Liputan6.com, Washington, DC - Tutupnya Silicon Valley Bank (SVB) membuat resah para investor berbagai negara, termasuk China hingga ke Indonesia. Kegagalan SVB merupakan kegagalan bank terbesar nomor dua di Amerika Serikat. Tak heran jika hal tersebut mengingatkan masyarakat kepada krisis finansial 2008.
Forbes melaporkan bahwa 50 pemimpin di sektor teknologi meminta pemerintah di Washington DC agar bertindak untuk menyelamatkan SVB. Akan tetapi, Senator Elizabeth Warren memberikan kritik pedas ke dunia perbankan.
Advertisement
Senator Warren menyebut kolapsnya SVB akibat lobi-lobi untuk melakukan deregulasi, sehingga bank-bank lebih berani mengambil risiko.
Pada 2018, Kongres AS meloloskan UU Pertumbuhan Ekonomi, Peringanan Regulasi, dan Perlindungan Konsumen (S.2155). Aturan itu disetujui pemerintahan Donald Trump.
Situs Roosevelt Institute menyebut UU itu mengurangi ketatnya pengawasan kepada bank dengan aset besar pasca-krisis 2018. (Baca penjelasan di halaman selanjutnya.)
Setelah SVB kolaps, Elizabeth Warren pun meminta agar aturan kembali diperketat.
"Pekerjaan kita adalah memikirkan seluruh sistem. Itu artinya kita perlu Kongres bertindak. Kongres harus menggulung regulasi peringanan bank dari Trump. Kita harus membuat perubahan dalam hukum," ujar Elizabeth Warren saat wawancara dengan MSNBC, dikutip Kamis (16/3/2023).
Elizabeth Warren berkata aturan itu akan menambah pengawasan pemerintah, serta mengurangi pemikiran CEO di perbankan agar bisa "mendapat jutaan dolar, dan banyak bonus, dan pesawat jet".
Orang-orang yang ingin banyak duit pun diminta tidak bekerja di perbankan, karena sektor tersebut bukan untuk mengambil risiko.
"Perbankan seharusnya membosankan. Siapa pun yang ingin mengambil banyak risiko, dan menghasilkan banyak uang, harusnya tidak berada di perbankan," tegas Elizabeth Warren.
SVB: Antara Deregulasi dan The Fed
Elizabeth Warren berkali-kali menegaskan bahwa deregulasi pada 2018 (S.2155) yang melemahkan pengawasan ke perbankan adalah faktor yang membuat SVB runtuh.
Berdasarkan penjelasan situs Roosevelt Institute, aturan 2008 mengurangi pengawasan kepada bank-bank yang asetnya sudah miliaran dolar, termasuk jika asetnya belum menembus US$250 miliar.
Sebelum regulasi, bank dengan aset US$50 miliar saja sudah harus diperiksa ketat. Akibat deregulasi, bank yang asetnya antara US$100 hingga US$250 miliar hanya melakukan "stress test" secara periodik saja.
The Fed menjelaskan stress test sebagai evaluasi kuantitatif dan kualitatif untuk mengetahui ketahanan bank.
Evaluasi kuantitatif berfungsi mengetahui ketahanan modal bank ketika ada stress pada ekonomi dan pasar keuangan. Evaluasi kuantitatif dilakukan untuk mengetahui apakah bank punya perencanaan ke depan yang kuat untuk menghadapi risiko-risiko unik.
Kondisi Silicon Valley Bank cukup unik, sebab bank itu mencatat kenaikkan aset yang luar biasa.
Situs Macro Trends mencatat aset SVB "hanya" US$70 miliar pada 2019. Setahun kemudian, asetnya naik hingga US$115,7 miliar. Asetnya naik lagi pada 2021 menjadi US$211,3 miliar.
Roosevelt Institute menyebut SVB tidak dilakukan stress test pada 2021 karena pertumbuhannya yang cepat. Pada 2022 juga ternyata bank itu tidak dites.
Senator Elizabeth Warren pun turut menyalahkan Gubernur The Fed Jerome Powell karena dinilai mendukung deregulasi. Ia lantas meminta Powell tidak ikut-ikutan pada review internal yang dilaksanakan The Fed.
"Agar pemeriksaan the Fed mendapatkan kredibilitas, Powell harus secara publik dan segera mengeluarkan dirinya dari review internal ini," ujar Senator Warren di situs resminya.
Advertisement
OJK Jamin Tak Ada Bank di Indonesia Terdampak SVB
Beralih ke dalam negeri, Otoritas Jasa Keuangan menilai penutupan Silicon Valley Bank (SVB) oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) Amerika Serikat pada 10 Maret lalu, tidak berdampak langsung terhadap industri perbankan di Indonesia.
"Di Indonesia kami dari OJK sudah menyampaikan dampak SVB itu di Indonesia tidak terjadi langsung, karena fundamental ekonomi Indonesia baik di perbankan pun terkendali, saya sampaikan pertumbuhan kredit di atas 10 persen kemudian NPL pun sangat terkendali," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono, saat ditemui di Nusa Dua, Bali, Kamis (16/3/2023).
Berdasarkan data OJK, kondisi perbankan Indonesia menunjukkan kinerja likuiditas yang baik, misalnya untuk AL/NCD dan AL/DPK diatas threshold yakni sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen jauh diatas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Tak hanya itu saja, kinerja lainnya seperti risiko kredit, risiko pasar, permodalan, dan profitabilitas masih terjaga dan tumbuh positif.
Dampak Psikologis
Lebih lanjut, Ogi menegaskan, tidak ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori "Bank Dalam Resolusi" yaitu bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan.
"Sejauh ini kita tidak melihat itu ada ya, dampaknya seperti apa, kita laporan sejauh ini tidak ada yang terkait langsung, ini lebih ke psikologis saja 'Wah jangan-jangan ada terjadi di Indonesia'. Tapi kami memonitor saat ini tidak ada bank yang dalam status resolusi, ada istilah bank dalam pengawasan, bank dalam penyehatan, dan bank dalam pengawasan resolusi," jelasnya.
Dia pun berharap masyarakat tidak perlu cemas dengan kejadian yang dialami oleh SVB. Karena Pemerintah Amerika Serikat memutuskan untuk menjamin deposito SVB. Di sisi lain, OJK pun menjamin perbankan di Indonesia aman dari hal seperti itu.
"Terkait SVB ini terjadi di Amerika dan gejolak itu terjadi dari Federal reserve sudah mengambil langkah-langkah untuk mengamankan para simpanan dan langsung kembali kepercayaan kepada industri keuangan bisa terjaga. Mudah-mudahan masyarakat tidak takut, dan menarik uangnya. Tapi kami yakin kan ini kondisi lembaga jasa keuangan di Indonesia relatif aman," pungkasnya.
Advertisement