Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Bea Cukai (Ditjen Bea Cukai) menuai sorotan. Mulai dari pejabat yang sempat pamer gaya hidup mewah di media sosial hingga yang terbaru pegawai Bea Cukai yang arogan.
Awalnya kasus Bea Cukai menuai sorotan saat Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmando memiliki yang menunjukkan gaya hidup mewah. Melalui akun Instagram, Eko memamerkan kekayaan mulai menungganggi motor gede (moge) Harley Davidson, mobil klasik dan pesawat Cessna.
Advertisement
Ia pun memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk klarifikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada Selasa, 7 Maret 2023. Adapun Eko mengaku tak berikan klarifikasi apa pun terkait hal itu.
"Saya tak berikan klarifikasi apa pun atas itu karena merupakan perintah pimpinan untuk tidak melakukan aksi apapun, sebagai prajurit baik saya melaksanakan itu," kata dia.
Ia pun meminta maaf kepada masyarakat dan Kementerian Keuangan. "Bilamana hal itu mencederai perasaan masyarakat, mencederai kepercayaan publik kepada pimpinan saya, baik di Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, saya mohon maaf," ujar dia.
Eko Darmanto juga memberikan klarifikasi mengenai pesawat cessna. "Atas isu sentral saya tak punya pesawat. Itu milik FASI, dan terklarifikasi dan verifiksi," tutur dia.
Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono Jadi Sorotan
Setelah Eko Dharmanto, warganet pun kembali soroti gaya hidup mewah Kepala Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono. Ia diketahui memiliki satu rumah gedongan di kawasan Legenda Wisata Cibubur. Akan tetapi, hal itu tidak tercantum dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Adapun Andhi Pramono rupanya sudah masuk dalam radar Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) sejak awal 2021.
Menang Lomba Nyanyi di Jepang, Piala Fatimah Dipajaki Rp 4 Juta
Lalu viral curhatan seorang gadis bernama Fatimah Zahratunnisa. Ia ungkap cerita pengalaman mengirimkan piala yang merupakan hadiah kemenangan dalam ajang pencari bakat di Jepang.
Pada September 2015, ia memenangkan ajang pencarian bakat asal Jepang I Can Sing in Japanese, dan kalahkan 11 peserta dari negara lain. Ia mengungkapkan mendapatkan tagihan pajak Rp 4 juta dari Bea Cukai saat kirimkan piala ke Indonesia.
“2015 menang acara nyanyi di TV Jepang, pialanya dikirim ke Indo karena gede banget buat dibawa di pesawat. Ditagih pajak 4 juta. Padahal hadiah lombanya gak ada hadiah uang cuma piala itu doang. Menang lomba kok nombok," tulis Fatimah melalui unggahan di akun Twitter pribadinya @zahratunnisaf.
Putri Gus Dur Sempat Dapat Perlakuan Tak Menyenangkan di Bandara Soetta
Selanjutnya Alissa Wahid, putra Gus Dur. Ia menceritakan perlakuan tak menyenangkan dari oknum petugas di bandara internasional Soekarno-Hatta (Soetta). Namun, Alissa belum menyebut dengan jelas, apakah petugas yang dimaksud yaitu petugas Bea Cukai seperti yang dialami Fatimah Zahratunnisa.
Pengalaman yang dialami Allissa saat itu pulang dari Taiwan, bersamaan dengan sejumlah tenaga kerja wanita (TKW). Kemudian petugas mengira Allisa adalah seorang TKW. Oknum petugas mengacak-acak koper Allisa seakan mencari sesuatu. Dalam proses interogasi, Allisa Wahid juga dihujani banyak pertanyaan mulai dari barang bawaan, berapa lama di Taiwan hingga pekerjaan.
Bea Cukai Todong Pajak Eka Kurniawan
Selain itu, sastrawan Indonesia, Eka Kurniawan juga alami pengalaman tak mengenakkan dengan Ditjen Bea Cukai.Melalui akun Twitter resmi, Eka menuturkan pernah dikirimi bukunya sendiri yang diterjemahkan oleh penerbit luar.
Buku yang dikirimkan itu sendiri hanya 10 buah dengan komplimen Rp 0. Namun, Eka Kurniawan menolak membayar pajak untuk hal itu.
