Liputan6.com, Jakarta Sunan Ampel merupakan salah satu Walisongo yang berpengaruh di Tanah Jawa. Ia lahir di Champa (Kamboja dan Vietnam sekarang) pada tahun 1401 dari keluarga bangsawan.
Dakwah Raden Rachmat atau Sunan Ampel dimulai saat sang ayah, Maulana Malik Ibrahim menugaskannya untuk menemui Raja Majapahit Prabu Brawijaya.
Sekaligus mengunjungi bibinya, Ratu Dwarawati di Trowulan, ibukota Majapahit pada tahun 1440.
Baca Juga
Advertisement
Prabu Brawijaya meminta Sunan Ampel untuk mengatasi masalah yang terjadi pada rakyatnya yang memiliki perangai buruk. Seperti berjudi, mabuk dan menggelapkan uang pajak, disinilah strategi dakwah Sunan Ampel dimulai.
Dalam mensyiarkan agama Islam, Sunan Ampel dikenal sebagai pendakwah cerdas karena memiliki trik dakwah yang berbeda-beda dalam setiap penyampaiannya, antara lain:
Mengubah Kebiasaan Masyarakat
Di awal dakwahnya di Pulau Jawa, Sunan Ampel tidak setuju dengan adat Jawa seperti kenduri, selamatan, dan sesaji. Ia ingin hidup dalam sistem sosial budaya masyarakat yang menganut Islam.
Salah satu caranya yakni dengan pemasangan bedug dan kentongan di beberapa masjid dan mushola di Jawa sebagai waktu penanda salat tiba. Kala itu, bedug adalah alat yang disukai umat Buddha sebagai alat musik, sedangkan kentongan adalah alat musik yang digemari oleh umat Hindu.
Mendekatkan Istilah Islam dengan Bahasa Jawa
Untuk terhubung dengan masyarakat setempat, Sunan Ampel memiliki cara dakwah yang unik. Caranya yakni dengan mendekati dan menggabungkan istilah-istilah Islami dengan bahasa yang dituturkan oleh orang Jawa.
Misalnya, kata salat diganti dengan kata sembahyang yang identik digunakan masyarakat Jawa saat beribadah. Tak hanya itu, kata musala juga diganti dengan nama langgar yang terdengar sanggar. Sanggar kala itu merupakan tempat pemujaan atau tempat menyimpan sesaji pada masyarakat Jawa.
Kemudian, orang penuntut ilmu diberikan nama santri, yang berasal dari shastri, yaitu orang yang tahu kitab suci Hindhu (Nur Hamiyatun, Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam, Vol. 5(1), 2019).
Saksikan video pilihan berikut ini:
Menguasai Kebutuhan Pokok Masyarakat
Sunan Ampel menikah dengan istri keduanya Dewi Karimah yang merupakan putri Bupati Tuban, Nyai Ageng Manila istri Ki Wiroseroyo, seorang tokoh besar Jawa.
Di Tuban, Sunan Ampel menyediakan kebutuhan dan membagikannya kepada masyarakat sambil berdakwah. Pendekatan ini sangat efektif dan membuat masyarakat tertarik untuk mempelajari Islam.
Melakukan Pendekatan Intelektual
Sunan Ampel gemar berdiskusi dan memberikan pemahaman agama Islam kepada masyarakat yang dapat diterima akal manusia. Pendekatan intelektual tersebut dilakukan dengan menggunakan nalar dan kecerdasan untuk menghadapi sesuatu yang baru.
Lima Ajaran Dasar Sunan Ampel
Dalam ajaran yang dibawa Sunan Ampel, beliau berusaha memperbaiki akhlak masyarakat yang rusak. Oleh karena itu, Sunan Ampel memunculkan istilah ‘Mo Limo’ yang berarti ‘Jangan melakukan lima hal yang dilarang Allah’ yaitu: Moh Main (Berjudi), Moh Mabok, Moh Madon (Berzina), Moh Madat (Narkoba), dan Moh Maling (Mencuri).
Mengubah Nama Sungai
Sungai Brantas merupakan salah satu sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Timur. Sunan Ampel mengubah namaya menjadi Kali Emas. Selain itu, ia juga mengganti nama pelabuhan Jelangga Manik menjadi Tanjung Perak.
Sunan Ampel menggunakan kata emas dan perak dengan harapan masyarakat akan berduyun-duyun ke Jawa Timur karena diakini di daerah tersebut banyak terdapat harta karun seperti emas dan perak.
Mengembangkan Pendidikan Pesantren
Sunan Ampel mengembangkan pesantren dengan pola pendidikan monastik yang dijalankan oleh para pendeta untuk mengajar. Di pesantren tersebut juga menggunakan mandala Hindu-Buddha yang pengaruhnya masih terlihat hingga kini. Langkah edkatif-persuasif ini dilakukan agar mereka lebih mudah memahami nilai-nilai Islam.
Advertisement