Liputan6.com, Jakarta - Penasihat hukum Irjen Teddy Minahasa menghadirkan ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel sebagai saksi ahli meringankan dalam sidang perkara peredaran narkoba jenis sabu.
Dalam persidangan, Penasihat Hukum Teddy Minahasa, Anthony Djono menanyakan kepada Reza perihal apakah kasus yang tengah ditanganinya memiliki kemiripan dengan kasus pembunuhan berencana oleh eks Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Di mana dalam kasus ini bawahan berlindung di balik perintah atasan.
Advertisement
Sekedar informasi, Reza sempat menjadi saksi ahli meringankan untuk Richard Eliezer pada saat sidang di Pengadlan Negeri Jakarta Selatan.
Reza menilai dalam kasus Ferdy Sambo, ia memakai teori Superior Order Defense (SOD) di mana menarasikan seseorang mendapatkan perintah berdasarkan atasannya. Namun untuk teori itu tidak dapat dipukul rata terlebih dalam kasus Teddy Minahasa.
"Ketika saya sampaikan teori ini, SOD tidak bermakna kalau bahwa setiap terdakwa yang mengklaim melakukan sebuah tindak pidana karena perintah atasan tidak serta merta klaim perintah itu diterima, tetap harus diuji," kata Reza di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (16/3/2023).
Ahli psikologi forensik itu menjelaskan, dalam perspektif keilmuan psikologi forensik secara kebetulan memiliki kemiripan pandangan dengan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK), keputusan hakim, dengan dirinya. Di mana Richard mau tidak mau harus menjalankan perintah karena tidak memiliki kesempatan untuk menolak.
"Richard Eliezer sebagai orang yang memang sudah menerima perintah secara objekti dari atasan namun tidak memiliki kemampuan, kewenangan, tidak memiliki kesempatan untuk menolak, menghindar atas perintah itu bahkan justru sebaliknya dia berpotensi berhadapan dengan konsekuensi yg amat buruk sekiranya dia berani untuk menolak perintah atasan," kata Reza.
Dia pun mengaku tidak tahu apakah kasus Teddy Minahasa ini dikatakan sama dengan kasus Ferdy Sambo. "Sementara kasus ini saya tidak tahu," ungkap Reza.
Ahli Psikologi Ungkap Makna Perintah Teddy Minahasa ke Doddy soal Tukar Sabu dengan Tawas
Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel mengungkap makna percakapan Teddy Minahasa yang memerintahkan Dody Prawiranegara untuk menukar barang bukti narkoba jenis sabu dengan tawas. Menurut Reza, perintah itu multifsir dikarenakan adanya emoji (emoticon) pada akhir kata.
Hal itu disampaikan oleh Reza saat dihadirkan sebagai saksi ahli meringankan Teddy Minahasa di Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar).
Mulanya, tim penasihat hukum Teddy, Anthony Djono bertanya perihal percakapan antara Teddy dengan Dody Prawiranegara sambil menunjukan bukti gambar percakapan. Pada gambar pertama menampilkan percakapan keduanya mengenai perintah sisihkan sabu.
"Dari gambar yang ditampilkan (sesuai red) apa yang bisa anda tafsirkan?," tanya Anthony di ruang sidang PN Jakarta Barat, Kamis (16/3/2023).
Reza menilai dari gambar percakapan itu adanya bentuk komunikasi secara vertikal, yakni antara atasan dan bawaha. Ia beranggapan bentuk komunikasi itu ada niat jahat.
"Menurut saya dengan melihat dua potongan komunikasi ini absolut, perintah, di dalamnya mengandung kriminal inten, niat jahat," ungkap Reza.
Setelahnya, tim PH Teddy kembali menujukan bukti percakapan. Kali ini dengan membandingkan gambar yang aslinya yakni di akhir kalimat ada gambar emoticon yang menggambarkan tertawa.
"Sekarang tolong tampilkan gambar kedua, kalau begini bentuknya dengan kalimat yang sama persis, tapi ada emotikon (emoji), ini yang real, bagaimana saudara menafrsirkannya?," tanya lagi PH Teddy.
Advertisement
Percakapan Teddy Minahasa dengan Dody Menjadi Multitafsir
Dijelaskan Ahli Psikologi Forensik itu, makna dalam kalimat yang ditunjukan aslinya menjadi berubah makna dikarenakan ada elemen emoji. Hal itu ia kaitkan dengan teori dalam ilmu psikologi yang biasa disebut Dissonance.
Pada intinya, makna kalimat tersebut menyebabkan ketidakharmonisan, tidak linier, atau tidak sejalan. Dirinya bahkan menegaskan bahwa bentuk percakapan Teddy dengan Dody menjadi multitafsir.
"Tadi saya katakan berdasarkan riset, dan juga sudah dijadikan sebagai kebijakan di lembaga yudisial di negara lain, tidak bisa kita pisahkan atau nihilkan elemen emoji dalam percakapan tersebut," beber Reza.
"Tetapi begitu ditampilkan emoji tertawa tafsiran saya atas pesan yang pertama menjadi relatif. Tidak lagi absolut seperti tadi tapi menjadi relatif. Artinya multitafsir. apakah bercanda ataukah lainnya. ini yang jelas menjadi relatif. Namun, di bawahnya ada 3 emoji lain, yang mengindikasikan bahwa pesan pertama ditangkap atau ditafsirkan secara linier oleh pihak kedua bahwa ini situasinya tidaklah seabsolut yang saya katakan tadi," sambungnya.
Reporter: Rahmat Baihaqi
Sumber: Merdeka.com