Liputan6.com, Jakarta Subuh yang dingin. Cahaya matahari mulai mengintip di ufuk timur. Hawa dingin di Desa Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kutai Kartanegara memaksa saya memiringkan tubuh membentuk mirip udang.
“Mari kita buka Alkitab kita yang terambil dari kitab Mazmur,” bunyi suara pengeras suara merk Toa dari gereja memaksa siapa saja untuk sulit kembali tidur, termasuk saya.
Gereja persis di sebelah Puskesmas Pembantu (Pusban), tempat saya tidur malam itu. Tak ada pilihan selain bangun dan keluar menikmati subuh.
Baca Juga
Advertisement
“Itu renungan suci. Pendetanya dari rumah itu ngomongnya,” kata Wildan menunjuk sebuah rumah di sisi kiri Pusban.
Wildan menjelaskan, meski pengeras suara berada di atap gereja, pendeta tetap bisa menggunakan pelantang dari rumahnya. Tak perlu bersusah payah ke gereja untuk renungan suci setiap subuh.
Dia juga bangun dan langsung mengambil air wudhu. Tak ada azan subuh. Karena memang di desa ini hanya Wildan, istrinya, dan satu keluarga yang muslim.
Hanya ada sebuah gereja yang berdiri nyaris di tengah-tengah desa dengan menara menjulang beserta salib dari kayu. Ada dua pengeras suara ditaruh di atap gereja dengan posisi saling berlawanan.
Wildan adalah perawat yang ditugaskan di desa terpencil dan terisolir ini. Pemuda asal Lombok, Nusa Tenggara Barat ini sudah bertugas sejak tahun 2016. Dia satu-satunya tenaga kesehatan yang bertahan selama itu di desa yang berada di pedalaman Kalimantan.
“Kita tidak dibangunkan azan subuh, tapi renungan suci dari gereja,” kataku yang membuat Wildan tersenyum.
Usai berwudhu Wildan menunaikan kewajibannya sebagai muslim. Sebuah ruangan di salah satu rumah kayu yang jadi Pusban jadi tempat untuk menghadap penciptanya.
“Bapak kami di surga, kami bersyukur kepadamu pada pagi yang indah ini buat firman tuhan yang telah kami baca, biarlah tanamkan firman tuhan itu menjadi saksi di mana pun kami berada,” kata suara pengeras suara menemani Salat Subuh pemuda kelahiran Lombok Tengah 32 tahun silam itu.
Pria bernama lengkap Raden Wildan Budhi Prasetyo ini tetap khusyuk meski ada suara yang berbeda dari keyakinannya. Jelang Ramadan kali ini, dia sangat rindu kampung halamannya.
“Terima kasih bapak kami di surga, kami kembalikan segala pujian dan hormat syukur kami, hanya di dalam nama Tuhan Yesus dan kami berdoa sambut pagi yang indah ini, haleluyah. Amin,” tutup sang pendeta yang terdengar jelas dari speaker.
Di saat bersamaan Wildan juga sedang memanjatkan doa. Dua tangannya diangkat sambil memejamkan mata, bibir bergerak seolah memohon sesuatu.
“Saya rindu Ramadan di kampung,” katanya.
Akses menuju Desa Enggelam terbilang sulit. Jalur darat, meski ada, tak semudah yang dibayangkan.
Jalur lain adalah melalui Sungai Enggelam. Untuk sampai ke pusat kecamatan melalui jalur air, butuh waktu hingga enam jam.
Simak juga video pilihan berikut:
Perjuangan Berat
Bisa dibayangkan bagaimana perjuangan Wildan sebagai tenaga kesehatan di desa yang terpencil. Tidak ada sinyal telekomunikasi seluler dan akses keluar masuk desa yang luar biasa sulit.
Itu hanya sedikit perjuangan yang bisa saya gambarkan. Mayoritas warga Desa Enggelam bersuku Dayak Tunjung.
“Ini perut buncit karena isinya mie instan dan telor,” katanya menjawab pertanyaan saya soal bagaimana bertahan hidup di sini.
Saya pun tertawa. Apalagi saat dia mengangkat sedikit bajunya untuk memperlihatkan perut.
Wildan bercerita, pada tahun 2015 silam dia mendapat informasi penerimaan tenaga honorer kesehatan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Bersama istrinya, mereka mengadu nasib di kabupaten yang kaya akan sumber daya alam itu.
“Alhamdulillah kami berdua diterima dan ditempatkan di Desa Enggelam sejak Bulan Februari 2016 bersama istri yang bertugas sebagai bidan,” kata Wildan.
Matahari mulai nampak. Dia kemudian bergegas mengambil peralatan medisnya. Dia harus mengejar satu pasiennya yang butuh penanganan khusus.
