Liputan6.com, Paris - Presiden Emmanuel Macron (45) mengatakan pada Rabu (22/3/2023) bahwa reformasi pensiun yang akan menaikkan usia pensiun dari 62 menjadi 64 tahun akan diimplementasikan akhir tahun.
Pernyataan Macron itu adalah yang pertama sejak pemerintah memaksakan rancangan undang-undang (RUU) reformasi pensiun dengan menghindari pemungutan suara di parlemen minggu lalu, kemudian selamat dari dua mosi tidak percaya pada Senin (20/3).
Advertisement
Dewan Konstitusi Prancis akan meninjau RUU tersebut dalam beberapa minggu mendatang dan RUU tersebut hanya dapat diubah menjadi undang-undang setelah badan tersebut memberikan persetujuannya.
Perdana Menteri Elisabeth Borne telah menanggung beban kemarahan oposisi selama debat parlemen yang sering kali tidak menyenangkan, tetapi Macron mengatakan dalam wawancaranya pada Rabu bahwa dia "mempercayai" Borne untuk terus memimpin dan menyarankannya untuk tidak merencanakan perombakan pemerintah.
Macron, yang sedang menjalani masa jabatan kedua dan terakhirnya, berulang kali kali mengungkapkan keyakinan bahwa sistem pensiun Prancis perlu dimodifikasi agar tidak defisit.
"Reformasi itu bukan kemewahan, itu tidak menyenangkan. Itu adalah kebutuhan negara," katanya seperti dilansir AP, Kamis (23/3), sambil mengakui bahwa "kami harus mendengarkan (lawan), mendengarkan kemarahan mereka dan menanggapinya."
Macron: Saya Memilih Kepentingan Umum di Atas Jajak Pendapat
Setelah wawancaranya disiarkan di televisi nasional, para kritikus menyerang Macron, menggambarkannya sebagai "pemuas diri", "di luar jangkauan", dan "ofensif".
Beberapa mengatakan bahwa Macron bermain api di tengah aksi mogok dan demonstrasi pekerja, yang menyebabkan sejumlah bentrokan dengan polisi. Protes nasional terbaru dijadwalkan pada Kamis dan kemungkinan akan semakin meningkatkan ketegangan.
"Dia benar-benar menyangkal," kata Ketua Partai Sosialis Olivier Faure. "Seolah-olah ada api yang menyala dan dia menuangkan jerigen gas ke api."
Saat Macron bicara, buruh pelabuhan di Marseille dan pekerja kebersihan di Paris melancarkan aksi mogok untuk hari ke-17. Sementara itu, pekerja di kilang Normandia juga menolak bekerja dan melakukan blokade.
Gangguan sebagian pengiriman bahan bakar karena kilang yang diblokir di Normandia dan Prancis selatan menyebabkan kekurangan di pompa bensin, terutama di tenggara, sementara sampah menumpuk di seantero Paris.
Di Kota Rennes di Brittany, protes para nelayan yang marah atas kenaikan harga bahan bakar dan rancangan rencana Uni Eropa untuk melarang jaring pemberat yang menyapu dasar laut berubah menjadi konfrontasi kekerasan ketika kelompok-kelompok yang memprotes reformasi pensiun bergabung. Polisi menembakkan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan perusuh yang membakar sampah dan melemparkan suar. Pada satu titik, pengunjuk rasa mengendarai traktor ke dalam kekacauan.
Ketika protes di Paris utara merosot, polisi anti huru hara bergerak maju, mencoba untuk menahan para demonstran yang gaduh di pinggir jalan.
Dua jurnalis Associated Press di tempat kejadian mundur untuk membiarkan polisi lewat, tetapi petugas menggunakan perisai mereka untuk membanting jurnalis ke dinding, menjepit mereka di sana meskipun identitas mereka jelas sebagai anggota media.
Tindakan yang luar biasa itu terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara polisi dan pengunjuk rasa radikal dalam beberapa hari terakhir, setelah dua bulan demonstrasi yang sebagian besar damai. Beberapa jurnalis mengatakan bahwa mereka semakin menjadi sasaran, baik oleh polisi maupun oleh beberapa pengunjuk rasa.
Macron membuat perbedaan dalam wawancaranya antara protes yang diorganisir serikat pekerja yang dia anggap sah dan kelompok kecil yang berakhir dengan konfrontasi dengan polisi.
Untuk menegaskan maksudnya, Macron membangkitkan ingatan publik kepada kerusuhan Gedung Capitol pada 6 Januari 2021, penyerbuan sejumlah gedung pemerintahan di Brasil awal tahun ini, dan gerakan rompi kuning di Prancis pada tahun 2018.
"Ketika Amerika Serikat mengalami apa yang mereka terjadi di Capitol, ketika Brasil melalui apa yang dialaminya, dan ketika Anda melihat kekerasan ekstrem di Jerman, Belanda, atau terkadang di dalam negeri... kami harus mengatakan bahwa kami menghormati (pengunjuk rasa damai), kami mendengarkan, kami mencoba untuk memajukan negeri... tetapi kami tidak dapat menerima orang atau faksi yang memecah belah," ungkap Macron.
Serikat pekerja, politikus oposisi, dan penentang lainnya bersikeras ingin reformasi pensiun ditarik.
Pekerja yang memblokir pabrik pengelolaan limbah di Issy-les-Moulineaux di tepi selatan Paris menyaksikan wawancara Macron dengan kecewa.
"Kami akan melanjutkan perlawanan," kata Frederic Probel, pemimpin lokal serikat kiri CGT.
Macron mengakui bahwa mayoritas orang Prancis menentang reformasi tersebut. "Tapi antara jajak pendapat dan kepentingan umum negara, saya memilih kepentingan umum... Dan jika itu berarti menanggung ketidakpopuleran setelah itu, saya akan menanggungnya."
Baca Juga
Macron Selamat dari Dua Mosi Tidak Percaya atas Reformasi Pensiun, Rakyat Prancis Kembali Demo pada Kamis
Macron Digoyang Mosi Tidak Percaya atas Reformasi Pensiun, Pekerja Prancis Siap Demo Lagi
Abaikan Protes Rakyat Prancis dan Voting Parlemen, Macron Berlakukan Reformasi Pensiun dengan Kekuatan Konstitusional
Advertisement