Liputan6.com, Jakarta - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengingatkan, penggunaan obat tradisional harus memenuhi standar.
Seperti disampaikan Ketua Bidang Pembinaan Pengembangan Obat-obatan dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Holistik PB IDI Dr dr Ina Rosalina, Sp.A.K, obat tradisional yang baik dan memenuhi standar yakni yang telah memiliki sertifikat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Advertisement
"Obat tradisional yang baik dan memenuhi standar yakni yang sudah dapat sertifikasi dari BPOM," ujar Ina dalam seminar fitofarmaka "Peran Dokter dalam Pemanfaatan Obat Berbahan Alam Indonesia dalam Pelayanan Kesehatan" di Semarang, Sabtu (18/3), dilansir Antara.
Diakui Ina, masyarakat Indonesia senang menggunakan obat berbahan alami guna menyembuhkan banyak penyakit. Namun, seringkali masyarakat tidak memperhatikan mutu dan kualitasnya. Oleh karena itu, seminar fitofarmaka tersebut menjadi kegiatan edukasi.
"Ini merupakan waktu yang tepat untuk menyosialisasikan bahan alami sebagai obat-obatan," kata Ina.
Sementara itu, Ketua IDI Wilayah Jawa Tengah dr Sarwoko Oetomo berharap, kekayaan alam Indonesia bisa dimanfaatkan untuk pengobatan sehari-hari, tentunya yang sudah melewati kajian, termasuk efek samping.
"Mari kita manfaatkan sebaik mungkin kekayaan Indonesia yang kita miliki untuk pengobatan tradisional yang minim akan efek samping," ungkap Sarwoko.
Sekretaris Jenderal PB IDI dr Ulul Albab pun memberi apresiasi terhadap IDI Wilayah Jateng yang telah mampu menyelenggarakan seminar yang dihadiri oleh ratusan dokter itu. Uul juga berpesan agar para dokter mengutamakan etik di tengah profesionalitas mereka sebagai dokter.
Kemenkes Telah Luncurkan Formularium Fitofarmaka
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI pun telah meluncurkan Formularium Fitofarmaka guna mewujudkan kemandirian Indonesia dalam produksi obat berbahan baku alam yang keamanan dan khasiatnya bisa dibuktikan secara ilmiah.
Formularium FItofarmaka itu telah diluncurkan pada akhir Mei 2022 di Jakarta.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan, jika obat telah tergolong dalam fitofarmaka maka bisa masuk dalam formularium sehinga dapat diresepkan oleh dokter.
"Ujungnya, bahwa pengobatan-pengoabtan herbal itu bisa dipakai di fasilitas kesehatan. Kalau masih uji hewan, dia belum bisa masuk. Untuk itu, industri farmasi harus mengupayakan agar produknya bisa masuk formularium. Caranya adalah harus melalui uji klinis terstandar," ujar Dante beberapa waktu lalu.
Advertisement
BRIN Doring Intensifikasi Riset Fitofarmaka
Sejak tahun lalu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pun mendorong dilakukannya intensifikasi riset pengembangan fitofarmaka guna merespons momentum obat tradisional terstandar masuk dalam skema pembiayaan jaminan kesehatan nasional.
Intensifikasi riset, kata Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN Indi Dharmayanti, diperlukan seiring terbitnya keputusan Menkes tentang Formularium Fitofarmaka.
Riset dapat dimulai dengan pemetaan penggunaan jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka di sarana fasilitas pelayanan kesehatan.
"Hasil dari pemetaan tersebut kemudian menjadi data basis pengembangan formula yang dibutuhkan untuk mendukung penggunaan regimen terapi konvensional," kata Indi pada Agustus silam.