Bagi warga Desa Enggelam, penghidupan utama adalah perkebunan. Mereka akan berangkat ke kebun saat matahari terbit dan pulang jelang matahari terbenam.
Wildan harus mengejar momen itu agar keluarga pasien masih ada di rumah saat pemeriksaan. Tak ada jam pelayanan seperti di perkotaan. Jam berapapun harus siap.
Perjuangan Wildan dan istrinya tak cuma sampai di situ. Karena di desa tetangga seorang bidan mengundurkan diri, maka istrinya dipinjamkan ke desa tersebut. Hanya ada akses sungai kecil, melewati hutan hujan tropis dataran rendah Kalimantan dan kawasan rawa gambut, yang menghubungkan kedua desa tersebut.
“Sejak 2018 istri saya bertugas di Desa Muara Enggelam, saya tetap di Desa Enggelam. Awal tahun ini alhamdulillah ditempatkan bersama di Desa Enggelam,” katanya sambil tersenyum.
Selama pisah tempat bertugas, Wildan harus bolak-balik setiap pekan untuk bertemu istri. Kadang saat ada situasi pasien genting, dia harus dua pekan bertahan di desa tersebut.
Persoalan lain, tak ada sinyal telekomunikasi sama sekali. Untuk mengirim laporan rutin pelayanan kesehatan ke Puskesmas induk, Wildan harus menuju bukit di belakang desa.
Dari pucuk sebuah pohon, Wildan duduk dan mulai mengirim laporan itu satu per satu.
“Cuma di sini sinyal 4G yang lumayan bagus. Biasanya tiap bulan ke tempat ini mengirim laporan,” kata Wildan usai turun dari pohon setinggi lima meter itu.
Tak mudah memang, tapi pilihannya tidak banyak. Harus manusia dengan keteguhan hati yang mau bertahan dengan situasi tersebut dalam rentang waktu yang lama.
Advertisement
Tak Bisa Tonton GP Mandalika
MotoGP tahun 2022 yang digelar di Sirkuit Mandalika membuat hasrat Wildan dan istrinya untuk pulang kampung semakin menggebu-gebu. Tekadnya untuk menonton balapan sepeda motor di tanah kelahirannya itu tak bisa dibendung.
Saat itu, dia berharap gajinya selama tiga bulan terakhir dibayarkan. Sehingga saat bulan Maret 2022 lalu bisa pulang kampung untuk menonton Marc Marquez menggeber motornya.
Sayang sekali, hingga bendera balap diangkat pertanda balapan dimulai, gajinya sebagai tenaga honor daerah tak kunjung muncul.
“Padahal kalau gaji saya dan istri itu dikumpul, kami bisa pulang kampung sekeluarga,” sesalnya.
Sebagai tenaga honorer daerah, gaji Wildan dan istri di awal tahun biasanya baru dibayarkan di bulan ketiga. Agar dapur tetap berasap, Wildan mencari uang secara serabutan namun tidak mengganggu tugasnya sebagai tenaga kesehatan.
“Jualan gado-gado, jadi sopir, atau lainnya yang penting halal dan di luar waktu tugas melayani kesehatan masyarakat,” sebutnya.
Sebelum Wildan hadir, tak ada tenaga kesehatan yang mau bertahan lama di desa ini. Kepala Desa Enggelam, Mong, mengakui itu.
“Selama ini kan, semua (perawat) tidak tahan lama di tempat kami. Setelah Bapak Wildan yang bertugas jadi perawat di tempat kami dia betah dan bisa bertahan lama, sedangkan beliau adalah muslim dan di sini mayoritas non muslim,” papar Mong.
Mong pun tak sungkan mengucapkan rasa terima kasih yang tinggi kepada Wildan sudah mau bertahan selama ini. Desa Enggelam tentu bersyukur mendapatkan tenaga kesehatan yang penuh dedikasi.
Wildan, sebagaimana tenaga kesehatan lainnya yang bertugas di pedalaman, adalah potret orang-orang yang membingungkan bagi saya.
“Kok mau sih bertugas di sini,” gumamku setiap menemukan orang seperti Wildan.
Maka, tidak semua hal memang harus dimasukkan logika. Nalar yang kita bangun, terpatahkan orang-orang seperti Wildan.
Apalagi selain panggilan hati yang bisa membuatnya bertahan lebih lama, bersama istri dan dua anaknya.
Suara rekaman walet dari rumah walet menghangatkan pagi di desa nun jauh di sana. Menjadi saksi seorang anak manusia dengan keteguhan hati dan panggilan jiwa yang mau bertahan di daerah yang sebenarnya asing baginya.