.

Karena itu, ujar Anis, Komnas HAM mendukung penuh upaya mencapai zero discrimination di Indonesia.

"Mengatasi diskriminasi memang memerlukan perjuangan yang terus menerus, dan kami membuka ruang untuk sinergi sesuai roadmap yang kita sepakati,” ujarnya.


Kolaborasi Pentahelix

Ditemui di tempat yang sama, founder lembaga Akselerasi Warta Resolusi (AWR), Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, menjelaskan acara ini dalam konteks luar merupakan upaya untuk membawa perubahan positif pada pembuat kebijakan dan undang-undang yang mendukung kesejahteraan rakyat.

Sebagai satu penyelenggara acara, ia pun menjelaskan tentang visi Akselerasi Warta Resolusi (AWR) dan ReThinkbyAWR untuk menjadi organisasi terkemuka yang membawa perubahan positive pada pembuat kebijakan dan undang-undang yang mendukung kesejahteraan rakyat.

Ayuningtyas Widari Ramdhaniar menambahkan, diskusi juga membahas penanggulangan HIV/AID, akses kaum rentan terhadap perekonomian hinggu permasalahan kelompok masyarakat yang retan terhadap diskriminasi.

"Kami berharap, walaupun acara berlangsung singkat namun paparan dari narasumber dapat bermanfaat bagi peserta dan masyarakat secara luas," imbuh Ayuningtyas Widari Ramdhaniar.

Ia menambahkan, kedepan ReThinkbyAWR akan tersu menggelar berbagai macam acara dengan tujuan agar dapat mewujudkan program pertumbuhan ekonomi Indonesia yang inklusif, berkelanjutan, dan berdaya saing melalui Open Government Partnership dengan menggunakan skema pentahelix.

"Sebagai upaya penyelarasan kembali seluruh perencanaan dan kegiatan agar berkualitas dan memenuhi azas keterbukaan saya pribadi sangat bersyukur menjadi Managing Director Diesel One Solidarity, sebuah komunitas yang ingin membuat perubangan bangsa dan disupport oleh founder kami," ujarnya memungkasi.

Diskusi ini turut menghadirkan narasumber seperti Wakil Ketua MPR, Arsul Sani; Executive Director of Wahid Foundation, Mutjaba Hamdi; Kepala hub direktorat pemulihan korban BNPT, Rahel; Wakil Ketua Umum Koordinator 1 Kadin, Yukki Nugrahawan; Dirjen Pencegahan Penyakit Menular, Kemenkes, dr. Maxi Rein Rondonuwu; dan National Coordinator Ikatan Perempuan Positif Indonesia, Ayu Oktarini.

infografis Kebiasaan Saat Puasa Ramadan di Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah).

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya