Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin soal biaya mengurus Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) mencapai Rp6 juta dinilai tidak tepat. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membantah bahwa biayanya tidak sampai jutaan rupiah.
Di hadapan IDI, Menkes Budi menjelaskan, sebenarnya angka Rp6 juta yang disampaikannya adalah kisaran rata-rata biaya mengurus STR dan SIP dokter spesialis secara keseluruhan. Sementara dokter umum harus mengeluarkan biaya Rp3 juta.
Advertisement
“Saya ngomong sama dokter-dokter. Saya suka nanya, kamu tuh keluarin izin berapa sih buat segala macam ya dapat STR sama SIP? Nah, kalau satu paket mulai ngurusin dari awal sampai akhir dapetin, sekitar 10 orang lah, ada juga yang datang ke rumah malam-malam,” jelasnya saat sesi ‘Public Hearing RUU Kesehatan Bersama Dinkes Seluruh Indonesia, IDI dan PDGI’ di Gedung Kemenkes RI Jakarta, ditulis Senin (27/3/2023).
“Bilangnya, dokter spesialis itu rata-rata Rp6 juta, dokter umum tuh rata-rata Rp3 juta. Bukannya bayar iuran, tapi bayar semuanya.”
Kasihan Dokter Bayar Biaya Banyak
Problem STR dan SIP dibilang mahal oleh Budi Gunadi sampai membuatnya terheran-heran. Menurutnya, ia tidak menyentil nama ‘IDI’ soal perizinan STR dan SIP.
Bahkan sebenarnya Menkes Budi merasa kasihan dengan para dokter yang harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit.
“Saya tuh hanya concern-nya (fokus) buat teman-teman dokter, bayar biaya terlalu banyak. Saya kasihan dokternya. Saya nanya dokter umum, rata-rata bayar berapa (buat urus STR dan SIP)? Ini bukan bayar ke IDI lho,” imbuhnya.
“Kadang-kadang saya lupa habis ngomong gitu, IDI-nya marah. Saya kayaknya enggak nyebut nama IDI deh. Saya bilangnya gini, dokter-dokter itu keluarin banyak sekali biaya. Waktu itu nanya dokter spesialis, dijawab Rp6 juta.”
Biaya Urus Izin Dokter Rp231 miliar sampai Rp460 Miliar per Tahun
Selain soal pengurusan STR dan SIP, Budi Gunadi Sadikin juga baru tahu ada biaya bayar ke asosiasi kedokteran masing-masing.
“Saya baru tahu ternyata selain bayar (iuran) ke IDI, ini ada juga bayar asosiasi dokter,” lanjutnya.
Merujuk pada data penerbitan STR dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), sebanyak 77.000 STR diterbitkan pada tahun 2022. Budi Gunadi pun menghitung kisaran biaya yang dikeluarkan per tahun.
“Dokter spesialis 77.000, all cost-nya (total biaya) Rp6 juta dikalikan aja jadi Rp462 miliar. Kalau dokter umum itu kan Rp3 juta dikali 77.000 itu Rp231 miliar. Dengan asumsi sebenarnya semuanya penerbitan STR buat dia ngejar penerbitan SIP dong,” papar Menkes Budi.
“Nah angka itu saya diskusikan dan saya sih orangnya terbuka aja untuk menyampaikan. Buat saya sih angka Rp231 miliar itu yang paling rendah, tingginya Rp462 miliar per tahun karena tahun 2022 angkanya 77.000 dokter terbit STR. Mungkin tiap tahun bisa berubah, tahun depan mungkin enggak sampai 77.000.”
Angka Rp6 Juta Itu per 5 Tahun
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum PB IDI Moh. Adib Khumaidi memberikan klarifikasi terkait pernyataan Menkes Budi Gunadi Sadikin soal biaya mengurus STR dan SIP dokter.
“Ada beberapa isu yang kalau ini tidak saya jawab nanti kesannya IDI sebagai lembaga non formal yang menghimpun uang begitu besar," katanya.
Selanjutnya, Adib merinci IDI selama ini hanya mengeluarkan kebijakan iuran senilai Rp30.000 per bulan, sehingga dalam 5 tahun masing-masing dokter perlu merogoh kocek senilai Rp1,8 juta. Kemudian KTA elektronik Rp30.000 per sekali pembuatan.
"Ini sebuah hal yang formal dalam sebuah lembaga masyarakat, organisasi profesi menghimpun adanya iuran," lanjutnya.
Tak hanya iuran ke IDI, ada iuran perhimpunan dokter yang tarifnya bervariasi, namun rata-rata Rp100.000. Dengan demikian, per 5 tahun para dokter spesialis perlu membayar senilai total Rp6 juta.
"Ini yang kemudian muncul angka Rp6 juta itu, itu adalah iuran perhimpunan," terang Adib.
Advertisement
Bayar Urus Rekomendasi Praktik Rp100 Ribu per 5 Tahun
Ada pula pembiayaan untuk rekomendasi praktik yang disepakati untuk seluruh IDI, yakni Rp100.000 per 5 tahun untuk satu SIP. Ditambah Rp200.000 untuk biaya resertifikasi dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Seluruh pembiayaan di atas, kata Moh. Adib Khumaidi, diperlukan untuk program yang dijalankan IDI. Ia juga mengaku selama ini Pemerintah tidak memberikan pembiayaan kepada organisasi profesi.
Tak Pernah dapat Anggaran dari Negara
Kemunculan IDI sebagai lembaga yang diberikan amanah oleh negara di Undang-Undang Praktik Kedokteran Tahun 2004 yang mengawasi yang melakukan pembinaan dan kendali mutu dan juga bagian dari kendali biaya itu selama ini tidak pernah mendapatkan anggaran dari negara.
“Ini tidak pernah (dapat anggaran dari negara) walaupun tertuang di dalam Undang-Undang. Dulu pernah, zaman tahun 2008, kami sudah pernah konsultasi kepada Kemensetneg juga di dalam usaha-usaha pengelolaan keuangan di dalam organisasi, tapi tidak dikabulkan,” Adib menerangkan.
Dalam melakukan berbagai aktivitas, IDI pun melakukan pengelolaan keuangan sendiri. Pengelolaan ini diiringi dengan proses audit tiap tahun, yang mana hasil audit dilaporkan kepada seluruh anggota IDI.
“Kemudian kami melakukan sebuah aktivitas, termasuk mendukung dalam upaya-upaya program pemerintah pusat dan pemerintah daerah sampai di level cabang dan perhimpunan, kami melakukan pengelolaan keuangan,” beber Adib.
“Perlu kami tegaskan bahwa proses pengelolaan keuangan juga kami ikuti dengan sebuah proses audit. Setiap tahun diaudit, audit eksternal, audit internal kami sampaikan kepada anggota, kemudian di Muktamar juga setiap 3 tahun kami sampaikan.”
Penjelasan Adib di atas sekaligus klarifikasi dari anggapan yang beredar terkait disebutnya IDI menghimpun dana besar untuk pembiayaan mengurus perizinan dokter.
“Ini untuk mengklarifikasi supaya tidak ada pemahaman yang mengesankan bahwa kami menghimpun dana yang cukup besar. Ini yang perlu kami klarifikasi,” pungkasnya.