Advertisement
Viral Pegawai Bea Cukai Bersikap Arogan
Baru-baru ini kasus Bea Cukai kembali menuai perhatian warganet. Viral seorang pegawai Bea Cukao bernama Widy Heriyanto yang menunjukkan sikap arogran dan melontarkan cacian kepada warganet.
Dikutip dari Kanal Bisnis Liputan6.con, kejadian itu dilontarkan seorang developer game lokal, Kris Antoni Hadiputra Nurwono. Lewat akun twitter @kerissa***, ia mengeluhkan tindak pegawai Bea Cukai yang terkesan sudah di luar batas.
Sudah habis kesabaran dan toleransi rakyat Indonesia terhadap perilaku arogan dan tidak kompeten dari aparat semacam ini. Saya minta kali ini ada tindakan disipliner dari @beacukaiRI @kemenkeuRI yang tegas. Terima kasih," dikutip dari cuitan @kerissa***, Jumat, 24 Maret 2023.
Adapun pernyataan tersebut dikemukakan sebagai respons dari celotehan Widy Heriyanto, lewat akun Twitter @wadaw***. Sayangnya, saat ini yang bersangkutan tersebut sudah menggembok akun miliknya.
Namun Kris tak tinggal diam. Ia melakukan screenshoot atas percakapannya dengan pegawai Bea Cukai Widy Heriyanto. Akun @wadaw*** berceloteh saat Kris mengeluhkan piala yang diterima Toge Foundation pada 2013 silam dikenai pajak becuk (Bea Cukai) Rp 1 juta.
Widy lantas meresponnya dengan cuitan bernada tinggi. "sebelum lo ngetwit, mending belajar dlu deh ketentuan impor itu gimana. Kalo skrg kan jadinya lo bacot tapi minim literasi peraturan."
Sejarah Bea Cukai
Bicara soal Direktorat Jenderal bea Cukai yang merupakan instansi kebapeanan Indonesia juga mencatat sejarah panjang. Mengutip laman bcpangkalpinang.beacukai.go.id, Bea Cukai adalah institusi global yang hampir semua negara di dunia memilikinya. Bea Cukai merupakan perangkat negara “konvensional” seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Angkatan bersenjata yang keberadaannya telah ada sepanjang sejarah negara itu.
Fungsi Bea Cukai di Indonesia diperkirakan sudah ada ada sejak zaman keradaan dahulu, tetapi belum ditemukan bukti-bukti tertulis yang kuat. Kelembagaan bea cukai saat itu masih bersifat “lokal” sesuai wilayah kerajaannya.
Masa VOC
Bea Cukai mulai menjadi lembaga secara nasional. Pada masa Hindia Belanda itu, masuk pula istilah douane untuk menyebutkan petugas Bea Cukai. Nama resmi Bea Cukai pada masa Hindia Belanda itu adalah De Dienst der Inover en Uitvoerrecthen en Accijnzen atau berarti Dinas Bea Impor dan Bea Ekspor serta cukai. Adapun tugasnya saat itu memungut invoer-rechten (bea impor/masuk).
Uitvoer-rechten (bea ekspor/keluar), dan accinjzen (excise/cukai). Tugas memungut bea yang berasal dari bahasa Sansekerta, baik impor, ekspor serta cukai berasal dari bahasa India. Hal ini pula yang memunculkan istilah Bea dan Cukai di Indonesia.
Peraturan yang menjadi dasar yaitu Gouvernmen Besluit Nomor 33 Tanggal 22 Desember 1928 yang kemudian berubah dengan keputusan pemerintah pada 1 Juni 1934.
Masa Pendudukan Jepang
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tentang pembukaan kantor-kantor pemerintahan di Jawa dan Sumatera pada 29 April 1942, tugas pengurusan bea impor dan bea ekspor ditiadakan, Bea Cukai sementara hanya urus cukai saja.
Setelah Indonesia Merdeka
Lembaga Bea Cukai setelah Indonesia merdeka dibentuk pada 1 Oktober 1946 dengan nama Pejabatan Bea dan Cukai. Ketika itu, Menteri Muda Keuangan, Sjafrudin Prawiranegara, menunjuk R.A Kartdjoemena sebagai Kepala Pejabatan Bea dan Cukai yang pertama. Namun, jika ditanya hari lahir Bea Cukai Indonesia, 1 Oktober 1946 dapat dipandang sebagai tanggal yang tepat.
Perubahan Nama
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1948, istilah Pejabatan Bea Cukai berubah menjadi nama menjadi Jawatan Bea dan Cukai, yang bertahan hingga 1965. Setelah 1965 hingga sekarang namanya menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
Advertisement
Pindah ke Jakarta
Mengutip dari mediakeuangan.kemenkeu.go.id, setelah pengakuan kedaulatan dan berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) bersama pemerintah pusat, Jawatan Bea Cukai turut pindah ke Jakarta.
Kantor-kantor Bea Cukai di Tanjung Priok, Surabaya, Semarang, Medan, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Manado dan Balikpapan mulai aktif dan berkembang pesat. Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 62 Tahun 1950, Kartadjoemena ditunjuk sebagai Direktur Jenderal Iuran Negara merangkap sebagai kepala Jawatan Bea dan Cukai.
Pada 29 Agustus 1950, jabatan itu diserahkan kepada G.J.E. Tapiheroe. Sejak September 1950, Tapiheroe didampingi oleh A.M. Slawat sebagai Kepala Muda Jawatan Bea dan Cukai.
Struktur organisasi Jawatan Bea dan Cukai yang menggunakan gaya I.U. & A. masih berlaku hingga 1960 dengan beberapa pengembangan. Unit-unit kerja seperti biro dan bagian/seksi/umum dibentuk. Sementara tugas, fungsi, serta wewenang pejabatnya diperluas.
Pada 30 Maret 1965, Padang Soedirjo ditunjuk sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Ini menandai penyempurnaan Jawatan Bea dan Cukai menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Namun, tanpa alasan yang jelas, pada 1966 status Direktoral Jenderal Bea dan Cukai diturunkan dan berada di bawah Direktorat Jenderal Pajak.
“Namun setelah timbul reaksi pimpinan Bea dan Cukai beserta staf langsung menghadap Menteri Keuangan, maka statusnya segera ditetapkan kembali menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai," demikian disebutkan di buku Pertumbuhan dan Perkembangan Bea dan Cukai dari Masa ke Masa.
Perwakilan Luar Negeri
Masih dikutip dari mediakeuangan. kemenkeu.go.id, sejak 1950-an, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menempatkan perwakilan di luar negeri. Di Singapura, pejabat-pejabat Bea dan Cukai diperbantukan di Kedutaan Besar RI. Tugasnya memantau perdagangan/barter, lalu lintas devisa, penandasan consulair invoice (faktur yang dikeluarkan oleh kedutaan atau konsulat), dan menyampaikan informasi terkait ekspor dan impor.
Menurut buku Pertumbuhan dan Perkembangan Bea dan Cukai dari Masa ke Masa, pada 1962, ketika Indonesia mulai mengampanyekan konfrontasi dengan negara-negara bentukan Inggris, perwakilan Bea dan Cukai di Singapura pindah ke Konsulat Jenderal RI di Hongkong.
Selain urusan kepabeanan dan cukai, Atase Bea dan Cukai Hongkong bertugas menghimpun informasi soal perpajakan, pasar modal, moneter, dan perbankan, serta berkoordinasi dengan instansi intel dan narkotika.
Setelah jatuhnya kekuasaan Sukarno dan dihentikannya konfrontasi, pada 1967, pemerintah kembali menempatkan pejabat Bea dan Cukai di Singapura. Tugasnya masih sama, ditambah dengan pembinaan hubungan dengan pejabat keuangan serta Bea dan Cukai Singapura.
Pemerintah RI juga menempatkan pejabat Departemen Keuangan/Bea Cukai di Peturusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di Genewa, Swiss sejak 1968. Tugasnya mengikuti perkembangan tarif dan perdagangan internasional.
Pemerintah RI juga membuka perwakilan Bea dan Cukai di Kuala Lumpur pada tahun yang sama. Selain itu, petugas Bea dan Cukai ditempatkan di Penang, Malaka, Port Swettenham (sekarang Port Klang), Tawao (Sabah), dan Batu Pahat (Johor). Penugasan di Malaysia ini sejak 1982 secara bertahap dicabut karena tidak lagi efisien dan masalah manipulasi yang sebelumnya terjadi telah teratasi.
Advertisement