Liputan6.com, Jakarta Kasus penganiayaan yang menimpa anak D, kemudian diketahui sebagai David Ozora menyita perhatian masyarakat. Apalagi kasus ini menyeret MDS, anak pejabat eselon 3 Ditjen Pajak Republik Indonesia yang kemudian dicopot Menteri Keuangan Sri Mulyani.
MDS atau Mario Dandy Satriyo ditetapkan sebagai tersangka lantaran membuat David Ozora koma selama berhari-hari. Drama aniaya ini memanjang setelah pacar Mario Dandy ditetapkan sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum alias pelaku.
Advertisement
Berkas perkara AG pacar Mario Dandy telah selesai dan siap disidangkan secara tertutup di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pemberitaan seputar David Ozora, Mario Dandy, Shane, dan AG tak henti-hentinya menghiasi media daring nasional.
Pertanyaan yang kemudian muncul, sudahkah pemberitaan para jurnalis Tanah Air ramah anak? AG dan David Ozora salah satu topik yang diulas dalam Media Briefing Inisiatif Swipe Safe ChildFund International di Indonesia di Jakarta, baru-baru ini.
Rahasiakan Identitas Anak
Ketua Forum Wartawan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Fortapena), Rini Suryati, menjelaskan, sesuai kaidah jurnalistik, wartawan mesti memperhatikan pedoman pemberitaan ramah anak dalam kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo.
“Pasalnya dalam kasus ini terdapat dua anak yang terlibat, yaitu D yang jadi korban dan A dengan status Anak Berkonflik dengan Hukum,” kata Rini Suryati ketika dihubungi Showbiz Liputan6.com, Sabtu (25/3/2023).
Pemberitaan harus berpegang pada peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak serta Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Jurnalis tidak menyebut identitas anak yang jadi pelaku kejahatan atau Anak Berkonflik dengan Hukum.
“Wartawan wajib merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak, khususnya yang diduga, disangka, dan didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya,” ia menambahkan.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Penyidik Ekstra Hati-hati
Media mesti memberitakan secara faktual lewat kalimat, narasi, visual, atau audio dengan empati. Selain itu, hindari deskripsi atau rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis. Rini Suryati menilai, jurnalis Tanah Air telah membuat kemajuan signifikan dalam pemberitaan ramah anak.
“Di sisi lain, penyidik menjalankan tugas dengan hati-hati, mempertimbangkan proses sesuai prosedur dan menyimpulkan dengan tepat karena ini tidak hanya bisa ditarik dari sisi KUHP saja, ada Undang-undang Perlindungan Anak juga,” Rini Suryati mengakhiri.
Dalam kesempatan itu, Spesialis Perlindungan Anak dan Advokasi ChildFund International (CFI) di Indonesia, Reny Haning, memperkenalkan kampanye Swipe Safe yang didukung ChildFund Australia dan Australia Government.
Kampanye ini mengajak publik menavigasi internet dengan aman lewat edukasi anak, orangtua, penyedia layanan, dan sekolah terkait potensi risiko daring. Selain itu, lewat pemberian keterampilan praktis melindungi diri dari risiko eksploitasi, kekerasan seksual, penipuan, dan peretasan daring.
Inisiatif Swipe Safe
Inisiatif Swipe Safe menggandeng pihak sekolah untuk mengembangkan kebijakan penyelenggaraan pendidikan dan prosedur keamanan daring bagi anak. Mengingat anak yang menjadi korban eksploitasi dan kekerasan menanggung dampak tak main-main.
“Korban cenderung membatasi aktivitas di medsos. Trauma menyebabkan korban menarik diri dari interaksi sosial seperti kehidupan publik dan teman, termasuk sekolah yang pada akhirnya membatasi hak mereka untuk dapat pendidikan yang baik,” Reny Haning memaparkan.
Media massa sebagai kanal informasi berperan penting menyebarkan informasi baru dan mendidik masyarakat soal wawasan maupun perspektif baru, khususnya terkait pemberitaan yang ramah anak.
“Kurangnya pemahaman dan kesadaran akan perundungan daring, termasuk kompetensi digital yang memadai, membuat orangtua dan pendidik menganggap internet tak berbahaya. Mereka cenderung kurang mengawasi aktivitas daring anak. Di sinilah peran penting media,” tutupnya.
Advertisement