Liputan6.com, Tokyo - Hubungan Jepang dan Korea Selatan kembali harmonis setelah beberapa tahun memanas karena isu sejarah. Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida bertemu di Tokyo, Kamis (16/3).
Kedua pemimpin dilaporkan setuju untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM saat perang seabad lalu, yakni terkait kerja paksa oleh perusahaan Jepang.
Baca Juga
Advertisement
Berdasarkan laporan Kyodo News, Jumat (17/3/2023), PM Kishida dan Presiden Yoon sepakat untuk menjaga komunikasi serta menggenjot pertukaran politik, ekonomi, dan budaya. Ini merupakan kunjungan bilateral pertama Jepang dan Korea Selatan dalam empat tahun terakhir.
Saat konferensi pers, PM Kishida berkata ada urgensi itu memperkuat hubungan bilateral kedua negara. PM Kishida juga mengapresiasi solusi dari Presiden Yoon untuk menyelesaikan masalah kerja paksa.
Menurut Yonhap, Presiden Yoon akan memberikan kompensasi dari pemerintah negaranya untuk para korban kerja paksa.
Hal itu dilakukan walau Mahkamah Agung Korea Selatan memerintahkan Nippon Steel dan Mitsubishi Heavy Industries untuk ganti rugi.
Dituduh Submisif
Hasil kunjungan Presiden Yoon Suk Yeol ke Jepang ternyata memicu protes dari Partai Demokrat yang merupakan oposisi pemerintah Korsel. Presiden Yoon dianggap "submisif secara diplomatik" dan Jepang disebut tidak tahu malu.
"Meski pemimpin-pemimpin Korea Selatan dan Jepang bertemu, pemerintah Jepang tidak memberikan sebuah maaf untuk masalah tenaga kerja paksa saat perang. Meski pendirian Jepang tidak tahu malu, Yoon malah mencoba membela sisi Jepang," ujar juru bicara Partai Demokrat Korsel, An Ho Young, dikutip Yonhap.
An juga menyesalkan bahwa Presiden Yoon Suk Yeol mendukung normalisasi pakta berbagi informasi untuk intelijen militer.
"Ini adalah bencana diplomatik lainnya, sebab kita tidak mendapat apa-apa dan memberikan segalanya. Ini membuat rakyat kita malu," ujar politisi Korea Selatan itu.
Korea Utara Tembakkan Rudal Jarak Jauh Jelang Pertemuan Presiden Korea Selatan dan PM Jepang
Korea Utara meluncurkan rudal balistik jarak jauh atau rudal balistik antarbenua (ICBM) pada Kamis (16/3/2023) pagi. Peristiwa tersebut dikonfirmasi para pejabat Jepang dan Korea Selatan.
Kepala staf gabungan Korea Selatan (JSC) mengungkapkan bahwa setidaknya satu rudal balistik tidak dikenal ditembakkan ke perairan timur Semenanjung Korea sekitar pukul 07.10 waktu setempat.
Rudal balistik antarbenua Korea Utara dilaporkan menempuh jarak sekitar 1.000km dan kemungkinan mencapai ketinggian lebih dari 6.000km sebelum jatuh di perairan antara Semenanjung Korea dan Jepang.
"Militer Korea Selatan mempertahankan postur kesiapan penuh sambil bekerja sama erat dengan Amerika Serikat (AS)," ungkap JCS seperti dilansir CNN.
Kementerian Pertahanan Jepang memperkirakan bahwa rudal jatuh di luar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Jepang, sekitar 550km di sebelah timur Semenanjung Korea.
Korea Utara terakhir menguji rudal balistik antarbenua pada 18 Februari 2023 dan yang terbaru merupakan peluncuran ICBM keempat dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebelumnya, pada Minggu (12/3), Korea Utara menembakkan dua rudal jelajah strategis dari kapal selam dan pada Selasa (14/3), Pyongyang melakukan uji coba rudal balistik jarak pendek.
Advertisement
Bertepatan dengan Latihan Militer Gabungan AS-Korea Selatan
Uji coba pada Kamis pagi berlangsung di tengah latihan militer bersama antara AS dan Korea Selatan, Freedom Shield, yang digelar selama 11 hari.
Selain itu, peluncuran rudal juga terjadi jelang pertemuan pemimpin Jepang dan Korea Selatan di Tokyo. Itu merupakan tatap muka perdana antara pemimpin kedua negara dalam 12 tahun terakhir dan dinilai sebagai tonggak penting dalam pengembangan hubungan bilateral.
Kedua sekutu AS di Asia Timur itu memiliki sejarah hubungan yang panjang, yang berasal dari pendudukan kolonial Jepang di Semenanjung Korea seabad yang lalu.
Korea Selatan dan Jepang menormalisasi hubungan pada tahun 1965, tetapi perselisihan historis yang belum terselesaikan tetap memburuk. Di lain sisi, ketidakharmonisan hubungan keduanya memicu kekhawatiran AS yang perlu menghadirkan front untuk melawan Korea Utara dan China.
"Ada peningkatan kebutuhan bagi Korea Selatan dan Jepang untuk bekerja sama," ujar Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol sebelum bertolak ke Tokyo, mengutip meningkatnya ancaman nuklir dan rudal Korea Utara serta gangguan rantai pasokan global. "Kita tidak bisa membuang waktu dengan membiarkan hubungan Korea Selatan-Jepang yang tegang."