Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) telah memiliki pos pendapatan baru dari hasil perdagangan karbon. Hal ini seirama dengan perkiraan dari asosiasi pertambangan yang menyatakan bahwa perdagangan karbon di Indonesia bisa mencapai Rp 4.625 triliun.
Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk Nelwin Aldriansyah menyatakan, PGE berkomitmen untuk turut serta secara aktif melakukan transisi energi, termasuk di dalamnya mengenai perdagangan karbon.
Advertisement
“Untuk pertama kalinya pada 2022, Pertamina Geothermal Energy (PGE) mencatatkan pos pendapatan baru dari penjualan carbon credit. Ini membuktikan operasional PGE telah mendapatkan sertifikasi dari berbagai lembaga karbon kredit sehingga PGE berhak untuk memonetisasi atas penjualan karbon kredit dari operasional PGE,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (18/3/2023).
Sayangnya, Nelwin belum menyebut secara detil berapa sumbangsih pendapatan perseroan dari perdagangan carbon kredit dalam kinerja keuangan perusahaan tahun lalu.
Adapun Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mencatat, perdagangan karbon di Indonesia dapat menembus USD 300 miliar, atau sekitar Rp 4.625 triliun (asumsi kurs JISDOR BI Rp 15.418 per dolar AS) per tahun, yang berasal dari kegiatan menanam kembali hutan gundul hingga penggunaan energi baru terbarukan (EBT).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun sudah resmi meluncurkan perdagangan karbon. Mulai 2023, perdagangan karbon dilakukan di subsector pembangkit tenaga listrik secara mandatory.
Perdagangan karbon dilakukan pada unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero), dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW. Perdagangan karbon itu sendiri diimplementasikan melalui dua mekanisme, yakni perdagangan emisi dan offset emisi.
Target Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury juga telah berkali-kali mengatakan tengah mendorong BUMN untuk mulai melakukan perdagangan karbon, kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), dimana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan.
Kredit karbon merupakan representasi dari hak bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).
Indonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri, dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, energi dan transportasi yang telah mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi NDC Indonesia sesuai Paris Agreement.
Pada dokumen NDC 2021, melalui long term strategy-low carbon and climate resilience (LTS – LTCCR), Indonesia juga telah berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) di 2060.Pahala menambahkan, ada banyak standar pemeringkatan dalam penilaian karbon.
Advertisement
BUMN Bisa Uji Coba
Namun, yang paling banyak dilakukan adalah standar nilai karbon yang diterapkan oleh Verra. Nilai carbon offset yang diperdagangkan nilainya sekitar USD 20-40. BUMN bisa melakukan uji coba dengan harga setengahnya sebagai acuan.Terkait nilai ekonomi karbon, Pahala menjelaskan, kemungkinan besar nilainya antara USD 2-3.
Nilai Ekonomi Karbon (NEK) adalah nilai yang diberikan terhadap setiap unit emisi karbon. NEK dianggap penting untuk diadakan karena dapat mendorong investasi hijau di Indonesia. Selain itu, NEK juga dapat mengatasi celah pembiayaan perubahan iklim yang selama ini terjadi.Perusahaan BUMN diminta untuk serius mulai melakukan transisi energi dengan berbagai cara seperti sinergi dan kolaborasi.
“Kita melihat kolaborasi antara BUMN sendiri untuk membangun kerja sama dalam menghasilkan energi dan menurunkan emisi bisa dilakukan. BUMN kita juga bisa kerja sama dengan negara lain. Pada intinya, bagaimana BUMN bisa bersama-sama melakukan transisi energi,” jelas Pahala.