Liputan6.com, Makassar - Kawali merupakan salah satu jenis senjata tajam yang digunakan kelompok masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya komunitas Bugis. Masyarakat yang biasanya menggunakan senjata ini adalah masyarakat di wilayah Bone, Luwu, dan Sidrap.
Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, senjata tajam ini tak hanya dianggap sebagai benda mati biasa, tetapi juga sangat dipuja, dianggap suci, dan sakti. Bahkan, para pembuat kawali dianggap bukan hanya pandai besi, melainkan orang yang mempunyai keahlian meramu bahan-bahan yang digunakan, termasuk dalam menempa besi.
Kehadiran kawali sebenarnya sejalan dengan kehadiran kelompok pekerja rumah tangga yang mahir menempa besi. Sejak dahulu, beberapa daerah di Sulawesi Selatan masyarakatnya memang mahir dan pandai dalam menempa besi.
Baca Juga
Advertisement
Salah satu wilayah yang masih mempertahankannya adalah Massepe, Kabupaten Sidenreng Rappang. Orang-orang wilayah itulah yang awalnya memperkenalkan bebagai bentuk dan motif sebagai daya tarik bagi setiap orang.
Dengan dasar kepandaian meramu senjata, akhirnya orang-orang tertarik untuk memesannya. Kondisi ini pula yang meyakini para pemilik senjata tajam tidak melihat sebelah mata para pemandai besi.
Bahkan, mereka diberi gelar sebagai panre bessi (pandai besi). Kesaktian dan keistimewaan senjata kawali di kalangan komunitas Bugis sudah tersebar di banyak daerah, terutama di kalangan msyarakat berdarah bangsawan.
Ketika para pejabat adat menghadiri upacara adat, sudah menjadi tuntutan untuk berpakaian adat lengkap. Salah satu komponen pakaian tersebut adalah kawali (keris).
Kawali sekaligus digunakan untuk menunjukkan kewibawaannya dan kekharismatikan pemakainya. Menjadi benda yang disakralkan, kawali memiliki wujud yang berbeda-beda.
Bahkan, tingginya tingkat kepercayaan setiap orang terhadap benda tersebut juga dijuluki dengan gelar berbeda, misalnya lagawari karena bentuk pangkalnya terbelah dan dianggap ampuh dipakai bercocok tanam. Selain itu, ada juga bombang pitue karena berbentuk ular dan ampuh menolak bahaya serta berfungsi sebagai penyelamat.
Penulis: Resla Aknaita Chak