Liputan6.com, Jakarta Fear of Missing Out atau FOMO menjadi kata yang sering muncul selama beberapa tahun belakangan. Baru-baru ini, istilah FOMO pun kembali ramai, tepatnya usai konser BLACKPINK berlangsung di Jakarta.
Disebut-sebut banyak orang yang bukan penggemar BLACKPINK ikut nonton agar tak FOMO.
Advertisement
Terlepas dari konser BLACKPINK, mari mengenal penyebab FOMO yang umumnya begitu beragam.
Mengutip laman VerywellMind, Kamis (16/3/2023), studi yang dipublikasikan dalam Computers in Human Behavior Journal menemukan bahwa FOMO sebenarnya berasal dari dua faktor yakni ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan pada hidup.
Dari dua perasaan itulah, seseorang dapat terdorong ke penggunaan media sosial yang lebih besar. Serta, pada gilirannya, keterlibatan yang lebih besar dengan media sosial dapat membuat seseorang merasa lebih buruk tentang dirinya sendiri.
Remaja dan Orang Dewasa Muda Lebih Rentan FOMO
Penelitian lain yang dipublikasi dalam Psychiatry Research Journal turut memvalidasi temuan di atas. Para peneliti meyakini bahwa FOMO berhubungan erat dengan media sosial dan smartphone.
"Remaja dan orang dewasa muda mungkin sangat rentan pada dampak FOMO. Melihat teman dan orang lain mengunggah sesuatu di media sosial dapat menyebabkan perbandingan dan ketakutan yang kuat akan ketertinggalan pada hal-hal yang dialami teman mereka," ungkap studi tersebut.
Takut Ketinggalan, Melibatkan Rasa Iri
Jika dilihat dari definisinya secara singkat, FOMO atau takut ketinggalan mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik dari Anda.
Dengan begitu, FOMO bisa melibatkan rasa iri yang mendalam dan memengaruhi harga diri seseorang. Bahkan, FOMO memicu perasaan bahwa Anda kehilangan sesuatu yang pada dasarnya penting yang sedang dialami orang lain.
Media Sosial Bukan Satu-Satunya Pemicu FOMO
Pendapat selaras diungkapkan oleh psikolog sosial dan profesor di Pusat Ilmu Kesehatan Universitas Oklahoma, Erin Vogel. Menurutnya, media sosial memang berkontribusi pada perasaan FOMO seseorang. Namun, bukan satu-satunya.
"Misalnya, Anda mungkin mendapat undangan ke pesta akhir pekan yang sebenarnya tidak ingin Anda hadiri, tetapi tetap pergi karena Anda tidak ingin merasa tersisih ketika teman Anda membicarakannya pada hari Senin," kata Vogel mengutip Forbes.
"Media sosial memfasilitasi FOMO, tetapi orang selalu mengalaminya,” tambahnya.
Sedangkan menurut instruktur psikologi di Harvard sekaligus pendiri Priority Wellness Group, Natalie Christine Dattilo, terlepas dari apapun yang dapat membuat seseorang merasa FOMO, ada beberapa penyebab yang lebih umum dibaliknya.
Seperti tidak memahami lelucon orang dalam yang ditertawakan orang lain, tidak dipilih untuk tim, tidak diundang ke suatu acara, dan kehilangan penawaran bagus.
Advertisement
Gejala FOMO yang Bisa Bikin Merasa Terasingkan
FOMO juga bisa menyangkut perasaan terasingkan karena tidak bisa ikut memahami percakapan yang sedang ramai dibicarakan.
Sedangkan untuk gejalanya, meskipun FOMO bukan kondisi yang dapat didiagnosis, ada gejala spesifik yang bisa dijelaskan menurut laporan di Technological Forecasting and Social Change.
Gejala FOMO dapat meliputi hal-hal seperti secara obsesif memeriksa media sosial untuk melihat apa yang dilakukan orang lain, mengalami perasaan negatif saat membandingkan kehidupan seseorang dengan apa yang tampaknya dilakukan orang lain di media sosial, dan berujung merasa lelah secara mental dari media sosial.
Lantas, apa yang bisa dilakukan?
Cara utama yang dianjurkan adalah dengan melakukan detoksifikasi digital. Menghabiskan terlalu banyak waktu di ponsel atau aplikasi media sosial dapat meningkatkan FOMO.
Sehingga mengurangi penggunaan Anda, atau bahkan melakukan detoksifikasi digital dapat membantu Anda lebih fokus pada hidup Anda tanpa membuat perbandingan terus-menerus.
Berhenti Mengikuti Orang yang Kerap Menyombongkan Diri
Selanjutnya, Anda bisa berupaya untuk mengubah fokus. Daripada berfokus pada kekurangan, cobalah perhatikan apa yang Anda miliki.
Meski yang satu ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan di media sosial, di mana kita mungkin dibombardir dengan gambar-gambar tentang hal-hal yang tidak kita miliki, tetapi cara satu ini tetap bisa dilakukan.
Anda dapat mengikuti orang-orang yang lebih positif di media sosial. Hindari mengikuti orang yang cenderung menyombongkan diri atau tidak mendukung Anda.
Terakhir, berfokuslah untuk membangun koneksi nyata. Daripada mencoba untuk lebih terhubung dengan orang-orang di media sosial, akan lebih baik jika Anda berupaya untuk membangun relasi yang lebih nyata dengan orang secara langsung.
Advertisement