KH Daud Ismail Sopeng, Berdakwah dan Berbudaya dengan Tafsir Quran Berbahasa Bugis

Tradisi di Sulawesi itu kuat dengan aksaranya, karena punya aksara sendiri dan aksara itu memungkinkan melahirkan banyak peradaban tulis menulis.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Apr 2023, 08:46 WIB
Serial 'Inspirasi Sahur 2023' yang ditayangkan di akun Youtube BKN PDI Perjuangan menjelang sahur, dipandu oleh host Mabda Dzikara pada Rabu (23/03/2023). (Liputan6.com/ ist)

Liputan6.com, Jakarta - Aksara Lontara Bugis rupanya menjadi salah satu 'huruf lokal paling ikonik' dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Ialah Anregurutta KH. Daud Ismail Sopeng yang menggunakannya saat menulis Tafsir Al-Munir.

Karya tafsir lansiran lokal itu ditulis dengan tujuan merawat bahasa dan abjad Bugis dari kepunahan. Demikian disampaikan Peneliti Manuskrip Nusantara, KH. Ahmad Baso dalam serial 'Inspirasi Sahur 2023' yang ditayangkan di akun Youtube BKN PDI Perjuangan menjelang sahur, dipandu oleh host Mabda Dzikara pada Rabu (23/03/2023).

"Tradisi di Sulawesi itu kuat dengan aksaranya, karena punya aksara sendiri dan aksara itu memungkinkan melahirkan banyak peradaban tulis menulis," ujarnya.

Ada ratusan bahkan ribuan naskah yang tersebar di perpusatakan dunia, di Leiden, di London, di Paris, di Jerman yang berasal dari Sulawesi Selatan dalam bahasa Bugis maupun Makassar. Paling tua abad ke-17 atau tahun 1600-an.

Ahmad Baso menjelaskan mengenai oleh KH. Daud Ismail Sopeng yang menerbitkan karya Tafsir Al-Munir ataupun terjemahan lain dalam bahasa lokal itu untuk membantu dalam memberi pemahaman sekaligus menghidupkan tradisi lokal Sulawesi Selatan.

"Beliau menggunakan aksara lontara, tidak menggunakan latin dalam menulis bahasa Bugisnya, karena beliau motivasinya ingin menghidupkan dan melestarikan aksara Bugis," ujarnya.

Menurutnya cara KH Daud Ismail Sopeng membuat karya Tafsir Al-Munir adalah bentuk cara terbaik dalam meraih dua tujuan sekaligus.

"Jadi, inilah satu mekanisme untuk melestarikan sekaligus ngaji kitab (tafsir), yang kedua sekaligus ngaji lontara. Jadi dua tujuan terpenuhi sekaligus," terang Ahmad Baso.

Selain itu, Ahmad Baso menekankan, anak muda harus bisa mengambil teladan dari KH. Daud Ismail Sopeng tentang pentinganya menjadi pribadi yang memiliki semangat terus maju dan progresif seperti ungkapan Api Islam oleh Bung Karno.

Api yang terus membakar semangat umat Islam untuk terus berpikir maju dan tidak usang oleh zaman dengan tetap teguh pada kepribadian bangsa.

"Kita harus kembali kepada kearifan lokal, kita ini mau melestarikan tradisi bangsa ini," jelasnya.

Ia mengingatkan slogan Bung Karno tentang menjaga dan mencari Api Islam sekaligus mencari kepribadian bangsa kita salah satunya dengan tradisi-tradisi beragama seperti ini (metode tafsir Al-Munir).

"Karena di sinilah hidup bukan sesuatu yang mati, yang hanya menjadi benda-benda turis," ia menambahkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya