Hanya 1 dari 10 Pekerja Memakai Keterampilan AI di Tempat Kerja

Berdasarkan survei global terhadap 11.000 pekerja yang dilakukan oleh Salesforce, hanya satu dari 10 karyawan yang mengakui bahwa pekerjaan sehari-hari mereka saat ini melibatkan kecerdasan buatan.

oleh Jessica Sheridan diperbarui 27 Mar 2023, 09:02 WIB
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI), Machine Learning (ML). Kredit: Gerd Altmann from Pixabay

Liputan6.com, Jakarta Di Minneapolis, sewaktu Tony Nguyen kehilangan pekerjaannya sebagai manajer di toko sandwich saat masa pandemi Covid-19, dia memutuskan untuk mengambil besar dengan beralih ke sektor teknologi.

Meski telah menghabiskan 5 tahun pertamanya setelah lulus dari studi industri restoran dengan menjadi manajer di toko sandwich. Kemudian, Nguyen ingin mempelajari keterampilan baru, seperti otomatisasi proses dan analisis data.

Nguyen mendaftar ke Trailhead, platform pelatihan dan pengembangan tenaga kerja Salesforce dan mendapat sertifikasi hingga akhirnya bekerja sebagai administrator yang mengelola dan menganalisis data untuk produk Salesforce.

Tidak sampai di situ, rupanya Nguyen ingin mempelajari keterampilan lain, yaitu AI generatif.

“Saat tumbuh dewasa, saya suka bermain video game dengan komputer. Itu selalu menjadi hasrat saya,” kata Nguyen dikutip dari Forbes, Sabtu (18/3/2023).

Berdasarkan survei global terhadap 11.000 pekerja yang dilakukan oleh Salesforce, hanya satu dari 10 karyawan yang mengakui bahwa pekerjaan sehari-hari mereka saat ini melibatkan kecerdasan buatan.

Seiring  peningkatan teknologi seperti ChatGPT, peralihan ke perekrutan berbasis keterampilan, dan meningkatnya fokus pada peningkatan tenaga kerja di tengah ancaman penurunan, 80 persen pemimpin TI senior menyatakan perlunya merekrut dan meningkatkan keterampilan karyawan dalam AI generatif.

“[AI] muncul di mana-mana, di setiap pekerjaan,” kata Ann Weeby, wakil presiden senior Trailhead di Salesforce, yang menambahkan program AI ke katalog kursus Trailhead.

“Keterampilan berubah, teknologi berubah, dan pekerja tertinggal.” tambahnya.

Perusahaan perangkat lunak SAS Institute menyurvei manajer di 111 organisasi yang berbasis di AS, Inggris, dan Irlandia tentang kesenjangan keterampilan. Hasilnya, 63 persen mengatakan mereka tidak memiliki cukup karyawan dengan keterampilan AI dan pembelajaran mesin.

Kebutuhan ini memberi dampak dengan membuat universitas semakin bertekad menciptakan lulusan atau sumber daya dengan gelar AI, seperti gelar AI Universitas Carnegie Mellon pada tahun 2018, investasi USD 1 miliar MIT tahun 2018 di perguruan tinggi baru untuk AI dan Pusat Pembelajaran AI Universitas Emory yang akan datang.

Namun, kenyataannya hampir 69 persen lulusan perguruan tinggi berpikir bahwa AI dapat mengambil pekerjaan mereka atau menjadikannya tidak relevan dalam beberapa tahun, menurut pembuat chatbot Tidio.

“Banyak orang mungkin khawatir tentang arti AI bagi mereka atau pekerjaan mereka,” kata Jennifer Trzepacz, chief people officer SymphonyAI.

 


Kurangi Tugas Administrasi

Ilustrasi kerjasama manusia dengan mesin kecerdasan buatan (AI). (Sumber Pixabay)

Meski begitu, AI mengurangi tugas administratif yang dapat memberikan lebih banyak waktu untuk kolaborasi dan inovasi.

Perusahaan teknologi asuransi David Fontain, Foresight, menggunakan AI dalam produknya untuk menghasilkan rekomendasi kepatuhan keselamatan bagi pelanggannya.

Dengan pemikiran bahwa AI hanyalah salah satu evolusi teknologi yang dibutuhkan pekerja untuk naik level. Hingga saat pergeseran ke perekrutan berbasis keterampilan meningkat, 82% manajer dalam survei Salesforce menyertakan keterampilan sebagai atribut terpenting saat mengevaluasi pelamar kerja.

Sebagai seorang manajer perekrutan juga, Nguyen mengatakan dia melihat akun kandidat kerja Trailhead untuk menentukan apakah mereka mengikuti perkembangan teknologi dan apakah mereka memiliki keinginan untuk memperoleh keterampilan baru. 

“Anda harus selalu meningkatkan kemampuan diri sendiri,” katanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya