Laporan PBB: Krisis Air Global Bisa Lepas Kendali Akibat Konsumsi Berlebihan dan Perubahan Iklim

PBB memperingatkan bahwa dunia sedang menghadapi ancaman krisis air global yang semakin tidak terkendali. Hal ini adalah akibat permintaan air yang terus meningkat dan dampak krisis iklim yang semakin parah.

oleh Dyra Daniera diperbarui 23 Mar 2023, 20:00 WIB
Dunia akan segera menghadapi krisis air global. (Dok. Instagram/@un_water/https://www.instagram.com/p/CjF2X6PjbXP//Dyra Daniera)

Liputan6.com, Jakarta - Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa dunia sedang menghadapi ancaman krisis air global yang semakin tidak terkendali. Hal ini adalah akibat permintaan air yang terus meningkat dan dampak krisis iklim yang semakin parah, sehingga memberikan tekanan besar pada sumber daya air

Menurut Laporan Perkembangan Air Dunia PBB yang dirilis pada Selasa, 21 Maret 2023, dalam Konferensi Air PBB 2023 di New York, penggunaan air telah meningkat sekitar satu persen per tahun selama 40 tahun terakhir karena pertumbuhan populasi dan pola konsumsi yang berubah.

Dikutip dari CNN pada Kamis, 23 Maret 2023, laporan tersebut juga memperkirakan bahwa jumlah orang di kota-kota yang menghadapi kelangkaan air akan hampir dua kali lipat dari 930 juta orang pada 2016 menjadi 2,4 miliar pada 2050. Permintaan air perkotaan diperkirakan akan meningkat sebesar 80 persen pada 2050. 

Tanpa tindakan untuk mengatasi masalah kelangkaan air, “pasti akan terjadi krisis global,” kata Richard Connor, penulis utama laporan tersebut, pada konferensi pers peluncuran laporan.

Laporan PBB juga menunjukkan bahwa akses air yang aman sudah menjadi masalah besar. Dua miliar orang saat ini tidak memiliki akses ke air minum yang aman dan 3,6 miliar orang kekurangan akses ke sanitasi yang dikelola dengan aman. Sekitar 10 persen dari populasi global saat ini tinggal di negara-negara dengan tekanan air yang tinggi atau daerah kritis.


Menuju Kelangkaan Air

Seorang ibu dan anaknya menuju sumur di Burkina Faso, Afrika yang hampir 50% penduduknya tidak punya akses ke air minum. (Dok. Instagram/@un_water/https://www.instagram.com/p/ClnqgQ9oYK9/Dyra Daniera)

Pertumbuhan perkotaan, industri, dan pertanian memperparah krisis air global. Sektor pertanian sendiri sudah menggunakan 70 persen pasokan air dunia.

Laporan PBB juga memperkirakan bahwa kelangkaan air musiman akan semakin meningkat di beberapa daerah yang saat ini masih memiliki pasokan air yang melimpah, seperti Afrika Tengah, Asia Timur, dan sebagian Amerika Selatan. Sementara itu, kelangkaan air akan semakin parah di Timur Tengah dan kawasan Sahel di Afrika yang pasokan airnya sudah sangat sedikit. 

Kekeringan ekstrem yang semakin sering terjadi akibat krisis iklim, akan semakin memperburuk kekurangan air di beberapa daerah, dan akan memberi tekanan pada ekosistem. Hal itu akan menimbulkan "konsekuensi mengerikan" bagi spesies tumbuhan dan hewan.

Richard Connor menyatakan bahwa solusi untuk mengatasi masalah kelangkaan air ini adalah kerja sama internasional yang lebih baik untuk menghindari konflik atas air.  Untuk itu, perlu tindakan yang cepat dan tepat guna mengatasi masalah kelangkaan air global ini sebelum krisis yang tidak terkendali terjadi.


Diperlukan Kerja Sama Internasional

Pada 2050, akan ada 1.6 miliar orang berisiko terdampak banjir. (Dok. Instagram/@un_water/https://www.instagram.com/p/Cp5PxivIoS1/Dyra Daniera)

Dalam upaya untuk mencegah krisis air global yang semakin memburuk, para ahli memperingatkan perlunya tindakan segera untuk mengendalikan banjir dan polusi, berbagi data, serta mengurangi tingkat polusi yang menyebabkan pemanasan global. Hal ini harus dibarengi dengan upaya untuk meningkatkan akses ke dana air, serta membuka pintu untuk kolaborasi lebih lanjut. 

Menurut Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, badan budaya PBB, "Ada kebutuhan mendesak untuk membangun mekanisme internasional yang kuat untuk mencegah krisis air global agar tidak terkendali."

Azoulay menegaskan bahwa air merupakan masa depan kita bersama, dan penting untuk bertindak bersama-sama untuk membaginya secara adil dan mengelolanya secara berkelanjutan. Memperkuat kerja sama lintas batas adalah alat utama untuk menghindari konflik dan meningkatnya ketegangan. PBB mencatat bahwa saat ini 153 negara berbagi hampir 900 sungai, danau, dan sistem akuifer, dan lebih dari setengahnya telah menandatangani perjanjian kerja sama. 


Kontroversi Investasi Air

Kekeringan di Vietnam. (Dok. Instagram/@un_water/https://www.instagram.com/p/CpzF6ogoWM6//Dyra Daniera)

Dilansir dari situs resmi PBB, Johannes Cullmann, penasihat ilmiah Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), mengatakan "masalah ini adalah pertanyaan tentang berinvestasi dengan bijak".

Investasi dalam pengelolaan sumber daya air harus ditingkatkan empat kali lipat agar dapat memenuhi target 600 miliar hingga 1 triliun dolar AS yang diperlukan untuk mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG) 6 tentang air dan sanitasi. Namun, 18 pakar independen dan pelapor khusus PBB mengingatkan bahwa air adalah hak asasi manusia dan harus dikelola sebagai barang bersama, bukan sebagai komoditas.

Jika air dipandang sebagai peluang bisnis, hal ini akan membuat mereka yang tidak dapat mengakses atau membayar harga pasar terpinggirkan. Komodifikasi air akan "menggagalkan pencapaian SDGs dan menghambat upaya untuk mengatasi krisis air global".

Para ahli juga menambahkan bahwa kemajuan SDG 6 hanya dapat terjadi secara efektif jika komunitas dan hak asasi mereka menjadi pusat diskusi. Mereka berpendapat bahwa ktia perlu menghentikan pendekatan teknokratis terhadap air dan mempertimbangkan gagasan, pengetahuan, dan solusi masyarakat adat dan komunitas lokal untuk memastikan keberlanjutan agenda air. 

Infografis Waspada Krisis Air Ibukota (Liputan6.com/Yoshiro)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya