Liputan6.com, Banyumas - Masjid Saka Tunggal merupakan masjid tertua di Indonesia. Masjid bersejarah ini berada di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Banyumas, Jawa Tengah.
Dikutip dari jurnal berjudul "Sejarah Masjid Saka Tunggal Baitussalam di Desa Cikakak" (2018) oleh M. Syamsul Ma’arif, salah satu versi sejarah menyebutkan masjid ini dibangun pada 1288 Masehi. Sedangkan versi lainnya menyatakan tempat ini baru menjadi masjid pasa 1522, ketika adama Islam sudah menyebar.
Pembangunan masjid tertua di Indonesia ini dilakukan oleh K.H. Mustholih, mubaligh di wilayah setempat. KH Mustholih tinggal cukup lama untuk berdakwah Islam di Desa Cikakak.
Baca Juga
Advertisement
Masyarakat Cikakak kala itu masih banyak yang melakukan perbuatan menyimpang dari ajaran agama Islam. KH Mustholih berpikir bahwa penting untuk mendirikan pusat dakwah.
Maka, dibangun masjid yang dikenal dengan nama Masjid Saka Tunggal Baitussalam sebagai pusat dakwahnya. Penamaan Masjid "saka tunggal" merujuk pada bangunan masjid yang hanya memiliki satu saka atau satu tiang penyangga.
Tiang penyangga berdiri di tengah bangunan masjid bersejarah ini dengan tinggi mencapai 5 meter. Tiang penyangga itu dipenuhi ukiran bunga dan tanaman, serta dilindungi kaca.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Tauhid
Saka tunggal disebut sebagai simbol dari ajaran tauhid atau monoteisme. Artinya, kata "tunggal" pada nama masjid tertua di Indonesia ini merujuk pada hubungan manusia dengan Sang Pecinta.
Terdapat empat sayap kayu yang disebut empat kiblat lima pancer di ujung tiang penyangga. Hal ini menunjuk empat arah mata angin dan satu pusat menunjuk ke atas.
Masjid Saka Tunggal berukuran 15x17 meter persegi, dan terletak 300 meter dari permukiman terdekat. Hingga saat ini, masjid tertua di Indonesia ini masih menjadi pusat kegiatan sosial warga setempat.
Masjid Saka Tunggal memiliki kaitan erat dengan sejarah dan budaya komunitas Islam Aboge. Komunitas Islam Aboge melaksanakan berbagai ritual keagamaan dengan dasar kepercayaan kepada para leluhur.
Beberapa kegiatan yang kental nuansa akulturasinya dengan budaya lokal antara lain selamatan, tahlilan (pembacaan tahlil), dan puji-pujian kepada Rasulullah SAW. Mereka diyakini merupakan keturunan atau anak cucu dari Mbah Mustolih.
Keunikan lain dari masjid ini adalah keberadaan monyet-monyet ekor panjang yang diyakini warga setempat sebagai penjelamaan santri-santri dari Mbah Mustolih yang nakal. Bahkan, pemerintah setempat pernah mengelar festival Rewandha Bojana.
Festival itu diadakan untuk memberikan makanan kepada monyet-monyet di sekitar masjid dan lingkungan perbukitan sekitar.
Advertisement