Liputan6.com, Jakarta - Hari Puisi Sedunia diperingati tanggal 21 Maret setiap taunnya. Hari Puisi Sedunia dirayakan sebagai salah satu bentuk ekspresi dan identitas budaya dan bahasa yang paling berharga di dunia.
Dilansir dari laman UNESCO, Selasa (21/03/2023), UNESCO pertama kali menetapkan tanggal 21 Maret sebagai Hari Puisi Sedunia dalam Konferensi Umum ke-30 di Paris pada tahun 1999, dengan tujuan untuk mendukung keanekaragaman bahasa melalui ekspresi puitis dan meningkatkan kesempatan bagi bahasa-bahasa yang terancam punah untuk didengar.
Advertisement
Hari Puisi Sedunia adalah kesempatan untuk menghormati para penyair, menghidupkan kembali tradisi lisan pembacaan puisi, mempromosikan pembacaan, penulisan, dan pengajaran puisi, mendorong konvergensi antara puisi dan seni lainnya seperti teater, tari, musik, dan lukis, serta meningkatkan visibilitas puisi di media.
Ada banyak cara untuk memperingati Hari Puisi Sedunia, salah satunya adalah menulis sebuah puisi. Kamu tidak perlu menulis banyak bait untuk membuat puisi, cobalah dari hal kecil dan sederhana seperti membuat puisi mengenai cinta dari pengalaman kamu.
Di Indonesia, banyak sekali penyair puisi yang terkenal dan karyanya banyak dibahas oleh masyarakat umum. Selain membuat puisi, satu cara untuk memperingati Hari Puisi Sedunia adalah dengan mempromosikan puisi karya penyair dan tulis makna apa yang kamu dapat dari puisi tersebut. Berikut 3 puisi karya penyair Indonesia yang dapat kamu baca untuk rayakan Hari Puisi Sedunia.
1. Tikus oleh Joko Pinurbo
Banyak orang begitu jijik dan benci pada tikus, tapi perempuan lajang yang tinggal sendirian di rumahnya yang besar itu justru merasa tentram bersahabat dengan tikus-tikus yang mencericit terus tiada hentinya. Entah berapa tikus berumah di rumahnya. Dan setiap hari ada saja tikus mati, lalu dengan sedih ia buang ke selokan.
Sebelum tidur, sambil mengantuk, ia sempatkan membaca buku Hidup Bahagia bersama Tikus sementara konser tikus berlangsung terus sampai jauh malam, juga ketika ia sudah nyenyak bermimpi bertemu kekasih yang selama ini ia sembunyikan dalam ingatan.
Malam itu ia tidur berselimutkan sarung cap tikus, dan ada tikus besar dari kuburan mondar-mandir di sekitar tubuhnya, mengendus-endus sakitnya. Saat bangun ia menjerit mendapatkan tikus-tikus mati berkaparan di ranjang. Sialan, kau dapat cericitnya, aku bangkainya!
Dalam menulis puisi, Joko Pinurbo kerap mencampur antara realitas dengan impian, yang semua itu dapat ditemukan dalam satu baris yang dapat diucapkan dalam satu hembusan napas. Joko Pinurbo memiliki ciri khas dalam menulis soal penggunaan bahasa dan penggarapan tema keseharian karena itulah tema-tema puisi karya Joko Pinurbo cenderung berkaitan dengan hal-hal yang dihadapi setiap hari dan realitasnya memang terjadi di sekitar.
Semua puisi karyanya berkaitan dengan tubuh serta tempat-tempat yang sering dikunjungi atau dibutuhkan oleh tubuh seperti kamar mandi, kuburan, dapur, ranjang, pacar, telepon genggam, kopi, dan kenangan yang melekat pada tubuh dan jiwa seseorang.
Advertisement
2. Hujan Bulan Juni oleh Sapardi Djoko Damono
Tak ada yang lebih tabah
Dari Hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Dalam menulis puisi, Sapardi Djoko Damono merangkai kata-kata yang tidak hanya menjadi sebuah bait yang indah, tetapi juga memberinya ruh. Puisi ini sangat menggambarkan akan sebuah penantian seseorang yang menunggu dengan sabar, ikhlas, dan tabah walaupun ia menunggu dalam sebuah ketidakpastian. Pada bait terakhir, Sapardi Djoko Damono juga seakan-akan menyembunyikan rasa rindunya yang tidak bisa diucapkan, yang sampai akhirnya membiarkan rindu itu sampai diserap oleh akar pohon yang berbunga itu.
3. Aku oleh Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Akan tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih baik tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Dalam menulis puisi, Chairil Anwar kerap menulis puisi yang bersifat ekspresionisme. Selain itu, dalam menyampaikan maksud dan juga arti dari puisinya, Chairil Anwar menggunakan retorika seperti majas, ironi, dan bahkan hiperbola. Puisi ini menceritakan kisah “aku” yang sedang menelusuri perjalanan hidupnya. Tokoh “aku” dalam puisi ini digambarkan sebagai seorang yang selalu memperjuangkan hak atas dirinya tanpa merugikan siapapun.
Advertisement