Liputan6.com, Jakarta Presiden China Xi Jinping bertandang ke Rusia pada Senin 20 Maret 2023. Banyak yang menyebut pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin bukan pertemuan biasa, di mana bisa jadi juru damai dari perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung setahun lebih.
Hal ini pun diamini oleh Ketua Umum Bada Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Jabodetabeka-Banten dan luar negeri, M Adhiya Muzakki. Menurut dia, kehadiran Xi Jinping membawa misi perdamaian sebagaimana yang dilakukan Presiden Joko Widodo atau Jokowi beberapa waktu silam.
Advertisement
"Kami melihat ada misi perdamaian dibalik datangnya Presiden Xi Jinping ke Rusia," kata Adhiya seperti dikutip dalam keterangannya, Kamis (23/3/2023).
Dia menganalisis bahwa akan ada beragam macam pandangan dari hasil pertemuan tersebut. Mengingat, kedua negara tersebut sangar erat kaitannya sebagai negara yang melawan negara barat.
"Tentunya akan banyak perspektif dari pertemuan tersebut. Mengingat keduanya identik dengan simbol perlawanan negara barat," kata Adhiya.
Meski demikian, dia meyakini Xi Jinping hadir untuk terlibat aktif dalam menjaga tatanan dunia yang aman dan damai. "Tanpa pertentangan, dan tanpa peperangan," jelasnya.
Sebelumnya, kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Rusia pada Senin 20 Maret 2023 untuk melakukan pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin diyakini bisa menghasilkan dua skenario signifikan.
Terutama bagi perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung setahun lebih; menyatakan dukungan penuhnya atas Moskow atau menjadi juru damai untuk Kyiv.
ejumlah laporan menyebut bahwa Xi punya misi untuk mendamaikan Rusia dan Ukraina yang telah terlibat perang selama setahun lebih.
Perkiraan itu bukan mengada-ada. Pasalnya pekan lalu, Beijing berhasil memediasi normalisasi hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Iran, dua negara yang saling bersaing di Timur Tengah, dikutip dari Channel News Asia, Rabu (22/3/2023).
Mengumumkan perjalanan Xi Jinping, juru bicara kementerian luar negeri Wang Wenbin mengatakan China akan "memainkan peran konstruktif dalam mempromosikan pembicaraan damai".
Sejumlah Analisis soal Pertemuan Kedua Presiden
Akan tetapi, sejumlah analis punya pandangan yang bervariasi.
Analis Tiongkok menilai, "menghentikan perang adalah keinginan semua orang, mengingat Eropa akan kehilangan begitu banyak dan Amerika Serikat mungkin tidak dapat mendukung Ukraina selama yang dianggap bisa," kata Wang Yiwei, direktur Institut Urusan Internasional di University Renmin of China, Beijing.
China bulan lalu menerbitkan 12 poin tentang perang di Ukraina. Poin-poin itu di antaranya menyerukan dialog dan menghormati kedaulatan teritorial semua negara.
Beijing juga tengah menggembar-gemborkan Inisiatif Keamanan Global (GSI), sebuah kebijakan yang diumumkan Xi Jinping untuk "mempromosikan perdamaian dan pembangunan yang tahan lama".
Kedua dokumen tersebut telah menimbulkan kemarahan di Barat karena berkutat pada prinsip-prinsip luas alih-alih solusi praktis untuk krisis tersebut.
"Diplomasi China tampaknya merupakan upaya untuk mempromosikan GSI dan membangun momentum untuk kebijakan luar negerinya dan keterlibatan kembali dengan dunia", kata Ja Ian Chong, profesor di National University of Singapore.
"Apakah (China) benar-benar meningkatkan upayanya untuk berperan sebagai pembawa damai dengan cara yang berarti akan tergantung pada substansi dari apa yang diusulkannya selama pertemuan dengan para pemimpin dari Ukraina dan Rusia," kata Chong, yang berspesialisasi dalam hubungan internasional Beijing.
"Rencana perdamaian mereka sebelumnya lebih pada prinsip-prinsip umum daripada proposal yang dapat ditindaklanjuti."
Advertisement